Chapter 12

14 0 0
                                    

—Galan W. Aldrich—

Sudah aku duga, batinku saat melihat file yang Sekretaris Jo berikan. Dia tinggal sendirian bersama Ibunya di pesisir selama beberapa tahun. Sampai akhirnya ketika umurnya 7 Ibunya meninggal. Sejak itu ia mulai tinggal bersama keluarga Riana. Ketika berumur 12 ia pergi ke Paris, belajar piano dengan profesional. Baru kembali sekarang.

Aku menghela nafas tak percaya.

Anak haram.

Tentu saja dia tidak boleh terlihat. Apalagi ayahnya adalah seorang politisi. Bisa menghancurkan reputasi. Tapi apa harus kata seperti itu yang diucapkan pada anak tak berdosa? Memang apa salah Liesel? Dia juga tidak ingin terlahir sebagai anak haram.

Ponselku bergetar. Aku melihat panggilan dari Galih.

"Halo."

"Lo ada masalah? Ada apa?"

"Nggak ada masalah apa-apa."

"Nyokap lo—"

"Nggak. Ini bukan soal nyokap. Gue hanya sedikit—bad mood."

"Oh. Kasih tahu gue kalau ada apa-apa."

"Oke."

Aku menutup ponsel dan kembali membaca file itu. Galih dulu benar—ini terlalu beresiko. Sekarang aku tahu siapa Liesel sebenarnya dan aku tidak ingin mundur. Sama sekali tidak. Dia sendiri, Riana, atau siapapun—bahkan mungkin ayahnya—tidak akan aku biarkan menjauhiku. Aku sudah sejauh ini. Aku akan mendapatkan Liesel dan tidak membiarkan siapapun mengganggunya.

Sial.

Kenapa situasi kita berkebalikan?

Tidak—tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Aku pasti bisa mendapatkan Liesel dalam genggamanku.

*****

Aku menunggu Liesel di depan kelas keesokan harinya. Kelasnya masih sepi—karena sekarang masih sangat pagi. Jika cukup beruntung maka Liesel juga berangkat pagi hari ini. Dan ternyata aku cukup beruntung. Aku menegakkan punggung saat melihat sosoknya berjalan. Hari ini dia mengikat rambutnya seperti saat aku melihatnya di pesta—Rambut ekor kuda. Aku tersenyum.

Akhirnya mata Liesel terangkat dan memandangku. Alisnya terangkat bingung. Namun pada akhirnya ia tersenyum. Dia tersenyum! Aku pikir setelah apa yang Riana katakan kemarin dia tidak akan mau melihatku.

"Hei." Dan dia menyapa lebih dulu.

"Hei." jawabku.

"Kamu ngapain di sini?"

"Menemui kamu."

"Aku?"

"Iya."

"Ada apa?"

"Kamu nggak jadi tampil di festival. Kamu pasti senang kan?"

Mata Liesel membulat. Aku bisa membayangkan apa yang ia pikirkan saat ini. Ia pasti berpikir semuanya dibatalkan tanpa ia harus meminta. Terlalu mudah, ia seperti buku yang terbuka.

"Really? Kenapa?" tanyanya dengan ekspresi senang sekaligus bingung.

Aku mengangguk meyakinkan. "Kandidat awal—Casandra menyetujui untuk tampil. Jadi kamu tidak jadi tampil."

Dia mengangguk-angguk.

Meski tahu jawabannya, aku bertanya. "Nggak apa-apa kan?"

Dia mengangguk antusias. "Ya, tentu saja nggak apa-apa."

"Tapi kamu akan tetap datang ke festival, kan?"

"Oh—tentu saja." Dia tersenyum manis. Dia terlalu manis jika tidak diakui keluarganya. Dia anak yang baik, polos. Apa salahnya? Dia tidak salah apa-apa. Why Riana being so mean to her? Secara teknis mereka adalah saudara, bukankah dia harusnya menaruh hormat? Aku harus memberi pelajaran Riana. Kenapa pula ayahnya membiarkannya tinggal sendirian di apartemen? Keterlaluan. Apa mereka sungguh-sungguh ingin menyembunyikannya?

