I dont relate to you= 12

18 13 0
                                    

Suasana kelas kembali hening. Pak Radanto menghela napas untuk kesekian kalinya. Selalu saja seperti ini, ketika dia bertanya lalu siswa akan mengalihkan arah pandang mereka. 

"Ada yang bisa memberi contohnya?" ulang Pak Radanto lagi.

Setelah sekian lama, akhirnya ada yang mengacungkan tangannya. Pak Radanto menatap cowok itu dan tersenyum.

"Iya? Mau coba menjawab?"

"Mau coba, Pak. Namun, kala salah maaf ya Pak."

"Siswa kalau salah itu wajar, namanya juga masih belajar. Kalau kamu sudah bisa menjawab dengan benar artinya kamu guru."

Arlanta tersenyum lalu mengangguk paham. "Baik, Pak. Untuk teori kedua yaitu Theory of Planned Behavior itu ada tiga poin. Pak. Dari yang saya baca, poinnya yaitu Attitude toward behavior, subjective norm, perceveied behavior control. Attitude toward behavior ini menunjukkan sikap orang tersebut terhadap suatu hal, kalau subjective norm itu persepsi orang tersebut terhadap sikap lingkungan, dan perceveid behavioral control yaitu persepsi orang tersebut terhadap kemampuan dirinya melakukan yang dia mau. Seperti itu, Pak."

"Lalu, contohnya bagaimana?"

"Misalnya contoh menggunakan masker ya, Pak. Di poin pertama, menunjukkan sikap orang tersebut terhadap masker. Bisa saja menganggap menggunakan masker itu tidak enak, pakai masker artinya melindungi diri sendiri dan memutuskan penularan rantai penyakit. Untuk poin kedua yaitu persepsi orang tersebut terhadap sikap lingkungannya terhadap masker. Misalnya orang tersebut tinggal di lingkungan yang protokol kesehatannya ketat sehingga dia juga  yakin bahwa perilaku bermasker merupakan norma yang dikehendaki lingkungan. Untuk poin ketiga, yaitu Perceveid behavior control mengenai persepsi orang tersebut terhadap kemampuan dirinya melakukan yang dia mau. Contohnya seandainya ada orang yang ngotot tidak mau menggunakan masker, maka dia akan berpikir apakah dia mampu menghadapi kritik dari lingkungan. Seperti itu, Pak."

Seisi kelas menatap Arlanta dengan tatapan kagum, termasuk Ruminten. Dia tahu kalau Arlanta lebih pintar dari yang orang lain bayangkan. Bagi cewek itu, Arlanta itu salah satu manusia langka yang jenius dan lebih peka dibandingkan dirinya.

Ruminten memegang kepalanya yang berdenyut nyeri, rasanya rasa pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi. Entah apa yang harus dilakukannya sekarang.  Rasanya dia ingin segera sampai di tempat tidur dan segera merebahkan dirinya di kasur. Wajahnya sudah memerah, badannya semakin lemas saja. Dia semakin ragu bisa menyelesaikan kegiatan belajar di kelas dengan baik, kenyataanya semakin lama dia merasa semakin lemas saja.

Diantara ketidakpastian itu ada satu yang pasti, yaitu rasa pusing yang semakin menjadi-jadi dan pandangannya semakin buram. Hal terakhir yang dilihatnya adalah senyuman Arlanta, lalu semuanya menjadi gelap.

***

Ruminten terbangun pada suatu ruangan yang gelap, badannya terasa dingin. Rasanya dia tahu ruangan ini. Matanya membulat begitu menyadari ada beberapa orang yang menatapnya. Mereka tersenyum lalu semakin mendekat ke arahnya.

Cewek itu mengucek matanya lalu berdiri, dengan perlahan dia mencoba menyalakan lampu di ruangan itu. Namun, dia tidak bisa menggerakkan badannya. Setelah itu, dia terkejut dengan teriakan yang didengarnya.

Teriakan demi teriakan terdengar begitu jelas dan dia mengenali orang yang berteriak itu. Dia tidak asing dengan suara-suara itu. Setelah dibuka ruangan itu, matanya menyipit menyesuaikan dengan cahaya yang terang. Hari itu 

"Kenapa tuan puteri? Kaget ya?"

Ruminten memejamkan matanya untuk beberapa saat karena  lampu di ruangan itu dinyalakan. Terdapat benda-benda seperti kardus-kardus dan barang-barang lainnya. Ruminten tertegun dan badannya gemetar.

"Lo nggak usah sok kecantikan makanya jadi orang. Udah tahu badan gemuk kayak gitu masih aja ganjen sama pacar gue!  Nggak tahu malu banget lo jadi orang?"

