Satu

112 23 0
                                    

"ITU bukan punya saya."

Aku memutar bola mata.

Seluruh kekesalanku terwakilkan oleh kalimat Pak Tri, "Kalau bukan punyamu, gimana ceritanya rokok itu ada di saku celanamu?" Ia membenarkan posisi duduknya, mencondongkan tubuh lebih dekat menatap Serga. "Bukan satu atau dua batang lho, Serga. Tiga pak, tiga pak. Dan kamu masih bisa bilang itu bukan punyamu?"

Pemuda itu hanya diam tak berkutik, rahangnya yang tegas dan mata rusanya yang menatap datar menyiratkan bahwa ia sama sekali tidak menyesal; tidak untuk pelanggarannya di koperasi, tidak untuk penyangkalannya tadi.

"Juga kamu, Cindy." Oh, jangan lagi. "Ngapain kamu ikut-ikutan ke koperasi?"

Aku sangat tergoda untuk membalas sarkas, "Memangnya ada larangan untuk pergi ke koperasi dan beli seragam?", tapi mengurungkan niat mengingat guru yang duduk di hadapanku adalah guru BK, Pak Mutri yang disegani seluruh anggota sekolah (bahkan mungkin kepala sekolah). Dengar-dengar sih, beliau guru sesepuh yang telah mengabdi nyaris 30 tahun. Guru senior yang, sayangnya, tidak berhasil menduduki jabatan lebih tinggi. Mungkin itu kenapa Pak Tri selalu memasang tampang garang dan tegas, barangkali ia hanya ingin menunjukkan bahwa ia juga layak untuk berkuasa di sekolah.

Meski tak suka, aku tetap harus menunjukkan itikad baik dan sopan santun di depan para guru.

Citra baik sebagai seorang siswa juga penting, kau tahu?

"Saya hanya pergi membayar seragam, Pak," jawabku, "ini notanya kalau Bapak tidak percaya. Saya juga baru ketemu sama dia di koperasi tadi. Saya nggak punya urusan apapun sama dia," aku menunjuk pemuda itu dengan dagu, "jadi jelas saya tidak terlibat dalam penyelundupan rokok itu."

Agaknya kata "penyelundupan" telah keterlaluan, hingga tak sampai tiga detik Serga langsung menyahut, "Kalau nggak ikut-ikut, kenapa nggak langsung keluar selesai bayar? Kenapa malah sengaja lama-lamain nungguin saya di koperasi?"

Sekarang gantian aku yang mendelik. Apa-apaan ini? Balas dendam? Penyerangan verbal dalam bentuk fitnah?

Yang lebih membuat aku murka adalah kenyataan bahwa setelah mengatakan kebohongan itu, Serga menyunggingkan seringai tipis. Dari ekspresinya aku bisa menangkap Si Licik itu berkata, "Sekarang kita impas, oke?"

Sialan.

Oke, aku bukan tipe perutuk, tapi ini jelas kelewat batas.

"Benar, Cindy?" Pak Tri membenarkan kacamatanya curiga. "Jangan-jangan kamu sengaja ke koperasi untuk ketemu Serga. Kalian sengkokolan?"

Aku mendengkus setengah jengkel. "Pak, saya aja kaget lihat dia bawa rokok sebanyak itu ke koperasi. Kenapa jadi saya yang dicurigai? Saya nggak ada pikiran atau niat sama sekali untuk merokok atau beli rokok dari dia." Aku masih berusaha menahan diri untuk tidak meninggikan nada suara, tapi tidak repot-repot menahan decihan sinis. "Kenal aja enggak."

Pak Mutri menarik napas. Bel berbunyi, menandakan jam makan siang telah usai. Pelajaran sehabis istirahat adalah Matematika Peminatan, dan aku ingat kami sedang berada dalam pertengahan materi Trigonometri. Aku mengeluh dalam hati. Bu Lia sering melempar kuis di tengah-tengah jam pelajaranーkuis berupa soal Matematika receh dengan poin nilai yang cukup tinggi.

Namun mengingat posisiku sebagai "tersangka" sekarang, aku hanya bisa menyenderkan tubuh pasrah.

Lupakan soal nilai tambahan, sepertinya keberuntungan memang sedang tidak memihakku sekarang.

"Bapak bukannya mau nuduh sembarangan, tapi bukti adalah bukti. Justru kalian dikumpulkan di sini supaya masalahnya cepat selesai." Pak Mutri menjeda dengan helaan napas. "Serga, Bapak nggak nyangka kamu berani bawa rokok ke sekolah. Punya kamu atau bukan, rokok itu ada di saku kamu. Kalau kamu nggak kooperatif, ya gimana Bapak mau percaya?"

KOMA [Jeon Wonwoo]Where stories live. Discover now