Tiba-tiba saja tanganku terulur ke rambutnya yang mencuat dari kuncirannya. Aku hendak merapikan rambutnya. Liesel terlihat terkejut dan dia mengerjapkan matanya berkali-kali.

"Apa?"

Aku menarik kembali tanganku—mungkin aku memang terlalu melewati batas. Aku hanya menggeleng lemah dan mengamati Liesel yang sekarang merapikan rambutnya sendiri. "Apa aneh? Apa sebaiknya aku tidak mengikat rambutku?" tanyanya bingung.

"Tidak. Kamu sempurna." kataku. Dia menatapku semakin aneh.

Liesel, ini mungkin aneh. Tapi perasaanku yang tumbuh sekarang begitu ingin melindungi kamu. Aku pasti akan menjaga kamu.

"Liesel, datang ke festival bersamaku ya? Kita teman, kan?"

*****

—Liesel Iskan—

"Liesel, Liesel... lo punya hubungan apa sama Galan?" tanya seorang perempuan yang duduk di depan mejaku—Daisy.

"Nggak ada hubungan apa-apa." jawabku santai.

"Tapi dia tadi pagi nemuin lo di sini, kan?"

"Em."

"Kenapa?"

"Katanya aku nggak jadi ikut festival."

"Kenapa? Bukannya lo kandidat terbaik? Lo punya banyak prestasi—"

"Nggak juga."

Daisy akhirnya kembali menghadap ke depan. Aku kembali memikirkan soal Galan. Kenapa dia menemuiku secara langsung padahal dia bisa saja hanya memberiku pesan? Dia punya nomorku. Dia tadi juga terlihat akan merapikan rambutku—membuat jantungku deg-degan.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Perkataan Riana juga membuatku tidak bisa tidur semalaman. Kenapa perkataannya begitu menyakiti? Apakah segitu buruknya keberadaanku di sini? Kalau memang seperti itu seharusnya jangan ada yang memaksaku kembali. Aku punya pekerjaan di Paris yang harus aku tinggalkan. Aku lebih bahagia berada di sana—tidak memikirkan apapun.

"Kayaknya nih ya, Galan naksir sama lo. Wah pasti lo senang ditaksir sama orang paling dihormati di sekolah ini."

Dan Galan adalah anak pemilik sekolah ini sekaligus pemilik perusahaan besar di Asia.

"Nggak mungkin. Jangan mengada-ada." kataku pada Daisy.

"Rumornya begitu tahu. Lo tahu—dia itu nggak suka berhubungan sama orang lain selain Max dan Galih. Tapi setelah ada lo—dia selalu dekat sama lo. Aneh kan?"

"Apa kamu salah satu fansnya, Daisy?"

"Aku? Nggak. Hanya saja semua orang di sini takut sama Galan."

"Kenapa? Dia anak yang baik kok."

"Begitu? Gue nggak tahu karena kami nggak pernah mengobrol."

"Oh ya? Tapi bukankah dia supel dan murah senyum?"

"Lo pernah dengar peribahasa ini nggak? Air yang tenang menghanyutkan. Kalau lo lihat wajahnya, dia emang ganteng dan ramah. Tapi di balik senyumnya itu, dia tetaplah seorang Aldrich. Mereka terkenal tak punya ampun pada siapapun."

Aku berpikir. "Mungkin itu yang harus mereka lakukan untuk kemajuan perusahaan—"

"Makanya, mereka kejam. Nggak ada yang berani sama siapapun yang berhubungan dengan Aldrich Group. Apalagi pewarisnya langsung. Beuh—"

"Apa yang akan kalian lakukan jika Galan punya pacar?"

"Apa? Tentu saja menyelamati. Memangnya apa lagi?"

Aku mengangguk-angguk—tersenyum. Mungkin perkataan Riana hanya omong kosong. Mana ada orang yang menggali informasi tentangku hanya karena aku dekat dengan Galan. Orang tidak punya waktu untuk hal tidak penting seperti aku. Iya, kan?

Lagipula jika itu terjadi—aku hanya akan pergi. Seperti yang kulakukan 5 tahun lalu. Mudah.

*****

TRULY DEEPLY (REVISED)Where stories live. Discover now