debt

8 1 0
                                    

Untuk kesekian kalinya, rombongan pria berbusana serba hitam berkunjung ke rumah. Mereka berbadan kekar, memiliki tubuh tinggi, serta ekspresi yang sangat mendebarkan. Ditambah fakta bahwa alasan yang membawa mereka datang adalah untuk menagih utang, maka satu keluarga tersebut seketika diserang oleh ketakutan serta kepanikan luar biasa hebat. Awal-awal dulu hanya satu orang yang datang menagih, mungkin karena amat murka kemudian satu orang itu mengajak koleganya. Kini terlihat 4 pria berdiri tegak di depan pintu.

“Bayar utangnya sekarang! Jangan banyak alasan!!” Bentak—panggil saja Ben—dengan keras menggelegar, bahkan telapak tangannya sengaja menghantam pintu untuk menambah kengerian ancaman.

“Maaf, tapi hari ini kami belum memiliki uang untuk menggantinya,” balas si kepala keluarga dengan wajah cemasnya.

“Banyak alasan! Satu bulan yang lalu kamu bicara hal sama!! Apa kamu pikir kami bodoh??” Ben semakin murka sembari mencengkram erat kerah baju ayah.

“M-maaf, t-tapi kami bener-bener nggak punya—”

“Berisik!” Serta-merta Ben memukul wajah ayah berkali-kali, sementara itu ibu berusaha melerai keduanya.

Cukup lama Ben menyakiti fisik orang yang berutang padanya, pun ibu kesulitan untuk menghentikan mengetahui bahwa Ben bukanlah pria biasa seperti suaminya. Pemandangan memilukan itu tak sengaja ditonton oleh anak sulung di keluarga tersebut, usianya masih di bawah 12 tahun, tubuhnya tampak kecil dengan baju lusuh membalutnya. Anak itu punya keinginan untuk membantu sang ayah, tetapi dengan adanya 3 pria kekar lain di sana membuat nyalinya ciut duluan. Alhasil ia hanya menonton semuanya dari balik pintu.

“Ben, hentikan. Kamu menarik perhatian tetangga, tuh!” Ucap seorang pria setelah beberapa menit terdiam, ditepuknya pelan pundak Ben, “Sepertinya keluarga ini memang sangat miskin, kamu sendiri mencium bau nggak sedap, kan?” tanyanya sembari mengendus udara sekitar.

Benar. Jika memasang indera penciuman baik-baik, maka rumah ini memang memiliki aroma busuk. Kamar mandi ala kadarnya, air keruh yang sering digunakan untuk mandi orang gua serta kedua anak. Tentu saja, kesehatan yang didapat sangat jauh dari kata baik. Tidak ada anak-anak dengan badan segar bugar berwajah menawan, semuanya lusuh dan kotor. Pun dengan si anak sulung, ia tak berbeda dari adik-adiknya.

“M-maaf, tapi kalau kami membayarnya dengan hal lain gimana? Bukan dengan uang, m-melainkan ...” ayah tergagap sambil memandang istrinya.

“Apa maksudmu, Sayang?” ibu tentu memahami maksud suaminya tanpa perlu penjelasan, ia mengernyit keheranan dan tentu saja gemetar hebat.

“Wanita ini? Hmm ...” Ben lantas menaruh pandang ke wanita di hadapannya, “Kurasa itu ide—”

Wait, Ben! Doesn't he look attractive?” pria tersebut menunjuk ke arah pintu dengan dagunya, “Such a beautiful boy!” Serunya tersenyum lebar.

“Oliver? Anak ini?” Ben mengerutkan keningnya.

Sementara itu, si pria—Oliver—mendekati anak yang ia maksud. Dielusnya kepala si anak, senyuman senantiasa menghiasi wajahnya, sedangkan anak itu hanya diam memandang. Sungguh, anak tersebut ingin mengambil langkah seribu sambil berlinang air mata. Namun, lirikan orang tua yang seakan-akan menyuruhnya bertahan memaksanya untuk mengurungkan niat.

“Aku akan membawa anak ini, maka utangmu lunas,” Oliver merangkul anak kecil itu kemudian memandang sang orang tua, “Mungkin saat ini harganya belum memenuhi utang kalian, tapi saat dia besar nanti bakal berpotensi ngasih banyak pendapatan,” lanjutnya.

“T-tuan ingin membawa Arsya? Dia nggak bisa apa-apa, dia cuma anak bodoh—”

“Seenggaknya dia punya wajah menarik. Aku suka padanya,” Oliver segera memutus kalimat ayah, “Ben, ayo pulang. Aku udah nggak ada urusan lagi di sini,” katanya lantas beranjak.

Semenjak hari itu, bocah bernama Arsya tak pernah bersua dengan orang tuanya. Hidupnya jauh lebih baik, sandang, pangan, dan papan benar-benar terpenuhi berkat Oliver. Tidak hanya tiga kali, ia bahkan diizinkan makan lima kali sehari. Untuk urusan kebersihan, Oliver menyediakan kamar mandi yang amat bersih nan luas. Lantas ada sebuah lemari besar untuknya, di dalamnya terisi berbagai style pakaian yang sebelumnya hanya sebatas angan-angan. Kala ia merasa penat, maka terdapat kamar dengan kasur empuk untuknya rehat. Sungguh, kehidupannya berubah 180 derajat.

Akan tetapi, sedikit rasa rindu hinggap padanya. Ketika Arsya sendirian dan tak memiliki aktivitas, maka ia akan teringat oleh rumahnya—bagaimana adik-adiknya, orang tuanya, cara mereka bertahan hidup. Akankah mereka baik-baik saja tanpanya? Haruskah ia sehari saja menjenguk kondisi keluarga?

Perlahan Arsya tumbuh menjadi seorang remaja menawan. Berkat kepedulian Oliver kepadanya, ia kini memiliki tubuh segar bugar dan staminanya cukup banyak. Tentu saja Oliver tidak membiarkannya hidup malas-malasan, ia tetap harus rajin olahraga demi menjaga bentuk tubuhnya. Pada mulanya Arsya tidak ambil pusing tentang olahraga rutin, tetapi ia sedikit demi sedikit memahami segala niat asli dari Oliver.

“Arsya, selesai makan malam jangan lupa ke kamarku, ya,” pinta Oliver di suatu malam ketika Arsya asyik menikmati makan malam.

“Baik,” jawab Arsya seadanya.

Usianya masih 13 tahun, tersebab oleh kondisi keluarga yang memprihatinkan, ia harus terima untuk menjadi bahan pemuas nafsu seorang pria. Jika ditanya apakah dia tak berusaha memberontak, maka sesungguhnya ia sering. Namun, pertahanan di rumah tersebut amat ketat.






To be continued.
25 Ramadan 1443 Hijriyah

ReviveWhere stories live. Discover now