"Ini pompanya rusak atau gimana, sih?" gerutu Isy seorang diri, setidaknya sampai beberapa detik ke depan, karena setelahnya ada suara lain yang mengisi ruang sendirinya.

"Kempes, ya?"

Keterkejutan segera menyergap, hingga Isy cukup terlonjak dari posisi berjongkoknya. Dada gadis itu berdebar cepat karenanya, bahkan mata Isy pun merapat secara refleks. Sementara dari belakang, ada kekehan yang melintasi telinga, membuat gadis itu mau tidak mau menolehkan kepala.

Wajah kesal yang memang sudah lebih dulu tertampil sebelum dia mengganti arah pandang, kini bertambah jelas saat mengetahui bahwa dia mengenal si penyebab keterkejutan. Beberapa senti di atasnya, ada wajah Jaza yang bisa dia lihat dengan jelas. Lelaki itu sedikit membungkukkan badannya, membuat raga itu mendekat ke arah Isy.

Senyum lebar sang lelaki tidak ditanggapi dengan imbang oleh Isy, sebab yang dia beri justru decakan kesal. Namun, dia tidak mau memperpanjang masalah. Dikembalikannya fokus pada pekerjaan semula, seolah Jaza tidak ada di sana.

Isy sadar bahwa Jaza masih memperhatikan gadis itu dari tempatnya, tetapi dia tidak peduli. Setidaknya sampai dia berdecak kesal, karena setelah dua kali memompa lagi, tetap tidak terjadi perubahan yang berarti. Isy kembali berjongkok, tetapi kali ini tidak berjalan lancar seperti sebelumnya. Ada tangan yang menahannya, menarik lengan gadis itu sehingga dia mau tidak mau harus mengikuti titahnya.

Bukannya Isy tidak mau menolak, tetapi lebih dari itu, tubuhnya membeku. Dia belum bisa bergerak hingga tubuhnya berdiri tegak. Gadis itu baru tersadar saat tangan yang sama ingin menggeser posisi berdirinya. Maka, secepat kilat Isy mengempaskan tangan itu. Napasnya menderu, memberikan tatapan nyalang pada sang pemilik uluran.

Isy harus menggenggam erat tangannya, merangkum udara kosong di dalam sana untuk menyamarkan getar yang terasa. Matanya terpejam, menenggelamkan bayangan hitam yang menyeramkan, sebelum kembali membuka kelopak untuk berhadapan dengan raut bingung Jaza.

Bibirnya bergerak di luar kendali, sebelum dia menekannya untuk mengambil alih kontrol. "Nggak sopan."

Singkat, tegas, dan penuh rasa tak terima yang kentara. Entah menyadari atau tidak, tetapi Isy bisa melihat kernyitan di dahi Jaza.

"Eh, maaf maaf. Aku nggak maksud gitu, cuma mau bantuin kamu aja."

Ucapan Jaza terdengar, tetapi Isy mengabaikan saja. Raganya kembali menghampiri tanah, berjongkok melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Di sela-selanya, gerakan konstan tercipta. Isy secara berulang menurunkan lengan baju hingga menutup punggung tangannya. Napas gadis itu masih menderu, membuatnya harus mengatur napas untuk menghilangkan sesak yang menyergap.

Namun, tampaknya dia masih harus berurusan dengan hal lain, karena kembali ada suara yang menghampiri telinga.

"Sorry, beneran. Tapi ... kamu nggak apa? Biar aku bantuin pompa bannya aja gimana?"

Isy dapat merasakan satu tubuh yang mendekat dari belakang. Mata kembali dia pejamkan, menahan kesal yang melingkupi dengan pekat.

"Bisa pergi aja, nggak?" katanya tanpa menoleh ke objek bicara.

"Don't you mind if I help you to fix it first?"

"Tolong, ya, kamu pergi aja. Sumpah ganggu banget." Kesabaran Isy habis, dan kalimat itulah yang tanpa diminta keluar dari mulutnya.

Dia tahu, Jaza mungkin tidak tahu apa-apa. Akan tetapi, tingkah sok peduli lelaki itu tidak seharusnya ditujukan kepadanya. Lagi pula, Isy tidak ingin Jaza memaklumkan tindakannya itu. Jadi, tidak salah kan jika dia berujar dengan sedikit keras?

"Oke. Maaf, ya, kalo gangguin kamu."

Tak ada jawaban yang Isy berikan. Dia hanya sibuk dengan pekerjaan di tangan. Terserah apa persepsi Jaza tentangnya. Bahkan, jika lelaki itu menganggapnya buruk dan enggan mendekat lagi, justru menjadi hal yang tepat. Berurusan dengan lelaki memang tidak pernah berada di daftar hal-hal yang dia izinkan untuk terjadi.

Perlahan, Isy mampu menyamarkan kekalutannya, bersama gerak Jaza yang menjauh. Ditutupnya hal mengganggu itu dengan satu tarikan napas dan remasan tangan kosong yang menguat. Dia melanjutkan pekerjaan, kembali fokus agar bisa segera menumpangi kendaraan itu, seolah sudah lupa dengan hal mengganggu yang baru saja terjadi.

Kondisi gadis itu jauh berbeda dengan insan lain yang beberapa waktu lalu juga berdiam di tempatnya berada. Jaza, lelaki itu, yang kini sudah menaiki motor dan melirik posisi Isy untuk terakhir kali, justru berulang kali memutar kejadian beberapa menit ke belakang. Ada tanya besar di kepalanya. Ternyata, selama apa pun dia memperhatikan gadis itu dari jauh, tidak membuatnya memahami apa yang terjadi.

Raut itu sangat asing bagi Jaza, tak pernah dia temui selama lebih dari satu tahun menaruh atensi pada sang pemilik rupa berparas elok. Gerakan konstan itu pun ... Jaza tak pernah melihatnya.

Dalam diam, dia merutuki diri. I'm sorry for being rude, Isykarima Java, gumamnya, tanpa seorang pun yang dapat mendengar. Sama seperti rasa yang tersimpan rapi di dalam sana, tanpa seorang pun tahu bagaimana rupanya.

AN, bersama ketidaktahuan atas jiwa yang dimilikinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

AN, bersama ketidaktahuan atas jiwa yang dimilikinya.

March 21, 2022.

Protect At All Costs (END)Where stories live. Discover now