"Ayo duduk di sana."

"Kita nggak menunggu makanannya—?"

"Nanti Chef Logan akan mengantarkan."

Hah? Jelas-jelas aku tadi lihat anak-anak yang lain membawa makanan mereka sendiri? Kenapa Galan seenaknya bilang seperti itu? Keistimewaan ketua OSIS lagi kah? Wow, kalau menjadi osis seterhormat itu pastinya pemilihannya benar-benar ketat.

Kami melangkah menuju bangku kantin yang kosong. Saat itu tatapanku tak sengaja menatap Riana yang menatap kami dengan mata menyipit curiga. Di sampingnya ada seorang laki-laki ganteng yang juga terlihat penasaran. Aku tahu laki-laki itu. Dia selalu berada di samping Riana saat ulang tahunnya. Pastinya mereka pacaran.

Aku mengalihkan pandangan. Lebih baik pura-pura tidak melihat Riana daripada mengacaukan moodku. Melihat wajahnya saja membuatku hilang minat.

"This school is not that bad, right?" tanya Galan memulai pembicaraan saat kami sudah duduk.

"Not that bad?" Aku menyerukan pikiranku. "Ini salah satu sekolah paling mewah yang pernah aku tahu."

Galan tersenyum. "Jadi kamu dulu sekolah di Paris?"

"Iya. Tapi Paris tentu saja berbeda. Paris sangat indah—terlalu susah untuk dilupakan. Tapi sekolah ini—Well, aku bahkan nggak tahu kata yang tepat buat mendeskripsikannya."

"Kalau Paris terlalu indah kenapa kamu pindah?"

Apa ini sesi wawancara? Aku mulai bersikap defensif. Pertanyaannya terlalu pribadi.

"Sorry, apa aku melewati garis?" tanya Galan seakan menyadari ketegangan bahuku.

"Aku hanya tidak suka ditanya pertanyaan seperti itu."

"Well, oke kalau gitu."

Dan kami mulai membicarakan banyak hal mulai dari cuaca, tempat wisata, dan makanan. Aku mulai menyadari kalau Galan cukup berwawasan. Menambah lagi daftar kenapa dia begitu dikagumi banyak orang.

*****

Aku kembali ke kelas dan semua anak memandangku aneh. Aku seperti terduga kasus korupsi. Beberapa anak berbisik-bisik membuatku mengernyitkan kening. Kemudian adalah dua orang anak yang menghampiri mejaku dan bertanya,

"Kenapa kamu bisa bersama Galan?" tanya perempuan itu langsung.

"Aku? Dia mengenalkanku dengan fasilitas sekolah—dia ketua OSIS..."

"Oh ada aturan baru di sekolah?" Aku mendengar temannya bertanya dengan pelan.

Perempuan yang bertanya juga hanya mengedikkan bahu. Keningku mengernyit. Beberapa saat kemudian ada pesan dari nomor tak dikenal.

082xxxxx: Ketemu sama gue di halaman belakang setelah pulang sekolah. —Riana—

Astaga, kenapa Riana mengajakku bertemu? Apa aku mengabaikannya saja?

Kemudian muncul lagi satu pesan.

082xxxxx: Penting.

Sejak kapan urusanku dengan Riana sangat penting? Atau dia ingin membicarakan tentang kita? Well, aku juga ingin berbicara padanya bahwa kita tidak perlu saling mengenal di sekolah ini. Itu lebih baik.

*****

Aku berjalan ke halaman belakang sekolah yang sepi dan agak menyeramkan karena penuh barang-barang tidak terpakai seperti bangku dan meja bekas. Aku melangkah dengan pelan bertanya-tanya apa Riana memang mengajakku bertemu di tempat seperti ini. Aku takut jika tiba-tiba ada serangga, ular, atau semacamnya yang muncul.

"Riana." panggilku. Tak ada sahutan. Aku melangkah lebih ke belakang.

Ketika kulihat tidak ada tanda-tanda manusia, aku mengambil ponsel dan menelepon Riana. Hapenya tidak diangkat. Aku mulai berpikiran buruk dan ingin segera pergi dari sini. Nyamuk-nyamuk mulai mengerubutiku dan aku membencinya. Aku bermaksud duduk di salah satu kursi yang ada tetapi kursi ternyata reyot.

"Aww." teriakku saat bokongku mendarat di tanah dan sakit.

"Liesel!"

Aku mendengar suara Riana. Langkah kakinya terdengar berlari. Saat ia melihatku ia langsung mendekat dengan panik. "Liesel, are you okay?"

Aku agak tertegun melihat Riana mengulurkan tangannya padaku. Riana mengkhawatirkan aku? Tidak mungkin. Dengan canggung aku berdiri sendiri tanpa membalas uluran tangan Riana dan memasang wajah dingin. Tentu saja aku harus dingin. Ini Riana. Tidak ada kata baik dalam kamus perempuan ini.

Riana memandangku dengan kening mengerut.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?"

Dan inilah yang kumaksud. Sosok Riana yang aku tahu. Akhirnya dia menunjukkan wajahnya yang sebenarnya. Perempuan itu menyilangkan kedua tangannya di bawah dada dan memandangku penuh penilaian.

"Kenapa kamu dekat dengan Galan?"

Oh. Hal pentingnya adalah tentang kejadian di kantin? Apa yang penting dari seorang anak baru yang melakukan school tour dengan ketua OSIS? "Karena dia ketua Osis tentu saja,"

"Nggak ada yang dekat sama Ketua OSIS, Liesel. Apalagi cuma makan berdua di meja? Kamu sengaja deketin dia, ya?"

Aku melongo. "What's wrong? He just came to me and said that I have to do school tour. That's it."

Riana melongo. "Galan datang ke kelas lo?"

Aku mengangguk.

Riana menghela nafas tak percaya. "Sialan. Tuh anak pasti punya rencana."

Aku mengerjapkan mata tak percaya. "Jadi ini yang kamu bilang penting? Soal pertemuanku dengan orang yang mungkin saja nggak akan lagi bertemu sama aku?"

Riana mengalihkan pandangannya kepadaku. "Yah. Betul. Kamu harus menjauh dari dia. Seseorang seperti Galan nggak akan sanggup kamu imbangi. You just... a flies for him."

"Flies?" Aku tak percaya apa yang Riana katakan. "Dengar, Ri, aku nggak punya waktu buat dengerin omong kosong kamu. Jadi aku yang akan bicara. Dengar. Jangan pernah sok kenal sama aku di sekolah ini. Jika kita bertemu, pura-pura saja kita orang asing—toh memang kita orang asing."

"Well, itu memang yang mau aku katakan."

"Fine. Kalau gitu clear."

"Jangan pernah cari gara-gara sama aku ataupun yang lainnya, Lie. Berpikir saja lo di sekolah ini seperti tak terlihat, seperti seekor lalat. Diam-diam saja. Kalau perlu nggak usah bicara dan nggak usah menonjol." kata Riana dengan kejam.

Aku tak percaya dengan perkataannya. "Fine. Aku memang invisible."

Setelah itu aku meninggalkannya sendiri di halaman belakang. Saat ini aku baru menyadari kalau bokongku teramat sakit. Tapi perkataan Riana tadi lebih menyakiti. Aku tak percaya orang seperti dia adalah saudara tiriku. Aku tidak akan pernah mengakuinya! Sialan!

*****

TRULY DEEPLY (REVISED)Where stories live. Discover now