What? Takdir?

86 10 4
                                    

"Takdir emang suka bercanda, tapi apa ga ada bercandaan yang lebih asik gitu?"



TUK!
Sebuah pulpen mendarat dengan mulus di kening mulus milik Lia. Tentu saja itu memancing emosi sang pemilik kening tersebut, bahkan sekarang sudah terlihat kepulan asap imajinasi yang keluar dari kedua telinga Lia.
"

Akk! Sial, siapa sih yang lempar pulpen ke kening gua!" teriak Lia kesal ke seluruh penjuru kelas tempatnya dan Aga kini berada.
"Udah Li, udah, malu diliatin anak kelas." Aga berusaha menarik pelan Lia agar gadis itu duduk kembali.
"Ck! Iya iya."
Dengan sangat terpaksa Lia menuruti perkataan sahabatnya itu. Lia berulang kali menghembuskan nafasnya mencoba menetralkan emosinya yang sedang meledak saat ini. Benar - benar hari sial baginya. 
Belum juga reda amarahnya, kini ia melihat pemuda yang sudah membuatnya kesal sejak pagi itu berjalan dengan santai memasuki ruang kelas tempatnya kini berada, apa maksudnya semua ini? Sedang apa mereka disini? Semua pertanyaan itu kini memenuhi kepala Lia.
"Gila, mereka cakep - cakep banget."
Lia seketika melihat ke arah sahabatnya, apa? Cakep - cakep katanya? Tidakkah sahabatnya itu tahu bahwa dirinya sedang berusaha meredam amarah yang kini malah semakin meletup? Benar - benar sahabatnya ini.
"Ga, ngapain sih muji mereka? Gue kan lagi sebel sama si ketua geng itu tuh."
"Ya kan lo yang kesel Li, gue sih ga."
"Kok lo gitu sih?"
"Gini ya, Thalia cakep. Lo benci sama orang itu jadi urusan lo, bukan berarti gue yang sebagai sahabat lo juga harus ikutan benci dia. Kenapa gitu? Ya karena gue sama dia ga punya masalah dan lagi, masalah lo sama dia tidak bisa dikatakan masalah besar. Paham?"
Lia mengangguk pelan, ini pertama kalinya Aga memberinya nasihat panjang. Lagipula jika dipikir lagi, apa yang Aga katakan ada benarnya juga. Disini Arka sebenarnya tidaknya punya kesalahan yang berat padanya, hanya saja dirinya terlanjur kesal saja.
Tapi, tunggu, kenapa ia jadi lunak begini? Ia tetap kesal dengan Arka, itu keputusan finalnya.
"Jadi mereka sekelas sama kita?"
Hah? Apa? Sekelas? Lia menoleh ke arah teman - temannya ramai berkumpul.
"Siapa yang sekelas sama kita?" tanya Lia pada Aga yang juga melihat ke arah keramaian
"Siapa lagi, mereka lah," jawab Aga tanpa melihat ke arah Lia.
"WHAT?"
"Ini udah bisa dikatakan takdir kan?"
Kini Aga melihat ke arah Lia. Ia tersenyum jahil pada sahabatnya itu yang dibalas dengan tatapan tajam oleh Lia. Aga tak gentar dengan tatapan itu, ia malah semakin gencar menggoda sahabatnya.
"Ah, apa setelah ini akan ada adegan romantis?"
"Apaan? Gaada, lo pikir ini novel."
"Ya belum sih, tapi nanti mungkin aja jadi kisah di novel kan?"
"Gue ga mau!"
"Kalau dia mau, gimana?"
"Ya itu em.."
"Kenapa? Kok muka lo merah gitu?"
Aga memajukan wajahnya dan semakin gencar menggoda Lia yang kini terlihat salah tingkah akibat ulahnya.
"S-si-siapa yang mukanya merah?"
"HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA"
"Ga usah ketawa, Agatha!"
"Oke oke, hahaha, oke selesai, Thalia."
Aga berusaha menghentikan sisa tawanya. Dapat ia lihat, wajah Lia kini nampak semakin kesal dan ia menikmati hal itu.
"Permisi."
Aga dan Lia kompak menoleh ke arah orang yang baru saja mengucapkan salam pada mereka? Mungkin saja, karena kini ada seorang pemuda yang sedang berdiri dihadapan mereka berdua.
"Iya? Mau cari siapa ya kak?" tanya Aga pada pemuda itu.
"Kak?" tanya balik pemuda itu pada Aga yang hanya dibalas dengan gedikan bahu dan jari Aga yang menujuk ke arah bet angkatan yang berada di seragam pemuda itu dengan kode gerakan kepala.
"Oh hehehe, iya gue kakel lo semua. Kenalin gue Axel, kebetulan gue juga panitia MOS."
