Sebelum pulang, ia berhenti di sebuah toko martabak yang tak jauh dari taman. Matanya langsung tertuju pada etalase bertuliskan Martabak Spesial. Ia tersenyum kecil. Della pasti suka.

Kembarannya memang sangat menyukai martabak, terutama rasa coklat. Sella pun begitu. Mereka punya banyak kesamaan mulai dari makanan, cara berpikir, hingga cara menyembunyikan kesedihan.

Setelah memesan dan menunggu beberapa menit, ia berjalan kembali ke pinggir jalan, martabak hangat sudah di tangannya.

Ting!

Suara notifikasi dari ponselnya tiba-tiba berbunyi. Sella langsung merogoh saku dan menatap layar. Sebuah pesan masuk.

 Sebuah pesan masuk

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

° ° °

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

° ° °

Bagaimana rasanya hidup dalam tekanan? Dikekang, disalahkan, dituntut tanpa henti, dimaki oleh keluarga sendiri, dan selalu dibandingkan dengan saudara sendiri. Sakit, bukan?

Bukan sakit yang bisa disembuhkan oleh obat. Tapi sakit yang mengendap di hati dan tumbuh diam-diam di dalam jiwa. Sakit yang perlahan menggerogoti keberanian untuk hidup.

Dan rasa sakit itulah yang kini tengah dirasakan oleh Sella Blariza Algara.

Gadis yang bahkan tak tahu lagi rasanya dicintai oleh orang tuanya sendiri. Setiap hari, telinganya hanya dipenuhi dengan satu kata, belajar. Seolah hidupnya hanyalah mesin pencetak prestasi. Tak ada ruang untuk bernapas, apalagi merasa dicintai.

Malam ini, Sella duduk sendirian di balkon kamar lantai dua. Angin dingin menusuk kulitnya, tapi ia mengabaikannya. Kepalanya sedikit menengadah, menatap langit yang bertabur bintang. Sejenak, ia hanya ingin diam.

Setelah berjam-jam terkubur dalam tumpukan buku, ini satu-satunya cara ia menyelamatkan pikirannya dari kehancuran.

"...Akhirnya," gumamnya pelan, seperti desahan lelah.

I'M TIRED [ON GOING]Where stories live. Discover now