🐻Pupus=16🐻

22 14 0
                                    

Seharian di sekolah benar-benar menguras tenaga semua orang, termasuk Ruminten. Apalagi hatinya yang panas karena mendengar gosipan anak-anak sekelasnya mengenai Arlanta dan mantannya yang cantik itu.

"Rum, lo beneran nggak tahu mantannya Arlanta masuk ke sekolah ini?" tanya Rubi sambil menabok lengan Ruminten keras.

Ruminten menatapnya balik dengan tatapan malas dan memutar bola matanya. "Najis, pegang-pegang. Kita bukan muhrim. Jauh-jauh sana."

Rubi tentu saja terkejut mendengarnya, tangannya memegang dadanya dan memasang ekspresi terkejut.

"A-apa? Lo jahat banget."

"Dih, sok kaget. Bukannya udah sering gue ngomong gitu?" tanya Ruminten lagi.

Rubi adalah satu-satunya orang yang mau berteman dengan Ruminten yang dicap sebagai orang culun di sekolah ini. Ruminten tidak hanya culun, tetapi badannya yang gemuk membuat orang-orang tidak tertarik berteman dengannya.

"Udah deh. Kapan sih sikap lo ke gue itu sebaik sikap lo ke Arlanta? Kita temanan udah dari kita masih jadi janin kali!"

"Halah, emang janin bisa berteman apa? Mana ada, asal bunyi aje lo."

Rubi tertawa lalu mengusap puncak kepala Ruminten lagi. "Udah-udah. Lo pasti kesal karena gosip itu, kan? Yah, lo jangan bandingin diri lo sama dia, deh. Soalnya kalian beda jauh, Rum."

Ruminten terdiam, menatap lekat ke arah Rubi. Cowok itu merasa ucapannya tadi kurang tepat, dia menyesal mengucapkannya setelah melihat kesedihan yang terpancar dari tatapan itu. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Dia tidak mungkin menelan ludahnya sendiri, biarlah. Memang itu yang harus dilakukannya, membuat Ruminten membencinya atau tidak suka kepadanya biar persahabatan mereka awet. Dia takut Ruminten yang putus asa mengejar Arlanta lantas beralih kepadanya. 

Dia sudah melewati batasnya, batas dalam persahabatan antar cewek dan cowok. Dia menyukai Ruminten, tapi dia tahu Arlanta dan Ruminten saling menyukai. Hanya saja mereka berdua terlalu bodoh untuk saling mengungkapkan lebih dahulu. Termakan ego dan ketakutan akan putusnya hubungan. Untuk saat ini, dia menikmati hubungan yang sekarang. Mungkin dia akan memberitahukan kepada Arlanta, saat dia sudah siap melepaskan perasaannya pada Ruminten. Merelakan dua sahabatnya saling menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih.

"Lo bacot. Berisik. Gue lagi mikir mau makan apa nanti siang. Nggak usah sok tahu."

"Eh--"

Rubi tidak jadi melanjutkan ucapannya karena tepukan pelan pada bahunya. Dari aroma parfum yang tercium, dia sudah tahu siapa yang melakukannya, sahabat yang menjadi rivalnya dalam percintaan.

"Nyet, lo apain Ruminten? Astaga."

"Tuh, Arlanta ogeb udah dateng. Lo nggak usah overthinking gitu. Hati-hati, katanya orang yang banyak pikiran bisa penyakitan lho."

"Lo jangan ngomong gitu, nyet. Justru lo malah nambah pikiran Ruminten. Dasar lo, ih."

Melihat adu debat antara Arlanta dan Rubi justru membuat Ruminten bahagia. Dia menyukai pemandangannya sekarang. Melihat Arlanta selalu berhasil membuat moodnya kembali membaik. Arlanta itu moodbooster dan bintang kehidupan bagi Ruminten. Dia tidak perduli dengan kekacauan di hidupnya, asalkan ada Arlanta disisinya maka semua akan baik-baik saja.

"Lo kenapa sensi gini, sih?" tanya Rubi lagi. Dia masih tidak terima dilemparin tasnya Arlanta. Dia masih mengusap kepalanya yang menjadi sasaran lemparan tas ajaib itu. Tas ajaib yang setingkat dengan kantung kemana saja doraemon. Tas itu memuat banyak barang, itu yang membuat Rubi menamakan tas Arlanta sebagai tas ajaib. Ukurannya kecil tapi muat banyak barang.

"Masa gue sensian? Biasanya yang sensian, kan, lo!"

"Mana ada gue sensian. Lo kenape emang? Masih pagi juga."

