🐼Bukan untukku= 17🐼

16 14 0
                                    

Selepas kepergian Rubi, suasana diantara Arlanta dan Ruminten jadi canggung.

"Lo  kenapa ngomong gitu ke Rubi?" tanya Ruminten heran.

"Emang salah gue ngomong gitu? Gue nggak ngerasa gue salah, cantik," ucap Arlanta sambil menepuk pelan pundak gadis itu.

"Lo khawatir ya kalau Rubi jadi stres?"

"Iya. Lagian lo ngapain bohong segala? Nggak ada apa-apa diantara kita, Ar," ucap Ruminten perlahan. 

"Yah memang. Gue sengaja, biar dia peka sama perasaannya. Lo suka, kan, sama Rubi?"

Ruminten tersenyum tipis. Dia sudah tahu kalau Arlanta memang tidak peka, atau memang tidak pernah ada namanya di dalam hati cowok itu. 

"Sok tahu, lo. Daripada bahas ginian, mending lo belajar. Emang lo dah udah kerja tugas Pak Rudi?"

"Pak Rudi sejak kapan ngasih tugas?" tanya Arlanta lagi. Dia langsung menepuk dahinya keras.

"Gue lupa! Astaga."

"Nah lo. Murid kesayangan tapi malah lupa ngerjain tugas. Makanya jangan ngerjain orang, kualat, kan lo."

"Sialan, lo. Berisik."

Ruminten tertawa melihat Arlanta yang menderita. Setidaknya waktu-waktu ini terasa menyenangkan.

"Lo tahu, Ar? Gue suka sama--"

"Sama gue?" tanya Arlanta lagi.

Ruminten terdiam, dia takut salah berucap.

"Lo masih gagal move on? Kita udah pisah satu tahun yang lalu."

"Gue tahu kita udah pisah. Gue lagi proses buat lupain lo. Susah buat nerima kenyataan aja, sih."

"Gue tahu. Gue nggak nyalahin lo. Lagian pisah bukan berarti kita nggak boleh berteman. Seperti ucapan gue waktu itu, kita tetap berteman."

"Harusnya dari awal lo nggak usah nerima gue, Ar," ucap Ruminten pelan.

Mereka terdiam, Arlanta terus mengerjakan tugas dan Ruminten terdiam memandang cowok itu. Gadis itu tersenyum, hidupnya semakin rumit karena sebuah rasa.

"Kenapa lo nggak coba buka hati lo buat Rubi? Gue tahu dia suka sama lo."

"Lo asal nebak aja kali. Tiap hari juga dia nistain gue mulu. Mana ada orang yang jahatin orang yang disukainya?" ucap balik Ruminten, meskipun ada bagian dari dirinya yang berharap jika pernyataan Arlanta memang kenyataan. Namun, dia tidak bisa. Gadis itu terlalu takut dengan harapan.

"Serius gue. Lo kenapa nggak mau buka hati buat dia?"

"Kalau buka hati semudah itu, gue nggak akan lama move on dari lo."

"Lo secinta itu sama gue?"

Gadis itu menghembuskan napasnya pelan. "Lo pikir aja sendiri."

Ruminten menyudahi pembicaraan mereka seiring dengan masuknya guru ke kelas mereka. Hari ini moodnya sudah berantakan dibuat Arlanta. Biasanya Rubi akan datang dan mengikuti kemana pun Ruminten pergi, mengajak dan menghiburnya supaya bahagia lagi. Cowok yang tidak diharapkan, tapi hadirnya terasa menyenangkan.

Gadis itu kembali memikirkan semua tindakannya dan perlakuan yang diberikan Rubi padanya. Sepertinya dia sudah salah memberikan harapan pada Rubi, ternyata dialah orang jahat di hubungan ini. Arlanta pasti hanya takut menyakiti Ruminten sehingga dia menerimanya sebagai pacar waktu itu. Soal rasa memang tidak bisa disalahkan, sebab tidak ada yang mengharapkan rasa itu tumbuh. Rasa yang menggiring pemiliknya pada rumah yang salah, pada akhirnya semua tinggal menunggu waktu kapan akan diusir ketika pemilik rumah datang. Dia hanya menjaga jodoh orang saja, waktunya terbuang sia-sia.

"Mungkin Arlanta benar. Aku harus coba dulu," gumam Ruminten pelan.

Ego dan logikanya seakan berseteru. Membuka hati disaat masih ada pecahan kenangan dari tamu sebelumnya. Tamu yang datang membawa kebahagiaan sementara lalu pergi meninggalkannya bersama kenangan yang pedih. Kenangan itu tidak mau pergi, membuat pemilik hati menderita dalam kenangan. Namun, Ruminten mau mencoba dulu. Mungkin Rubi bisa menyembuhkan luka dan membawanya menjadi pribadi yang lebih baik.