"Sis, dia emang nggak punya urat malu kali. Dan gue pikir ya, dia tuh berbakat tahu. Lo tahu bakatnya dia apa?"

"Berbakat jadi pelakor, bestie! Kita harus hati-hati nih sama nih orang. Nggak sadar diri banget dia jadi orang."

Orang-orang dihadapan Ruminten, dia mengenali mereka dengan baik. Orang yang sering ditemuinya ketika melewati kelas kakak kelasnya. Mereka yang selalu menatapnya dengan tatapan sinis.

"Gue heran. Lo harusnya tuh nggak sekolah disini. Lo cocoknya itu di sekolah khusus pelakor."

Mata Ruminten mulai berkaca-kaca. Dia tidak menyangka akan mengalami hal ini.  Kaki dan tangannya terikat dan mulutnya juga disumpel oleh kain. Air matanya mulai mengalir dari pelupuk matanya. Dia lelah ditindas sejak dulu, entah kenapa orang-orang gemar menindasnya hingga terpuruk. Mungkin kalau dia belum babak belur maka meerka tidak akan berhenti menindasnya.

Salah satu dari mereka berjongkok menyesaikan tingginya dengan Ruminten. "Kenapa? Lo mau ngomong? Duh, telinga gue nggak bisa denger suara sumbang lo. Ngelihat wajah lo aja gue muak. Tapi, lo harus dikasih pelajaran. Biar lo sadar diri kalau lo itu nggak cantik!"

Tangisan Ruminten semakin kencang. Ruangan gudang ini jauh dari kelas-kelas lainnya karena berada di ujung dan bangunan yang terpisah. Mau dia berteriak sekencang apapun, tidak ada yang mendengar teriakan itu.

"Duh, kasihan sih. Lo masih mau diginiin lagi? Hah?" ucapnya sambil memegang dagu Ruminten ke arahnya. Orang itu menatapnya dengan tajam lalu menjambak rambutnya dengan kencang. Ruminten langsung mengerang kesakitan. 

"Lo tahu nggak kesalahan lo apa? Kalo tahu tuh bilang," desis orang itu dengan kesal.

Ruminten sudah tidak berdaya, rasa sakit di kepalanya membuatnya semakin merasa pening. Semua yang dihadapannya menjadi buram, semuanya seakan-akan berputar.

"Oh, coba deh dibuka itu tutup mulutnya. Biar dia bisa ngomong. Itu juga kalau dia bisa ngomong sih." 

Mereka tertawa, semakin Ruminten tersiksa menjadi hiburan mereka. Hal yang begitu menyenangkan hati mereka. Sudah sejak lama mereka menaruh perasaan pada pujaan hati mereka, namun mereka malah begitu mudahnya dekat dengan Ruminten. Bagaimana tidak kesal? Padahal di pandangan mereka Ruminten tidak ada apa-apanya. Justru mereka jauh lebih menawan dari bocah kencur ini.

"Gue ragu sih. Tapi, boleh deh dicoba."

Mereka langsung membuang penutup mulutnya dan membiarkan Ruminten berbicara. Mereka kembali tertawa begitu melihat Ruminten mangap-mangap mencari pasokan udara. Dia terlihat lucu di mata mereka. 

"Lo lihat kan dia aneh banget? Bukannya jawab pertanyaan kita, dia malah kayak gitu. Lo kira ini lagi pentas? Pake akting segala."

"Udahlah, gue muak banget lihat wajah lo. Kenapa sih lo nggak cari aman aja? Kenapa malah caper banget sama orang yang gue suka? Lo nggak sadar diri apa lo itu nggak ada apa-apanya dibandingkan gue?"

"Jelasin, bestie. Dia kekurangannya dimana?"

"Oke, gue harap lo sadar diri ya sekarang. Gue udah sabar nungguin lo sadar diri tapi lo malah semakin menjadi-jadi. Akhirnya gue samperin juga lo. Mampus kan lo? Makannya jangan kebanyakan gaya jadi orang."

"Lo diem dulu. Dikit lagi mau masuk kelas nih."

"Tenang sis, gue lagi menyusun kata-kata nih." Orang itu mendekatkan wajahnya lalu tersenyum.

"Lo itu nggak pantes ada di sini. Mending lo keluar sekolah aja deh. Kalau mau tetep disini ya nggak papa juga sih. Tapi, jangan sok kecantikan. Lo nggak ada apa-apanya."

Mereka menarik rambutnya lagi, menamparnya hingga dia terjerembap ke lantai. Semuanya jadi gelap, untuk sekedar melawan pun dia sudah tidak sanggup lagi.  

Jumkat 1095 kata


First Love  (TAMAT)Where stories live. Discover now