Aku yakin badan Luke yang besar mampu membawa Ayah. Otot lengannya terlihat kukuh dan terlihat sudah terlatih sejak dulu. Aish, bicara apa aku ini? Sekarang aku malah melantur tentang badan Luke, bukannya memikirkan keadaan ayahku.

Saat kami menuruni tangga menuju lantai tiga, aku melihat sekilas ke Corpse yang tadi berusaha menggigitku. Aku mencoba melupakan kejadian memalukan tadi, saat aku menjerit dan Luke dengan sigap menghabisi Corpse yang menggenggam erat pergelangan kakiku. Andai saja aku lebih tanggap dengan situasi di sekitar pasti aku tidak terus-terusan dibantu Luke.

Corpse di jalan yang harus kami lewati jumlahnya sudah bertambah. Tadi tidak seramai ini di lantai tiga, pasti semua akibat teriakanku. Luke bilang Corpse tertarik dengan suara, perhatian mereka bisa teralihkan kalau mendengar suara yang nyaring atau bising.

Jumlah Corpse yang ada di sini masih bisa ditangani olehku dan Luke. Apalagi sekarang kami punya tambahan dari ayah. Kurasa ia tidak akan menahan dirinya untuk tidak ikut menyumbang bantuan pada kami. Ia pasti bersikeras untuk membunuh Corpse itu juga.

"Kau yakin kita bisa melewati mereka?" tanya Luke. Syukurlah ia tidak membisu lagi.

Aku mengangguk. "Pasti. Ini satu-satunya jalan untuk kembali ke tempat awal kita masuk." Terbesit rasa tidak yakin pada diriku, aku hanya berusaha membuat Luke meyakinkan diri, dan meyakinkan diriku juga.

Ayahku sudah mengangkat tangannya ke depan dan mengarahkan mulut pistolnya ke depan. Jarinya sudah siap menarik pelatuk pistol itu saat ada Corpse yang menyadari kehadiran kami bertiga, tapi dengan cepat Luke menurunkan pistol ayahku.

"Sir, maafkan aku sebelumnya, tapi kita tidak bisa menggunakan pistol di sini." Luke mengucapkannya dengan sedikit ragu di wajahnya.

Ekspresi bingung tergambar di wajah ayahku. "Maksudmu?"

"Suaranya akan menarik perhatian Corpse yang lain." jawab Luke. Ayah menatapku dan aku meyakinkannya dengan hanya memberikan tatapan 'percayalah-padanya'

Pegangan pisau Luke tergenggam erat di tanganku. Corpse laki-laki itu berjalan dengan lamban dan aku segera menghampirinya lalu menusukkan pisauku tepat di atas hidungnya. Kucabut lagi pisauku yang sudah berlumuran darah dan kami bertiga berjalan melewati Corpse yang sudah jatuh itu.

Semakin dekat dengan tempatku dan yang lain mulai berpencar, semakin banyak Corpse yang datang ke arah kami. Luke mendudukkan ayahku ke dinding kiri koridor yang kami lewati. Kecil kemungkinan ada Corpse yang bisa menghampiri ayahku karena kami sudah mengecek semua ruangan yang berhubungan dengan koridor itu dan semuanya bebas dari Corpse.

"Let me help you." Luke menyiapkan anak panahnya dan segera melepaskannya ke arah Corpse yang mendekati kami.

Aku menarik kerah baju salah satu Corpse lalu menancapkan pisauku ke bagian pelipisnya. Tusukanku kelihatannya dalam karena aku mendapati bilah pisauku sudah bermandikan darah begitu banyak.

Terkadang aku memberikan tusukan di ubun-ubun Corpse atau di bagian dahi mereka supaya lebih cepat musnah dari pandanganku. Tapi yang paling aku suka adalah saat menancapkan di bagian mata. Entah kenapa ada rasa puas yang memenuhi otakku saat aku melakukannya.

Satu per satu Corpse itu jatuh bergelimpangan. Luke melakukan sentuhan terakhirnya dengan menancapkan anak panahnya secara manual di Corpse yang berada di dekatnya. Manual di sini maksudku adalah ia menggenggam anak panahnya lalu menusukkannya ke kepala Corpse, seolah ia memakai pisau seperti aku.

Lengan Luke memang kuat.

Setidaknya itu yang bisa aku simpulkan saat ini. Kagum dengan stamina Luke, aku tersenyum lebar padanya. Ia membalas senyumanku dan entah kenapa aku semakin bersemangat untuk membawa ayahku pulang.

outbreak (l.h.)Where stories live. Discover now