Angan yang semula membayangkan akan memulai sarapan seperti biasa meluap begitu saja ketika kedatangan seseorang disadari oleh keempatnya. "Morning," sapa sosok berjas yang baru menginjakkan kaki dirumah kala itu. Satu persatu anaknya mendapat usakan di kepala, terkecuali sang istri yang hanya menjadi penonton adegan itu.
"Apakah kertas-kertas dikantor Papa lebih menarik dibandingkan kami?" Begitu si bungsu bertanya kepada ayahnya. Jaeyun merajuk untuk tiga hari yang Jaehyun habiskan di kantor tanpa mengingat rumah.
"Tentu. Papa dirumah pun kau selalu sibuk menempeli ibumu," balas Jaehyun mengejek. Jas yang semula melekat apik ditubuhnya ia sampirkan dikursi, ikut bergabung pada sarapan pagi ini. Membiarkan istrinya kembali mengambil peralatan makan untuknya.
"Papa membosankan, kalau dirumah main game terus dengan Jeno."
Si empunya nama yang disebut menoleh sekilas, berpura-pura tak peduli meski hatinya pun sama dirundung rindu pada ayahnya. Pemuda berwajah rupawan itu hanya mampu memandang sang kepala keluarga, tanpa kata yang terurai dari bibirnya.
"Jae, pakai Kakak, Mama tidak biasa mendengarmu memanggil Jeno tanpa sebutan Kakak," tegur Renjun yang mana semakin membuat anak itu menekuk wajahnya.
"Biarkan saja, mereka hanya berbeda beberapa menit saja. Lagi pula Jeno juga tidak keberatan," ujar Jaehyun tanpa memandang istrinya yang berdiri disampingnya sembari menuang air ke dalam gelas miliknya. Dan Renjun hanya bisa menghela napas berat mendengar itu.
____________________
"Siang nanti aku ada jadwal periksa dengan dokter Doyoung, kau bisa temani aku?" tanya Renjun mengawali percakapan kala keduanya memasuki kamar. Ketiga buah hatinya telah berangkat ke sekolah diantar supir.
"Tidak bisa, jadwalku hari ini penuh."
Jaehyun. Pria itu melepaskan satu persatu kaitan kancing kemejanya. Melonggarkan bagian leher yang dirasa sangat mencekiknya. Dasi yang sepanjang hari melingkupinya dibuang tak bersisa, seolah benda yang tak pernah lepas dari tittlenya sebagai seorang pimpinan perusahaan itu kini tak ada harganya.
"Alasanmu tidak pernah berubah," gumam Renjun.
"Tapi alasanku benar. Aku mencari uang untukmu, untuk anak-anak, dan untuk anakmu itu." Jaehyun memang tidak secara terang-terangan menyebutkan siapa yang terakhir ia sebutkan. Tetapi pandangannya jelas terarah pada perut buncit istrinya.
"Anakmu juga."
"Siapa yang tahu," sinis Jaehyun. Ia memandang pasangannya dari atas hingga bawah. Tatapan yang sangat membuat lawannya sakit hati.
"Berhenti menatapku begitu! Kau melukaiku, Jaehyun."
"Kau lebih melukaiku, perlu di ingat itu."
"Jae-"
"Tolong siapkan air untukku mandi, aku akan pergi lagi ke kantor setelah ini."
"Sekali saja, hari ini aku akan melihat jenis kelaminnya. Bulan-bulan yang lalu aku menundanya, ikut, ya?" Renjun masih dengan usahanya.
"Aku sibuk, Renjun. Mengertilah, aku ke kantor bukan hanya untuk mementingkan egoku. Kalau aku tidak bekerja, kau dan anak-anak akan makan apa?!"
"Aku bisa mencari kerja kalau memang waktumu sebagian besar tersita pekerjaan. Aku bisa meringankan bebanmu," sanggah Renjun. Napasnya mulai tak beraturan sesaat setelah suara suaminya menggema di seisi kamar.
"Dengan keadaanmu yang begini? Kau pikir siapa yang mau menerima? Hanya menyusahkan. Kecuali kau menjual diri seperti yang kau lakukan tujuh bulan lalu."
ESTÁS LEYENDO
What If | JaeRen
FanfictionBagaimana kalau seandainya mereka kembali mengulang kisah? Kembali pada keadaan tidak baik-baik saja, mengulang kisah mengerikan yang seharusnya sudah berakhir. From : PAK JAEHYUN ©Jeojae 2022
