honest

21 1 0
                                    

“Wow, kamu seorang pemimpin? Mengesankan!” Ray sumringah ketika mendengar nama kawan barunya.

“Cuma nama!” Bentak si kawan baru cukup geram, “Itu cuma harapan orang tua yang berlebihan. Sangat nggak mungkin gue jadi seorang pemimpin,” ia mendengus lantas menikmati secangkir cokelat hangat.

Well, orang tuamu pengin kamu jadi sosok gagah layaknya seorang pemimpin,” Ray merapikan meja makan kemudian meraih tas ransel, “Zhian, hari ini aku ada kelas sampai jam 12 siang. Sendiri nggak masalah, kan?” ia segera menyambar jaket yang tersampir di kursi.

“Pergi aja, gue bukan anak-anak,” Zhian mengibaskan tangannya, “Wait, lo nggak takut kalau gue merampok?” kerutan di keningnya cukup tebal sembari memperhatikan Ray yang sedikit lagi meninggalkan rumah.

“Kamu udah lupa perjanjian kita tadi malam?” Ray meringis, “Assalamu'alaikum,” bergegas ia keluar lantas berjalan menuju kampus.

Ah, perjanjian. Zhian mengangguk paham. Sebuah kesepakatan yang terkesan sepele tetapi sesungguhnya punya makna yang serius. Bukan meminta bermacam-macam hal atau melontarkan ancaman, Ray justru hanya menyuruhnya untuk selalu jujur. Entah itu sikap maupun lisannya, ia harus senantiasa melakukan kejujuran. Hanya satu kata saja jika ia mampu berkomitmen, maka Ray tidak akan membiarkannya tidur di pelataran toko.

Tak lama usai si tuan rumah pergi, Zhian bergegas membersihkan diri lantas mengenakan pakaian yang telah Ray siapkan di kamar. Bersyukur dirinya mengetahui ukuran tubuhnya dengan Ray tidak jauh, ia hanya sedikit iri dengan tinggi badan Ray yang melewati angka 180 centimeter. Ah, bukan masalah besar. Kini ia ingin bertamasya sebentar di seluruh sudut rumah kontrakan kawan barunya itu.

Kali pertama Zhian memasuki rumah Ray, kerutan di dahinya menebal sembari otaknya mencoba menerima kenyataan. Ia sudah memastikan bahwa bangunan yang ditinggali Ray adalah sebuah kontrakan yang mana seharusnya memiliki desain sederhana dengan sebuah kasur, satu kamar mandi, dapur kecil, serta ruang tengah yang juga minimalis. Namun, sangkaannya terbantah mentah-mentah. Rumah kontrakan tersebut justru memiliki 2 lantai dengan 2 kamar tidur serta sebuah kamar mandi di setiap lantai, bahkan di belakang tampak luas halaman dengan pemandangan yang memanjakan mata.

Entah seberapa kaya keluarga Ray hingga membuat Zhian berdecak kagum.

Gila, ya.

Kala hari semakin siang, Zhian semakin bosan dengan kesendirian dan kesepian. Sedari tadi ia menonton acara televisi yang telah lama tak pernah ia saksikan, pun ia tuntas menghabiskan setoples cookies bersama satu gelas besar teh hangat. Embusan napas bosan berkali-kali keluar dari mulutnya, bola matanya berputar tanda ia benar-benar kebosanan, ditambah erangannya yang menunjukkan bahwa ia pun kebingungan hendak berbuat apa.

Ambil saja satu barang berharga di sini.

Sebuah bisikan tiba-tiba menghampiri telinga Zhian, membuatnya buyar dari lamunan lantas menoleh ke segala arah.

Tidak perlu yang paling berharga, ambil saja yang kira-kira dengan barang itu akan membuat hidupmu sejahtera.

Lagi, bisikan yang samar-samar itu mengusik telinganya. Zhian menggigit bibirnya, lantas kepalanya menoleh ke sebuah pintu di lantai atas. Sejujurnya masih ada satu ruangan yang belum ia ketahui dan rasa penasarannya pun masih menari-nari dalam benak. Namun, ia tidak ingin membuat situasi kacau hingga ia harus diusir. Dengan tubuh gugup, langkah kakinya membawanya menaiki tangga pelan-pelan.

Tidak usah khawatir! Lagipula temanmu sedang kuliah sampai pukul 12 berarti masih ada satu jam.

Zhian menelan ludah. Tiba sudah ia di depan pintu dengan tangannya menggenggam knob. Detik selanjutnya, pintu telah terbuka bahkan sebelum ia menyadari. Segala pemikiran yang mengesankan terpatri dalam otaknya—kasur dengan ukuran king, lemari besar berisi baju-baju super mahal dalam jumlah banyak, komputer, aksesoris meja belajar, dan segala macam barang mahal yang kira-kira cocok berada di dalam kamar.

Benar! Sebuah komputer yang pernah menjadi idamannya semasa kecil kini terpampang jelas di hadapannya. Sepasang matanya berbinar, senyumannya melebar, bergegas ia menghampiri untuk lebih dekat mengagumi barang mahal itu. Jantungnya berdegup kencang saking bahagianya, ingin sekali ia memiliki komputer seperti itu.

“Nggak nyangka gue kalau Ray emang kaya,” gumam Zhian dengan gelengan kepala, “Gue bisa jual komputer ini terus kabur sambil bawa uang banyak. Bakal seru, deh!” Ia mengangguk mantap.

Selang beberapa menit, pandangan Zhian terusik oleh tas ransel yang menggantung di dekat lemari. Tidak salah lagi, barang itu dibanderol dengan harga yang tidak main-main. Ia sangat yakin pernah melihatnya di suatu tempat dan memang memiliki harga fantastis. Segera ia mendekati tas itu.

“Kalau gue bawa pergi tas ini, kemungkinan nggak bakal ada yang curiga. Sekarang aja, deh!” Zhian serta-merta menggendong tas itu dan berlari meninggalkan kamar.

Dengan kekuatan godaan makhluk gaib paling sesat, Zhian seketika lupa akan kesepakatan yang telah dibuat. Seolah-olah tak ada keraguan dalam benaknya, ia dengan semangat menggebu berlari menuju toko paling dekat.

Dan tanpa disadari, si tuan rumah tengah melewati persimpangan yang sama dengannya sembari mengamatinya yang amat bergembira.










To be continued
7 Ramadhan 1443 Hijriyah.

ReviveWhere stories live. Discover now