Chapter 4

15 0 0
                                    

—Liesel Iskan—

Ini hari pertamaku masuk sekolah. Sekolahnya cukup megah dan aku bisa menduga bahwa yang sekolah di sini adalah anak-anak orang kaya—mengingat semua anak yang diundang Riana di pestanya terlihat sangat elit. Om Samuel memaksa mengantarku, dia bahkan datang ke apartemenku dari jam setengah 6–aku belum bangun! Dia juga memaksa mengantarku ke ruang kepala sekolah—tapi aku menolak. Untungnya dia tidak terlalu memaksa jadilah sekarang aku sendirian ke ruang kepala sekolah dengan berbekal peta. Peta! Astaga, betapa luas sekolah ini.

Ini sekolah swasta. Aku sudah mengeceknya bahwa sekolah ini milik Aldrich Group—perusahaan yang menguasai hampir seluruh pasar di Asia. Perusahaan besar kedua di seluruh Asia, bahkan sang pemilik perusahaan masuk dalam list Forbes under 40. Anehnya nama perusahaan itu terdengar tidak asing, entah aku pernah mendengarnya darimana. Setelah menelusuri lebih lanjut, ternyata sekolah ini termasuk sekolah internasional paling elit di sini—dan tentunya biayanya tidak murah. Hmmh, aku bertanya-tanya apa sebaiknya aku memang pindah saja ke sekolah dengan guru piano yang bagus yang dimaksud Riana kemarin. Setidaknya dengan begitu, aku tidak menghambur-hamburkan uang sekalipun biaya sekolah ditanggung ayahku—ayah kandungku.

Aku berusaha sebisa mungkin tidak berhutang budi padanya.

Aku melewati lorong setelah melewati tempat parkir. Beberapa anak terlihat tidak peduli padaku karena mereka sibuk membicarakan soal pesta Riana yang mewah. Aku memutar bola mata. Riana sepopuler itu?

"Galan bahkan hadir di pestanya."

Aku tak sengaja mendengar.

"Wow, kenapa Galan datang? Tuh anak nggak mau repot-repot datang ke pestaku padahal aku mengundangnya secara langsung."

"Kayaknya tergantung moodnya deh. Galan tuh anak yang baik tahu. Cuma ya, you know, gak semua anak jadi temennya. Bahkan sama anak OSIS aja kadang dia pelit ngomong kecuali urusan yang bener-bener penting."

"Dia pas datang ke pesta Riana juga ganteng banget. Duh, jantung gue nggak kuat."

Beberapa anak cekikikan. Siapapun Galan dia pasti sangat populer di sekolah ini. Aku berjalan lagi, dan anak-anak tadi juga berjalan searah denganku. Ketika aku melihat tulisan ruang Kepala Sekolah, aku tersenyum tipis. Tanganku hampir mengetuk pintu ruangan beliau saat anak-anak tadi tiba-tiba berbisik heboh dan mengurungkan niatku.

"Eh Galan datang. Ya Tuhan, kenapa sih dia selalu datang sama Max dan Galih?!"

"Cuma mereka yang deket sama Galan."

Aku menoleh, menatap titik yang ditatap anak-anak tadi. Seorang laki-laki keluar dari mobil sport merah disusul dengan dua anak lain. Laki-laki yang paling depan, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan menggendong tas hitamnya di salah satu bahu. Kedua temennya terlihat menyebar senyum yang—ramah. Beberapa anak yang lalu lalang langsung terdiam—seakan menyingkir memberikan jalan—saat ketiga orang itu berjalan. Bahkan mereka semua memberikan perhatian penuh padanya seolah dia lah pusat gravitasi. Wow, untuk sesaat aku merasa sedang melihat seorang dewa berjalan. Cara berjalannya menunjukkan seberapa besar kekuasaannya dan seberapa kuat rasa percaya dirinya. Dan dia... tampan. Apa dia menyadari itu sehingga dia terlihat begitu yakin dengan dirinya sendiri?

Tunggu, sepertinya wajahnya familiar. Dia yang kemarin bicara dengan ayah dan Tante Erika di pestanya Riana, kan? Aku tak terlalu menyadari laki-laki itu tampan—tidak, sangat tampan—sampai detik ini. Apa karena malam itu aku terlalu berasumsi yang tidak-tidak dari laki-laki itu? Siapa namanya tadi? Galang? Atau Galan?

