orientation

46 3 0
                                    

“Jadi perempuan tuh susah, ya. Pakai baju gini salah, pakai baju gitu salah. Andai laki-laki tau apa yang kita rasain, nggak bakal mereka macam-macam lagi!”

Telingaku dengan amat sempurna merekam seluruh pembicaraan sampah para gadis di seberang meja. Sungguh semangat mereka menggelorakan slogan bahwa perempuan tak akan pernah bebas, sekaligus merasa bangga ketika menyalahkan kaum Adam sebab tak dapat mengontrol hawa nafsu. Semakin larut, obrolan mereka kian tak berbobot. Namun, aku pun malah menikmatinya ditemani segelas milkshake yang tak terasa dingin lagi. Tidakkah aku berdosa telah menguping percakapan mereka? Ah, masa bodoh!

Kutemukan beberapa keping uang dari dalam saku celana dan segera aku membuang napas kasar mengetahui uang itu sangatlah menipis. Netraku memandang papan persegi panjang yang terpajang di atas kasir, menampilkan seluruh menu yang disajikan lengkap dengan harga.

“Terima kasih,” kataku lantas membawa selembar roti tawar dengan olesan sedikit selai kacang, segera aku kembali ke bangku semula dan melanjutkan aktivitas tak bermoral—menguping.

Pantatku mendarat sempurna di kursi ketika sosok lelaki familiar memasuki restoran kecil ini. Dari kejauhan 10 meter dapat terlihat sangat jelas ototnya yang bertonjolan hendak menerobos kulit lehernya, pun tak ketinggalan sorot mata tajamnya yang memindai keseluruhan isi restoran bak alat scanning. Kala ia asyik mencari-cari sosok yang diinginkannya, maka sosok itu—aku—mati-matian mencari tempat persembunyian.

Kepada siapa aku harus berharap? Kepada siapa aku bisa berlindung? Di dunia yang amat tidak adil ini, mana ada orang yang mau ambil peduli pada sosok sampah seperti ini. Sungguh, kepanikan luar biasa gila ini benar-benar membuatku sakit. Di saat-saat seperti ini, tidak akan ada yang mampu menasihatiku bahkan jika membawa-bawa kematian. Semuanya sampah! Tidak berguna! Bahkan aku sendiri yang mengatakan itu jauh lebih tidak bermanfaat. Ayah, Ibu, aku yakin kalian pasti amat menyesal telah memiliki anak pengecut seperti ini.

Baik, langkah kakinya kian mendekat bahkan aku mampu mendengar embusan napasnya yang memburu. Sial! Jika aku tahu akan berakhir seperti ini, maka aku tak akan mau dibawa olehnya ke tempat itu. Sial, sial, sial! Mengapa manusia tak mampu memprediksi masa depan? Mengapa?! Tuhan—tunggu, siapa tuhan? Berhenti berhalusinasi, tidak akan datang pertolongan dari Tuhan yang selalu dibanggakan orang-orang. Cepatlah berpikir untuk bisa keluar dari tempat ini!

“Maaf, saya menempati bangku ini sejak tadi dan saya cuma sendiri,”

Huh?

“Benar, mana mungkin saya berani berbohong. Memang saya menduduki tempat ini,”

Siapa orang ini?

“Bukan masalah, mungkin karyawan akan membersihkan piring bekas pelanggan sebelumnya setelah ini. Jangan khawatir,”

Sejak kapan aku mempersilakan orang asing duduk di sini?







To be continued.
1 Ramadhan 1443 Hijriyah

ReviveWhere stories live. Discover now