Ruminten tersenyum, dia berharap pilihanya tidak salah. Mereka tengah mendengarkan penjelasan Pak Rudi hingga guru itu memanggil nama muridnya.

"Ruminten. Daritadi saya lihat kamu melamun terus cengengesan. Ada yang lucu dengan penjelasan saya?" 

Suasana kelas menjadi tegang, semua pandangan tertuju pada gadis itu. Gadis dengan pipi chubby dan rambut berwarna merah.

"Ruminten?" tanya Pak Rudi lagi karena tidak kunjung mendapat respon dari muridnya itu.

Rubi dan Arlanta sudah keringat dingin melihat Ruminten yang masih terdiam. Gadis itu sekarang malah menatap kedepan dengan tatapan kosong. Gadis itu melamun, entah apa yang dipikirkannya sekarang.

Rubi langsung berinisiatif untuk mendekati Ruminten dan menepuk pundaknya keras.

"Rum! Woi, bangun. Lo dipanggil Pak Rudi," ucapnya keras.

"H-ha?" 

Butuh waktu beberapa detik hingga kesadaran Ruminten kembali. Dia terlihat seperti orang linglung. Belum lagi bola matanya yang membesar begitu menyadari wajah Rubi berada dekat dengan wajahnya. Otomatis wajahnya jadi memerah, dia malu.

"Lo ngapain melamun, bego?" ucap Rubi lagi lalu kembali ke tempat duduknya. Tempat duduk Rubi, Ruminten dan Arlanta satu deret jadi mereka bisa memperhatikan kondisi satu sama lain. Rubi tahu Ruminten ceroboh dan suka melamun, itu mengapa dia mau menjaganya supaya gadis itu tidak celaka karena kecerobohanya. Dia tidak mau gadis itu kenapa-kenapa.

"Kamu melamun, Ruminten?" kali ini Pak Rudi yang bersuara. Suasana romantis yang tercipta antara Rubi dan Ruminten kini beralih menjadi tegang karena ucapan Pak Rudi.

"M-maaf, Pak," ucap Ruminten seraya berdiri dan membungkukkan badan. Dia merasa bersalah sudah melakukan hal ini.

"Kamu lihat soal di papan tulis ini. Coba kerjakan."

"Mati gue," ucap Ruminten lagi. Namun, dia harus maju dan mengerjakan soal itu meskipun dia tidak tahu.

Sudah lewat beberapa menit, sayangnya gadis itu belum kunjung menyelesaikan soal di depannya itu.

"Mau buang berapa banyak waktu lagi, Ruminten? Kamu sadar, kan, kalau ujian akhir akan dilangsungkan dua minggu lagi. Kamu masih belum belajar? Soal semudah ini dan kamu belum bisa kerjakan? Kamu niat sekolah, Nak?"

Gadis itu terdiam dan menunduk. Ucapan yang menyakitkan, tetapi benar adanya. Mungkin hadirnya di dunia ini adalah kesalahan, ucapan yang sering didengarnya ternyata benar adanya. Hadirnya memang tidak diharapkan, tidak semestinya dia hidup.

"Kenapa nunduk? Emang ada apa di lantai?" tanya Pak Rudi lagi.

Bola mata Ruminten sudah memanas, air matanya sudah menumpuk di ujung matanya. Sekali lagi Pak Rudi melontarkan ucapannya, mungkin saat itu pula dia akan menangis.

Baru saja Ruminten mau mengucapkan permintaan maaf, terdengar suara decitan kursi.

"Maaf, Pak. Saya ijin membantu Ruminten."

Dia Rubi, sudah berdiri dan mendekati Ruminten.

"Memang kamu tahu cara ngerjainnya?" tanya Pak Rudi lagi. Di matanya Ruminten dan Rubi sama-sama bandelnya. Dia lebih menyukai Arlanta dibanding mereka berdua.

"Saya coba dulu, Pak."

Tidak sampai satu menit, soal itu selesai. Soal perhitungan yang tidak bisa diselesaikan Ruminten. Semuanya menatap Rubi dengan pandangan terpukau, termasuk pak Rudi, sebab Rubi ini terlihat malas-malasan dan nakal. Mereka tidak menyangka Rubi bisa seencer itu dalam mengerjakan soal.

Rubi tersenyum lalu menepuk pundak Ruminten pelan. Ruminten tersenyum tipis dan mengangguk. Mereka kembali berjalan ke tempat duduk masing-masing. Pelajaran kembali berjalan seperti biasa. Pak Rudi tidak lagi membahas kejadian tadi. Bel istirahat sudah berbunyi pertanda waktunya istirahat.

Waktu yang menyenangkan, tetapi firasat Ruminten tidak baik. Seakan-akan akan datang sesuatu yang menyakitkan.

🐼

Jumkat: 1022 kata

First Love  (TAMAT)Where stories live. Discover now