Delapan

53 20 0
                                    

"PERTANYAAN itu agak ambigu. Coba ganti kata 'pengalaman berkesan' jadi 'kemenangan paling berkesan'. Jadi, kita bisa dapat informasi lebih spesifik tentang pengalaman basket plus prestasinya."

"Oke. Terus, untuk data diri? Sudah fix ikut format ini atau ada yang mau ditambah?"

Aku beralih dari komputerku ke komputer Serga, menyipitkan mata menganalisis informasi di sana. Sebagai siswa yang 'jarang menulis', ia membuat format laporan yang cukup bagus: Times New Roman, 12, justify. "Bagian riwayat pendidikan kayaknya nggak perlu, deh ... Aku kepikiran untuk bikin ini jadi artikel santai ala anak muda, bukan wawancara formal gitu. Target pembaca kita juga, 'kan, anak SMA, jadi gaya tulisnya yang asyik-asyik aja. Mungkin semacam listicle gitu."

Serga hanya mengangguk-angguk, entah paham atau tidak, dan langsung menghapus bagian "riwayat pendidikan". Siang ini setelah bel pulang berbunyi, aku dan Serga langsung bertemu di perpustakaan. Kami berencana untuk menyusun draf awal pertanyaan untuk wawancara sekaligus menulis surat ijin pinjam kamera pada Bu Suci. Serga berniat untuk langsung meminjam pada pembimbing ekskul fotografi, tapi sebagai pembimbing klub jurnal, Bu Suci menyarankan untuk menyerahkan surat izin padanya. Toh, kamera digunakan untuk keperluan wawancara, yang mana masih tergolong dalam kegiatan jurnalistik.

Perutku berbunyi. Kuraih ponsel di meja, sedikit terkejut melihat sudah pukul 5 petang. Terhitung 2 jam dari terakhir aku menginjakkan kaki kemari. Aku dan Serga sudah mengerjakan draf pertanyaan selama 2 jam dan masih belum selesai.

Aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Satu jam awal tadi kupakai untuk menyelesaikan beberapa nomor tugas Matematika. Aku benci membawa-bawa tugas pribadi dalam kerja kelompok kami, tapi aku tidak punya pilihan. Ada 25 nomor yang harus diselesaikan besok, dan aku masih stuck di pertanyaan ke-7. Materi trigonometri, soal pembuktian dengan beragam rumus.

Aku begitu tenggelam dalam masalah itu sampai Serga mengingatkanku, "Aku harus nunggu berapa jam lagi sampai kamu selesaiin PR?"

Lalu, aku langsung menunduk malu. Segera kututup buku PR-ku dan mulai menyalakan komputer perpustakaan, mulai mengerjakan draf pertanyaan.

"Udah beres." Segera setelah berdiri dari kursinya, Serga mendesah seraya meregangkan kedua tangan ke belakang. "Coba baca dulu. Kalau menurut kamu udah oke, langsung ku-print di TU."

Aku mengambil alih komputernya. Ia yang bertugas mengetik pertanyaan sementara aku melakukan riset. Kubaca lagi seluruh format pertanyaan yang Serga ketik, mengamati satu per satu tulisannya dan memastikan tidak ada typo. "Oke, dah beres. Langsung cetak aja, nggak apa-apa."

Serga mengangguk cekatan, mengetikkan sesuatu sebelum mencabut flashdisk dan mematikan komputer. "Oh, ya. Soal surat ijinー"

"Aku aja yang urus," ucapku, "kamu fokus print aja, nanti aku langsung kasih surat ijinnya ke Bu Suci."

Sejenak ia menatapku ragu. "Beneran? Ngambil surat ijin juga ke TU, sekalian aja bareng-bareng."

Aku sedikit terkejut ia mau mengajakku pergi "bersama". Seperti teman saja. Bukan berarti aku tidak menganggapnya teman, tapi sejak kemarin hubunganku dengan Serga lebih mirip "koloni yang terpaksa bekerja sama". Isi obrolan kami hanya didominasi oleh, "Pertanyaan ini gimana?", "Wawancaranya dibuat santai aja. Artikelnya juga santai, kok", "Kapan rencana mau pinjam kamera?"ーsemua yang berhubungan dengan wawancara dan artikel.

Kukira, ia juga terpaksa menganggapku sebagai "teman kelompok"-nya.

"Gimana?" tanya Serga, memecah lamunanku. "Ke TU sekarang?"

Aku segera mengangguk. "Boleh."

Kemudian kami berjalan melewati koridor dalam hening. Perpustakaan sekolah berada di ujung koridor lantai 2, sementara ruang Tata Usaha berada di lantai 1. Kami harus melewati koridor yang panjang, tangga tua di belakang gedung, lalu menyeberangi lapangan sebelum sampai ke ruang Tata Usaha. Aku berusaha untuk memikirkan soal Matematikaku agar tidak menyadari betapa canggung "perjalanan" ini.

KOMA [Jeon Wonwoo]Where stories live. Discover now