blame

13 1 0
                                    

“Bokap gue punya utang menggunung ke salah satu konglomerat di desa. Udah berkali-kali ditagih buat bayar, tapi bokap selalu punya banyak alesan buat lunasin,” Zhian lekas berkisah malam itu, duduk berdampingan dengan Ray yang setia menyimak setiap kata yang diucapkannya, “Sampai sekarang gue berusaha melunasi utang bokap, masih aja kurang. Bahkan belum memenuhi setengahnya,” ia membuang napas jengah.

“Gimana caramu melunasinya? Kamu bekerja?” tanya Ray memberi tanggapan.

Cukup lama Zhian bungkam, matanya enggan memandang lawan bicaranya, alhasil kesunyian yang ada. Ray sendiri tak memaksa Zhian mengatakannya jika memang bukan sesuatu yang menyenangkan, dia justru mengusap pundak Zhian pelan-pelan sembari menampilkan untaian senyuman. Meskipun dirinya sungguh-sungguh penasaran ingin mengetahui jawabnya, tetapi jika sang narasumber tak berkehendak demikian ia bisa apa?

Wait, gue mau tau opini elo. Menurut lo apa semua laki-laki di dunia punya kebebasan?” terlontar pertanyaan membingungkan dari Zhian daripada penjelasan yang memusingkan kepala Ray.

“Kebebasan gimana?” Ray mengernyit saking bingungnya.

“Ya, kebebasan. Cowok bakal bebas keluar jam berapapun, nggak peduli udah larut malam, mereka nggak akan kena kasus pelecehan. Justru cowok malah jadi pelaku kasus tersebut dan semua cewek menyalahkan kita, mereka nggak tau kalau gue di sini sebagai cowok malah—” Zhian tiba-tiba membisu, ditatapnya Ray dengan muka panik bahkan sampai menggigit bibir.

Zhian merasa seolah-olah napasnya tertekan, lagi-lagi keringat dingin membasahi tubuhnya. Dalam hati sungguh ia sangat membenci dirinya, ia memaki-maki diri sendiri, bahkan ingin sekali untuk menghantamkan kepala ke dinding. Tidak, tidak. Jika ia berbuat demikian maka hanya akan semakin mempermalukan dirinya. Tak ada pilihan lain, cengkraman tangannya segera meremas rambut sendiri. Kepalanya tertunduk, sedangkan cacian dan makian masih bergema dalam benaknya. Sial sekali, ia merasa amat sial.

“Zhian, apa kamu pikir aku tipe laki-laki yang sama dengan mereka?” Ray tersenyum tipis lantas menyodorkan sekotak tissu pada Zhian, “Silakan bercerita sesukamu, aku di sini bakal dengerin baik-baik dan janji nggak akan murka,” imbuhnya.

Akan tetapi, bahkan tanpa meneruskan kisahnya, Ray mampu menebak alur selanjutnya. Perlahan ia mengerti alasan kawannya diincar oleh si pria bongsor, alasan kenapa pria itu memanggil pel*c*r, bahkan cukup paham apa yang dimaksud si pria lewat telepon kala itu. Ditambah sedikit cerita yang tak sengaja dibocorkan oleh sang kawan, semua itu berhasil memberinya secercah informasi untuk menguak lebih banyak lagi. Tidak dapat berkata-kata, Ray banyak-banyak mengucapkan istighfar dalam hati.

Dunia memang tidak lain kecuali hanya sebuah permainan.

“Sialan!” Zhian bergegas bangkit meninggalkan Ray. Hanya makian, tak ada sepatah kata lagi hingga ia memasuki kamarnya.

Ray sangat mengerti bahwa Zhian bukan lelaki cengeng yang mudah menumpahkan air mata, justru Zhian terlihat begitu kuat di samping fakta-fakta memilukan. Namun, prasangka tentang masa lalu Zhian yang buruk tentu bukan hal sepele. Seharusnya pemuda itu bisa menjalani kehidupan kuliah dengan nyaman dan damai, menjalin hubungan pertemanan dari berbagai daerah, bahkan bisa pergi ke luar negeri bermodal kecerdasan otak. Lagi, setiap manusia tidak dilahirkan dalam kondisi yang sama.

“Pasti sangat mengerikan, dia bahkan kelihatan menangis,” gumam Ray lantas melangkah ke kamarnya.

•••

Bego, bego, bego!

Zhian tak henti-hentinya menghardik dirinya sendiri diiringi linangan air mata yang membanjiri wajahnya. Kekesalan menyerangnya tanpa ampun, ia amat merasa bodoh karena kesalahan yang diperbuatnya. Niat awal hanya ingin mengetahui pendapat orang lain, tapi siapa sangka justru malah membeberkan hampir seluruh kisahnya. Meskipun si pendengar memaklumi, hatinya masih tak terima bisa melontarkan cerita tak mengenakkan semudah itu.

Dibenamkannya wajah ke bantal, sepasang tangannya mengepal kuat, ingin rasanya memukul sesuatu tetapi semua barang di sini bukanlah miliknya. Zhian hanya numpang sebentar, meski belum ada rencana hendak ke mana jika masa ‘kontrakan’ purna.

“Bener-bener Oliver sialan!” Zhian menekankan suaranya.








To be continued.
22 Ramadan 1443 H

ReviveWhere stories live. Discover now