Tiga Belas

52 19 2
                                    

KESIMPULANNYA, jangan pernah menempatkan Dion dan Serga pada satu bangku. Titik.

Kalau dipikir-pikir ulang, perbedaan watak mereka memang bagai langit dan bumi. Dion tipe pemuda yang santai dan easy going, lebih sering mengatakan sesuatu secara tersirat dibanding blak-blakan (terkadang bisa menjadi pasif-agresif, menurutku itu karena sifat sungkan dan gengsinya yang setinggi langit). Itulah mengapa ia memiliki kemampuan berbicara yang sangat baik hingga mampu merasuki pikiran lawan bicaraーwell, ia terpilih sebagai anggota inti OSIS bukan tanpa alasan.

Di sisi lain, Serga tipe pemuda yang canggung, kikuk, tapi tidak segan-segan menodong lawan bicara dengan fakta walau menyakitkan. Dari mata tajam dan ekspresinya sudah terlihat jelas, ia sangat anti dengan yang namanya basa-basi. Serga tidak suka segala bentuk pujian dan penghinaan tersirat. Baginya iya adalah iya dan tidak adalah tidak. Dan poin plus-nya, ia tidak pandang bulu.

Dion yang populer saja berani di-skakmat begitu kemarin.

Aku tidak bisa menyalahkannya, sihーartikel pertama kami dengan foto hasil jepretannya sendiri dihina, jelas Serga punya hak untuk membela diri.

Tapi di sisi lain, aku juga tidak bisa menyalahkan Dion. Kalimatnya memang terdengar seperti penghinaan, tapi realistis. Terkesan meremehkan, tapi juga merupakan fakta. Kompetisi menulis artikel itu hanya diadakan di antara klub jurnalistik sekolah, persaingan kami hanya dengan siswa-siswi sekolah iniーyang kebanyakan bahkan mengikuti klub jurnal bukan karena kemauan melainkan paksaan.

Pencapaianku kemarin jelas tidak seberapa. Sudah pasti tak akan ada guru atau siswa yang menghiraukan artikelku walau dipublikasikan di web sekalipun. Persis seperti yang Dion katakan, "Toh, itu cuman acara ekskul."

Mungkin, aku harus bekerja lebih keras untuk membuktikan kemampuan menulisku.

Mungkin, pada kompesisi menulis artikel nasional itu.

Jangan sampai terlena, Cindy, ucapku pada diri sendiri, kamu ini belum ada apa-apanya! Masa artikel dipajang di web sekolah aja udah senang? Sainganmu masih anak-anak sini, masih kecil. Ayo, kerja lebih keras. Ayo buktikan bahwa kamu bisa naik ke anak tangga yang lebih tinggi.

Dengan motivasi tersebut, aku kembali memajukan posisi duduk, menyesap teh celupku sebelum kembali menghadap laptop dan mengetik.

Kali ini, bukan untuk artikel sekolah.

Kali ini, aku berjanji pada diri sendiri untuk membuktikan kemampuanku di antara siswa seantreo negeri.

Dengan semangat menggebu, aku mulai mengetik. Waktu tidak lagi jadi penghalang, aku tenggelam dalam aktivitas menulis, riset, riset lagi, menulis lagi. Aku tidak bisa tidur karena dadaku meletup-letup oleh kebahagiaan dan percaya diri, rasanya seolah ada api semangat yang membakar hatiku. Aku gerah oleh motivasi dan ambisi.

Pukul dua tiga puluh subuh malam itu, aku baru bisa terlelap.

***

Berdasarkan poster yang kuterima dari Bu Suci, lomba artikel itu memiliki tema besar "Kenakalan Remaja dan Akibatnya di Era Digital", aku memutuskan untuk menulis tentang cyber-bullying. Sedikit berisiko, aku tahu. Topik ini bukan hanya membutuhkan riset, melainkan sangat banyak riset. Definisi, bukti, contoh, dampak, dan lain-lain.

Sementara mendekati minggu-minggu ujian, aku yakin Mama akan memperketat jam tidurku.

Namun well, kurasa aku sudah tak lagi peduli. Aku terbiasa dengan ketidakacuhan Mama dalam lomba menulis ini (ia akhirnya tidak peduli apa aku ikut lomba atau tidak, hanya menatapku sinis dan berkata, "Awas kalau nilai kamu turun gara-gara itu"), yang entah mengapa tidak membuatku senang atau lega. Mungkin karena aku sudah menyiapkan banyak argumen seru untuk membantahnya andai ia melarangku ikut, tapi sekarang, aku harus kembali menelan argumen-argumen itu sendiri.

KOMA [Jeon Wonwoo]Where stories live. Discover now