Sial, mungkin saja asumsiku benar. Dia harus diwaspadai sekalipun dia tampan—Sial, kenapa aku tidak bisa mengalihkan pandang? Ini seperti bukan aku. Selama ini, setampan apapun orang, tidak akan bisa mempengaruhi tujuanku. Tetapi aku sekarang—pintu ruang Kepala Sekolah berada tepat di belakangku tapi aku tidak berniat mengetuk sama sekali! Aku—seperti anak yang lain—mengikuti langkah demi langkah laki-laki itu. Aku mencoba menaksir berapa tingginya karena dia terlihat sangat tinggi. 180 cm? Jika di sampingnya, aku yakin tinggiku tidak mencapai bahunya. Apa dia seorang model? Aktor? Aku yakin dia salah satunya, atau kalaupun tidak dia pasti akan segera menjadi salah satunya. Tidak mungkin laki-laki setampan dia tidak dilirik sutradara ataupun—

Kemudian itu terjadi. Laki-laki itu berhenti berjalan. Lamat-lamat kepalanya menoleh membuat nafasku tertahan. Oh tidak, oh tidak. Jika ini diriku yang dulu, aku akan segera berbalik dan bersembunyi di ruang kepala sekolah. Tapi ternyata tubuh dan pikiranku berkata lain. Aku ingin melihat wajahnya sepenuhnya seperti magnet yang mampu menarik pasir besi di sekelilingnya. Ya Tuhan, daya tariknya begitu besar. Pantas saja semua anak membicarakannya. Satu detik, dua detik, tiga detik... mata laki-laki itu berkilat terkejut. Jeda keheningan beberapa detik sebelum akhirnya bibirnya tertarik. Ya Tuhan, dia tersenyum? Padaku?

Sial, Liesel. Kamu seharusnya waspada karena dia masih mengenalimu. Kenapa justru jantungmu deg-degan? Tidak. Aku pasti deg-degan karena khawatir dia mengenaliku.

Aku segera memutar tubuh dan memasuki ruang kepala sekolah. Saat aku kembali meliriknya ketika menutup pintu, laki-laki itu masih di sana—memandangku dengan senyum lebar.

*****

—Galan Willian Aldrich—

Cewek itu ada di sekolah ini. Entah mengapa aku merasa sangat senang hanya dengan memikirkan bahwa kami berada di bawah atap yang sama. Rasanya seolah aku telah mendapatkan harta karun berlian 100 karat. Tidak, rasanya melebihi itu.

Dia menatapku tadi. Aku yakin dia jelas-jelas menatapku sebelum akhirnya masuk ruang kepala sekolah. Aku tidak bisa berhenti tersenyum lebar.

"Sial, Ga. Apa yang salah dari elo hari ini? Lo nggak salah makan, kan?"

Aku menggeleng. "Kalian lihat cewek tadi?"

"Cewek? Yang mana?"

"Di depan pintu kepala sekolah—"

"Aku nggak melihat siapa-siapa tuh."

"Sial, Ga, gue mulai merasa lo berhalusinasi."

Aku memukul kepala Galih dan Max bersamaan. "Nggak mungkin." Aku berpikir kalau cewek itu terlihat lebih cantik hari ini. Wajahnya terlihat lebih natural. Kelas berapa dia? Kenapa dia masuk ruang kepala sekolah?

Tunggu, anak baru?!

Setelah dipikir-pikir, ya, dia tidak mengenakan name tag. Bahkan dia tidak mengenakan sweater sekolah ini, hanya kemeja putih. Sweater yang hanya bisa digunakan oleh anak yang jelas bersekolah di sini. Iya, kayaknya dia anak baru! Kelas berapa?

"Kalau ada anak baru apa yang harus kita lakukan?" tanyaku pada Galih dan Max membuat mereka mengernyit bingung.

"Memang apa yang harus kita lakukan?" Mereka bertanya balik.

"Kita harus melakukan sesuatu kan? Sebagai anak OSIS."

"OSIS mana peduli soal hal remeh kayak gitu? Emang ada anak baru? Di kelas mana? Paling biasanya ketua kelas mereka yang mengajak mereka berkeliling, memperkenalkan berbagai fasilitas—"

"Oke, mulai sekarang OSIS yang ambil alih."

"HAH??"

"Kenapa?"

"Lo mulai nggak waras. Kapan ada kebijakan kayak gitu?"

"Mulai hari ini. Nanti kita cari tahu tuh cewek masuk kelas berapa."

"Oh. Jadi cewek yang lo idam-idamkan itu ternyata anak baru? Pantesan lo bertingkah aneh. Kalau mau kenalan sama dia, nggak usah bawa-bawa OSIS deh. Gila ya lo."

"Lih." Aku melotot.

Galih langsung terbungkam kemudian menghela nafas panjang. "Oke, fine. Gue akan cari tahu tuh anak masuk kelas mana."

Aku tersenyum puas.

*****

TRULY DEEPLY (REVISED)Kde žijí příběhy. Začni objevovat