Pemuda bernama Axel tersebut mengulurkan tangannya ke arah Lia. Aga yang melihat hal itu hanya mendengus pelan, benar - benar pdkt yang kuno, pikirnya. Disisi lain, Lia seperti enggan untuk menerima uluran tangan dari pemuda bernama Axel tersebut dan entah kenapa, kini ia malah menoleh ke arah dimana pemuda yang membuat harinya dipenuhi kesialan itu sedang duduk, siapa lagi jika bukan Arka. Dan naas, pada saat dirinya menoleh ke arah pemuda tersebut, Arka juga sedang memperhatikan dirinya. Dengan segera Lia menoleh kembali ke arah Axel berada dan membalas uluran tangan pemuda itu dengan malas.
"Lia, kak."
"Ekhem!" Aga berdehem keras seakan mengintrupsi pada kakak kelasnya itu bahwa masih ada satu manusia yang sedang bernapas disebelah Lia.
"Oh hai, siapa nama lo?" tanya Axel kemudian pada Aga.
"Oh hai kak, Aga. Btw, kakak tiba - tiba dateng kesini cuma buat kenalan sama Lia doang?" tanya Aga sarkas.
"Eng itu, ga kok, kebetulan gue mau ada pengumuman juga." Axel menjawab pertanyaan sarkas Aga dengan sedikit kikuk karena mengetahui bahwa gadis itu memberi tatapan seperti mengintimidasi dirinya.
"Sok atuh kak diumumin aja, ngapain masih disini curi - curi pandang sama sahabat saya?"
Axel yang semakin dipojokkan oleh Aga mau tidak mau harus mengalah kali ini karena ia rasa gadis yang menyandang status sebagai sahabat dari Lia itu sangat selektif dalam memberi restu pada pemuda yang ingin mendekati sahabatnya. Jadi dia pikir, dengan dia bersikap baik dan mau mengalah pada gadis itu, maka Aga setidaknya akan sedikit tersentuh.
"Tumben lo judes gitu." Lia menatap sahabatnya bingung. Pasalnya, baru kali ini ia melihat Aga yang sangat blak - blakan terlihat tidak menyukai seseorang, terlebih orang itu osis dan panitia mereka selama MOS.
"Pandangannya ke arah gundukan sexy punya lo."
What? Apa kata Aga barusan? Kenapa dirinya tidak menyadari hal tersebut?
Ah sial, kali ini kecolongan. Sepertinya ia harus memakai cardigan atau jaket lain kali agar tidak memancing pandangan melecehkan lelaki pada dirinya.
Bagaimana tidak, seragam yang dipakai Lia saat ini memang sudah menyempit akibat pertumbuhannya dan memang sudah lama seragam itu berada dilemarinya tak terpakai. Seragam itu akhirnya terpakai lagi karena mamanya meminjamkan seragam barunya yang baru ia beli saat akan menghadapi ujian nasional pada sepupunya. Ia sudah tak mempunyai pilihan lagi selain memakai baju lama tersebut, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa dirinya bangun kesiangan.
"Btw, daritadi gue ngerasa ada yang lagi merhatiin kita dari arah samping belakang. Lo ngerasa juga ga?" tanya Aga pada Lia.
"Gue udah tau siapa yang liatin kita."
Aga mengerutkan alisnya bingung lalu menoleh ke belakang samping. Senyum jahilnya kembali terbit. Ia menatap Lia dengan senyum yang mengembang.
"Sumpah gue ngeri liatnya, liat depan sana jangan liat ke arah gue."
Lia mencoba mendorong pelan wajah Aga ke arah depan karena jengah dengan senyum mengerikan yang gadis itu berikan padanya.
"Li, Arka liatin lo tuh."
"Tadi gue udah bilang kalau gue udah tau Aga."
"Serius mau cuekin dia gitu aja?"
"Dia itu nyebelin Agaku sayang."
"Tapi bikin lo deg - deg an kan."
"Ga usah ngarang, liat depan sana."
"Oke oke gue ngalah kali ini, tapi nanti jangan harap."
Kini Aga memutuskan untuk melihat ke arah depan dan fokus pada pengumuman yang disampaikan. Melihat hal tersebut, Lia mengehela nafas lega. Ia tak tahu lagi apa yang akan terjadi padanya kalau saja Aga masih melanjutkan aksi menggodanya itu. Lia ingin memastikan kembali apa yang dilihatnya tadi apakah benar, ia menoleh sekali lagi ke arah Arka dan benar, pemuda itu masih memandang ke arah dirinya. Lia segera menatap ke arah depan dan pura - pura sibuk dengan alat tulisnya untuk mencatat pengumuman yang diberikan. Hal itu tentu saja membuat senyum tipis di sudut bibir Arka terbit.
"Cute."


To be continue....

Note :

- Tokoh atau visualisasi yang digunakan dalam cerita ini hanya untuk kepentingan cerita, bukan shipper ataupun sebagainya!

- Seluruh Foto Cast yang digunakan bersumber dari pinterest.

- Dilarang mengcopy atau menjiplak cerita ini

- Mohon tinggalkan jejak berupa vote/komentar untuk menghargai penulis🤗

Terimakasih

SEVENTEENOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz