disappoint

2 0 0
                                    

“Zhian, kamu masih marah?” tanya Ray seraya membuka tenda sedikit, terlihat kawannya terbungkus selimut erat-erat. Bukan karena hawa yang dingin menusuk, melainkan Zhian tengah jengkel.

Pertemuan tak direncanakan sore tadi memang membuat Zhian sedikit bahagia sebab akhirnya mampu bersua dengan sang adik setelah bertahun-tahun lamanya. Sharim sungguh terlihat sehat bugar, wajahnya bersih nan tampan, serta memiliki postur tubuh prima. Zhian bahkan seketika ingin menceritakan betapa baiknya kawan barunya yang secara cuma-cuma memberi tempat tinggal, pun ia juga tidak menolak untuk menyimak berbagai kisah dari adiknya.

Setidaknya Zhian berharap demikian, tetapi satu kalimat yang terlontar dari Sharim mendadak mengubah kondisi hatinya. Ia pernah tak sengaja membaca kata-kata mutiara tentang mulutmu harimaumu, tentu saja hal itu berlaku bagi siapapun. Hanya saja, dirinya tak menduga bahwa yang berbuat demikian justru adiknya sendiri.

‘Apa Kakak masih menjual badan ke paman-paman itu?’

Begitulah pertanyaan singkat dari Sharim, serta-merta ratusan anak panah menghujam benak Zhian tanpa aba-aba. Rasa kesal pun segera menghampirinya, kala itu ia mengepal kuat dan hendak memukul adiknya jika saja Ray tidak menenangkannya. Sejak detik itu, Zhian enggan meninggalkan tenda dan terus-terusan menyelimuti diri. Segala rasa semangat untuk bercerita pada Sharim langsung lenyap tak berbekas.

Cerita apa yang udah Ayah sama Ibu bilang ke Sharim?! Orang tua sialan! Zhian betul-betul dikuasi murka hingga memaki orang tuanya.

“Kak Arsya nolak buat makan malam?” tanya Sharim dengan wajah penuh bersalahnya pada Ray, “Maafin aku, Kak,” ia menunduk sembari menggigit bibirnya.

“Udah, kamu habiskan makan malam dulu. Mungkin Kak Arsya kecapekan,” Ray tersenyum lantas mengusap kepala Sharim.

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِأَبْعَدَمَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat.”
HR Bukhari no 6477 & Muslim no 2988

Sungguh, tidak sedikit ditemukan orang-orang yang berbicara sesuka hatinya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Entah mereka berbuat demikian secara sengaja atau tanpa sadar, yang pasti segala ucapan yang dilontarkan dapat membahayakan kondisi hati si lawan bicara. Seperti yang dilakukan Sharim beberapa jam silam, tanpa sadar mengatakan kalimat yang amat menyakiti kakak sendiri. Alhasil, Zhian geram dan memilih untuk bungkam di dalam tenda. Ia sendiri sempat melihat Zhian hendak memukul Sharim saking marahnya.

Ray memandang Sharim sejenak, anak itu mengakui kesalahannya dan benar-benar menyesal. Perjumpaan yang dinantikan selama bertahun-tahun tetapi tak berbuah keindahan sebab salah berucap. Sharim menyantap makan malam dengan malas, hampir kelihatan tidak nafsu. Bagaimanapun ia ingin bercengkrama dengan Zhian, kerinduan dalam dirinya telah membuncah hebat. Ray membuang napas, diletakkannya piringnya di karpet kemudian ditepuknya pundak Sharim.

“Sharim, kalau kamu mau kakakmu nggak bersikap dingin, berjanjilah buat nggak mengulanginya. Dia kakak kandungmu yang udah lama pergi dari rumah, udah jelas dia berharap keluarganya bakal menyambutnya dengan hangat,” kata Ray pelan-pelan, “Kamu paham? Harus janji nggak boleh omong gitu lagi,” ia menunjukkan jari kelingkingnya.

“Uhm, Kak Arsya bakal maafin aku?” tanya Sharim sedikit ragu.

“Insya Allah dia bakal maafin kamu, nanti aku bantu biar dia merasa baikan,” Ray tersenyum.

“Makasih, Kak!” Sharim sumringah sembari mengaitkan jari kelingkingnya dengan Ray.

Terdengar suara resleting dari arah tenda, lantas tampaklah Zhian melangkah keluar dari tenda. Ia tidak tersenyum, bahkan ogah menatap kedua manusia yang tengah memperhatikannya. Wajahnya masih jutek, dengan langkah malas ia menghampiri karpet lantas duduk di samping Ray. Sengaja ia agak membentuk jarak dengan sang adik, jujur saja dirinya masih jengkel. Ditatapnya menu makan malam, benar-benar lezat dan membuatnya ingin menyantap semuanya langsung. Ia pun meraih piring dan mengambil nasi cukup banyak, lengkap dengan lauk serta sayur mayur. Terakhir diambilnya sendok sekaligus segelas lemon tea.

“Jangan lupa berdoa,” celetuk Ray sebelum Zhian melahap suapan pertama.

Zhian mengangguk, selanjutnya ia sibuk menghabiskan makanannya tanpa berucap sedikitpun. Ray dan Sharim hanya memandangnya dengan harapan bahwa Zhian telah merasa lebih baik dan paling penting sudah memaafkan Sharim. Harapannya begitu, tetapi ketika Sharim mencoba duduk mendekati kakaknya, justru Zhian segera bergeser untuk menjauh. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali dan membuat Sharim lagi-lagi berduka. Sudah tidak mau menatap, ditambah enggan duduk berdampingan, Sharim merasa lara.

Hingga menjelang rehat, Zhian masih menghindar dari adiknya sendiri. Ia bahkan meminta Ray untuk berbaring di antaranya dan adiknya sebagai pembatas, jika saja ada dua tenda maka ia akan memilih untuk tidur sendiri.

“Kenapa sih dia harus tidur bareng kita? Katanya rumahnya deket!” Gerutu Zhian ketika mendapat kesempatan berbincang berdua dengan kawannya.

“Lho, kamu nggak mau maafin dia. Aku udah coba bujuk dia buat pulang, tapi ditolak. Aku nggak bisa maksa dia, karena dia sendiri juga maksa aku dan kangen banget sama kakaknya.” Jelas Ray lantas tersenyum tipis.

“Bocah ngeselin!” Umpat Zhian sembari mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Pukul setengah sebelas tepat, ketiga laki-laki itu telah siap untuk memejamkan mata. Usai Ray memimpin berdoa, maka segeralah mereka pergi ke alam mimpi. Suasana sunyi nan dingin amat memudahkan untuk terlelap.


“Sharim!”

Teriakan nama familiar terdengar cukup jelas selang beberapa menit selepas mereka tidur.



To be continued.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 01, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ReviveWhere stories live. Discover now