good manner

3 1 0
                                    

Tuhan tidak pernah ada, Tuhan tidak pernah ambil peduli padanya maupun keluarga, tidak ada Tuhan yang selalu dielu-elukan semua orang. Katanya Tuhan Maha Adil, lantas kenapa Dia membiarkan keluarganya dalam keadaan miskin bertahun-tahun hingga dililit utang menggunung? Alhasil, ia harus mau dijadikan korban untuk membayar seluruh tanggungan tersebut. Dari usia 10 tahun hingga 17 tahun, dari dirinya tak memahami apa-apa sampai mulai mengerti dunia, habis-habisan ia diperbudak oleh pria asing berwatak keji. Sudah miskin, terlilit utang, kini harus merasakan kepedihan yang lebih mengacaukan mentalnya.

Di mana Tuhan Yang Maha Adil? Kenapa Dia tidak turun tangan membantu keadaanya meski hanya sedikit saja? Mungkin jika Ia menunjukkan kepedulian sekali saja, maka ia akan percaya dan lebih sering menggantungkan keadaan pada-Nya. Ah, itu hanya kemungkinan kecil yang akan terjadi di hidupnya. Sangat mustahil Tuhan mendengar rintihan dan kesakitannya, bahkan jika ia tewas.

Akan tetapi, kedatangan mahasiswa semester 6 itu membuatnya berubah pikiran. Tanpa perjanjian, mahasiswa itu datang di kehidupannya dan pelan-pelan mengubah cara pandangnya terhadap Tuhan. Mahasiswa yang lahir di keluarga berkecukupan, bahkan rumah kontrakannya terlihat seperti apartemen, tetapi dilihatnya mahasiswa tersebut tak pernah menyombongkan hartanya. Atau mungkin belum? Entah bagaimana sifat asli kawan barunya, setidaknya sekarang ia merasa aman dan nyaman tinggal di rumah itu.


“Ray, lo pernah berbohong?” tanyanya—Zhian—pagi hari selepas menghabiskan sarapan.

Well, jarang ada jawaban ‘enggak’ buat pertanyaan itu,” Ray nyengir seraya meletakkan piring di rak, “Kenapa?” ditatapnya Zhian sekilas lantas meneguk air putih.

“Elo bohong ke Oliver pas di restoran,” sahut Zhian sambil menopang dagunya, “Lo bilang itu bangku punya lo, padahal gue udah duduk di situ dulu,” ia membuang napas.

Ray mencoba mengingat-ingat, kemudian ia tertawa kecil. Zhian sukses dibuatnya kebingungan, tentu saja ia membutuhkan jawaban bukan malah gelak tawa yang absurd. Ray menggelengkan kepala pelan, sedikit permulaan sebelum menerangkan seluruh alasannya.

“Aku kan emang duduk sendiri waktu itu, nggak ada siapapun di deketku. Jadi, bisa disimpulkan itu bangkuku,” jelas Ray dengan senyuman lebar, “Kita harus cerdas buat menyusun strategi atau musuh akan gampang banget ngalahin kita,” imbuhnya masih diselingi sedikit tawa.

“Oh, nggak usah ketawa juga. Nggak ada yang lucu,” Zhian menampilkan tatapan sinis.

Ray tidak menyahut, ia hanya membalas dengan anggukan. Hampir-hampir ia melupakan peristiwa malam itu, di mana pertama kalinya bersua dengan kawan barunya yang kini menjadi teman satu kontrakan. Sebuah pertemuan yang tak pernah disangka akan seperti itu, ketika Zhian membutuhkan bantuan untuk menyelamatkan diri, maka Allah mengirimnya memasuki restoran itu sebagai pahlawan. Jika saja Allah tidak memedulikan kondisi Zhian, maka Ray tidak akan pernah memasuki tempat itu.

“Apa kamu bersyukur?” tanya Ray usai senyap menyelimuti.

“Buat apa?” Zhian balik tanya disertai kerutan tebal di keningnya.

“Buat semua yang terjadi, entah hal baik atau kurang menyenangkan,” kata Ray kemudian membuka laptopnya.

“Nggak ada hal yang nyenengin di kehidupan gue, semuanya sampah,” Zhian terlihat jengah.

“Tau nggak? Bisa jadi Allah jarang baik ke kita karena kita sendiri nggak pernah baik ke Dia,” sahut Ray mulai sibuk dengan laptopnya, “Kita nggak mau mensyukuri nikmat-Nya, sebagai contoh kita masih sering melakukan maksiat padahal udah dikasih oksigen gratis. Allah ngasih kita oksigen bukan buat maksiat, tapi taat kepada-Nya,” Ray mulai menekan keyboard untuk menyelesaikan tugasnya.

“Itu kan salah Allah karena asal bagi-bagi oksigen,” Zhian mencibir.

“Allah nggak pernah salah dalam melakukan sesuatu. Semua yang Allah ciptakan udah disetting sesuai kodratnya masing-masing,” Ray memandang Zhian sejenak, “Wa maa kholaqtul jinna wal insa illa liya'budun,” ia meringis.

“Apa, sih? Gue nggak paham bahasa gurun,” Zhian membuang napas kasar kemudian berlalu.

“Kapan terakhir baca Al-Qur'an?” tanya Ray cepat sebelum kawannya menghilang di balik pintu.

“Boro-boro, orang tua gue aja nggak pernah ngajarin,” balas Zhian singkat lantas menutup pintu kamarnya.

Ray menghela napas, ditatapnya pintu kamar beberapa saat kemudian kembali menghadap layar laptop. Ia ingat betul perkataan Abi, bahkan kata-kata itu tersebar luas di sosial media, bahwa orang beragama selain Islam tidaklah membaca Al-Qur'an melainkan mereka membaca orang muslim itu sendiri. Kebanyakan mereka memahami Islam lewat orang muslim, diperhatikannya akhlak seorang muslim, lantas akan ia labeli agama mulia tersebut sesuai dengan apa yang mereka lihat.

Sangat disayangkan apabila mereka bertemu muslim yang hanya memakai agama Islam sebagai bentuk simbolis dan enggan melakukan peribadahan sesuai syariat agama. Maka mereka akan mengira bahwa di agama Islam urusan ibadah tidaklah penting, seakan-akan Islam hanyalah nama. Namun, amat beruntung mereka jikalau berjumpa dengan muslim yang taat dan senantiasa memperkuat keimanan seiring berkurangnya umur. Faktanya, tidak banyak muslim yang menyadari bahwa sesungguhnya mereka diperhatikan oleh pemeluk agama lain sehingga melakukan segala tindakan yang tidak mencerminkan keislaman.

Ray amat bersyukur telah memahami maksud perkataan Abi, maka ia punya kewajiban untuk mengamalkannya. Bukan Zhian beragama selain Islam, bahkan dari namanya sangat terlihat bahwa ia adalah seorang muslim. Namun, masa lalu yang mencekam nan menyakitkan membuatnya jauh dari cahaya kebenaran dan jika tak segera diselamatkan maka akan terbawa arus dunia fana. Maka, Ray memutuskan untuk menunjukkan akhlak yang karimah kepada kawan barunya. Sungguh, tak ingin ia menodai agama mulia ini sebab hawa nafsunya yang menggelora.








To be continued.
30 Syawal 1443 Hijriyah

ReviveWhere stories live. Discover now