Arlanta menghela napas lalu menaruh tasnya di lantai dekat mejanya seraya duduk di kursinya. Cowok itu tidak menjawab pertanyaan Rubi, melainkan membuka layar ponsel dan menatap nanar ke arahnya.

"Lo kenape? Tuh ponsel nggak bakal kemana-mana meskipun lo tatap kayak begitu."

Rubi baru saja menatap ke arah buku cetaknya pun ikut menatap ke arah Arlanta setelah mendengar ucapan itu.

"Lo kenapa, Ar?" tanya Ruminten. Dia tidak suka melihat raut wajah khawatir dari wajah tampan cowok itu. Setiap kali Arlanta sedih maka dia ikut sedih.

"Nggak apa-apa kok," ucapnya lagi sambil tersenyum.

Ruminten tersenyum, dia tahu kalau Arlanta berbohong. Namun, gadis itu tidak akan memaksakan kehendaknya. Dia tidak mau Arlanta tertekan, terlebih gadis itu yakin kondisi Arlanta sedang tidak baik-baik saja.

"Ya udah. Oh iya, mantan lo jadi masuk ke sekolah ini?"

"Mantan gue? Kok lo tahu, nyet?" tanya Arlanta sambil berkacak pinggang. Dia melirik ke arah Ruminten yang terlihat biasa saja. Gadis itu sudah memasang benteng pertahanan setinggi mungkin, dia sudah menduga Rubi si ember bocor akan menanyakan hal ini pada Arlanta.

"Ya tahu, lah. Satu kelas udah ngegosipin berita itu. Katanya mantan lo cantik kayak bidadari. Lo kenapa putus, dah? Cewek spek bidadari gitu malah lo sia-siain. Nyesel, kan lo pasti?" cerocos Rubi. Cowok itu memang istimewa, jika kebanyakan cowok tidak banyak bicara, justru dia malah banyak bicara.

Wajahnya tampan, sayangnya saat mulai berbicara maka akan membuat orang lain ilfeel padanya. Dia tidak menyaring dulu ucapannya, semuanya apa adanya. Justru itu yang membuat persahabatan antara mereka bertiga jadi awet. Sayangnya, tidak semua mereka ungkapkan. Ada hal yang lebih baik tidak diketahui orang lain. Seperti ucapan seseorang, semakin sedikit kamu tahu maka akan semakin aman. Ada hal yang lebih baik tertimbun dan tidak diketahui, sebab rasa sakit yang akan ditorehkan hanya menambah kesakitan dan penderitaan apalagi jika menyangkut soal rasa.

"Oh gitu ya. Tapi, lo tenang aja. Gue nggak nyesal karena gue udah punya Ruminten."

"Maksud lo?" tanya Rubi heran.

"Gue dan Ruminten pacaran."

"Hah? Sejak kapan? Lo mengada-ada doang, kan?" Rubi masih tidak percaya dengan apa yang diucapkan Arlanta.

"Gue udah pacaran sama Ruminten darilama. Sengaja nggak diperlihatkan karena Ruminten yang mau. Dia tidak mau jadi bulan-bulanannya fans-fans gue."

"Rum, lo serius pacaran sama ini bocah?" 

Rubi gemetar, dia tidak menyangka hal ini akan terjadi lebih cepat. Rupanya dia yang bodoh, bukan mereka. Mereka tidak salah untuk saling mencinta, tidak ada yang salah perihal jatuh cinta. Mereka jatuh cinta pada waktu yang tepat, rasa yang tepat. Rasa yang menemukan rumah untuk berpulang.

Sayangnya dia yang jatuh cinta pada waktu yang salah. Perasaan yang tumbuh pada orang yang salah, tidak semestinya dia membiarkan dirinya jatuh terlalu dalam. Sekarang rasa sakit yang dirasakannya semakin parah. Seperti pepatah, semakin dalam mencintai seseorang maka semakin perih saat terluka. Dia sudah lupa kenapa dia memilih untuk menyandang status jomlo, lupa karena dia kira akan datang masanya Ruminten menyadari ketulusan cintanya. Mungkin suatu saat nanti, harapannya terkabul. Namun, kebahagiaan Ruminten itu merupakan kebahagiaannya juga. Rubi tersenyum, "Ya udah, gue kayak orang bego baru tahu sekarang. Congrats, deh. Langgeng ya."

Ruminten tidak mengucap satu kata pun, anehnya dia merasa tidak senang mendengar ucapan itu. Seperti ada yang salah dengan Rubi, atau ada yang salah dengan dirinya sendiri.

🐻

Jumkat: 1015 kata





First Love  (TAMAT)Kde žijí příběhy. Začni objevovat