Part 13

3 0 0
                                    

Keesokan harinya, “Ma aku mau pergi kekampus dulu ya!” pamit Lydia di meja makan.
“Nggak sarapan dulu nak?” tanya papanya.
“Udah pa, makan roti tadi. Nanti siang aja,” jawabnya. “Oh iya ma, nanti jadikan makan diluar?”
“Jadi dong,” kata mamanya.
“Yaudah nanti mama share lock aja biar aku langsung ke lokasi ya,” ucapnya sambil mencium tangan mamanya. “Assalamualaikum!” salamnya.
Setelah Lydia pergi, “Ma, maksud Lydia makan-makan tadi apasih?” tanya papanya yang bingung.
“Iya jadi semalem aku telfon mamanya Faiz, katanya ngajak ketemu keluarga kita ada yang mau dibicarakan gitu,” jelas mamanya.
“Apa emangnya ma?” kembali papanya bertanya.
“Entah! Aku juga nggak tahu, yaudah lah pa itung-itung mempertahankan hubungan keluarga kita sama mereka. Kan mereka juga sudah merestui hubungan Lydia dan Faiz tuh,”
“Wah! Beneran ma? Mereka udah setujuan hubungan anak-anak?” papanya terkejut mendengan pernyataan mamanya.
“Iya, kemarin Lydia dibawa kesana, kebetulan ada papanya juga jadi semua berjalan dengan lancar dan sesuai ekspetasi pa,”
“Oke deh kalau gitu, papa nggak pikiran lagi ma!”
“Iya, mereka juga udah besar, udah dewasa pasti tahu mana yang benar mana yang salah kan?”
Tidak hanya Faiz dan Lydia yang merasa bahagia atas hubungan mereka direstui, namun kedua belah pihak keluarga semakin dekat dan akrab layaknya keluarga sendiri.

“Nak, seperti biasa ya. Mama tunggu, kamu kesini sekalian sama Faiz aja!” tulis mama Lydia pada pesan sekalian membagikan lokasi saat ini.
“Oke ma, aku telepon dia dulu ya,” balas Lydia. “Assalamualaikum!” salamnya pada Faiz.
“Waalaikumussalam, iya ada apa Lyd?” angkat Faiz.
“Kamu dimana? Ke resto bareng aja yuk!” tanyanya.
“Aku didepan gedung sih, oke aku tunggu ditempat biasa ya!” jawab Faiz.
Merekapun pergi ke resto bersama, saat di perjalanan, “Kira-ira ada apa ya Iz? Kamu tahu nggak?” tanya Lydia.
“Engga tau nih! Aku juga nggak dikasih tahu sama mama, cuman tadi suruh ke resto gitu.” Jawab Faiz. Perasaan dan fikiran mereka bingung bercampur dengan takut akan adanya masalah yang mereka tidak tahu.
Sesampainya mereka disana, terlihat sudah ada orangtua mereka. “Iz! Takut!” ucap Lyda sambil memegang tangan Faiz.
“Udah nggakpapa, kita ikutin dulu kemauan mama. Disana kan juga ada mama papa kamu,” tenangkan Faiz. Mereka pun berjalan perlahan menuju arah meja yang sudah dipesan orangtua keduanya.
“Assalamualaikum!” salam Lydia dan Faiz.
“Waalaikumussalam, kalian darimana saja kok tumben lama?” tanya mama Faiz.
“Iya ma, tad macet banget dijalan. Kalian sudah lama?” tanya Faiz.
“Ya lumayan, tadi yang datang duluan mama papannya Lydia, yak an bu?”
“Ah tidak bu, kita barengan kok cuman beda berapa detik, hehe,” jawab mama Lydia. Nampak keduanya sudah mulai akrab dan bercanda gurau layaknya tidak pernah menjadi musuh sebelumnya. “Ayo duduk nak!” suruh mamanya.
“Kalian kenapa wajahnya tegang sih?” tanya mam Faiz.
“Sebenarnya apa sih ma yang mau dirundingkan? Masalah keluarga? Masalah bisnis? Atau apa?” desak Faiz.
“Oalah, kalian takut kira akan berdebat lagi seperti sebelum-sebelumnya? Tenang aja! Kita disini akan mendiskusikan konsep lamaran kalian,” jelas mamanya.
“Ha?!” Lydia dan Faiz terkejut seketika. “Seriusan ma!?” tanya Faiz kembali.
“Iyalah, masa nggak serius si, kalian emangnya nggak mau? Yaudah kalau nggak mau,” goda mamanya.
“Iya serius nak, aku juga baru tau tadi ibu kamu bilang kalau akan melamar Lydia,” sahut mama Lydia.
“Oke deh, tanpa berlama-lama nih. Kamu mau konsep yang kayak gimana nak?” tanya mama Faiz pada Lydia.
“Untuk lamaran aku pilih konsep yang sederhana saja te, asalkan kekeluargaan kita tetap terasa hangat nantinya,” jawab Lydia.
“Wah! Emang nggak salah pilih nih anakku!” ucap mama Faiz sambil menepuk pundak Faiz.
“Ih sakit ma, iya dong ma!” sahut Faiz.
Suasana saat itu terasa hangat antara kedua belah pihak keluarga yang saling menerima satu sama lain tanpa melihat kekurangan lainnya sedikitpun. Merekapun menyusun konsep lamaran sesuai persetujuan kedua belah pihak sembari menikmati senja dan pemandangan yang nampak diluar resto.

Keesokan harinya, Lydia berniat akan mencari WO untuk lamaran mereka yang akan dilaksanakan 2 bulan lagi. Dia mencoba menghubungi Faiz, namun tak diangkat. “Mungkin dia lagi dijalan, aku ke toko dulu aja deh!” gumamnya.
Sesampainya di toko, dia sudah melihat Faiz dan Nia berbicara berdua didepan bar. Dia segera menghampiri, “Assalamualaikum!” ucap salamnya.
“Waalaikumussalam, jawab Faiz. Loh kamu nggak kuliah Lyd? Kalau tahu kamu mau ke toko tadi ku jemput ke rumah,” Faiz mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Iya, tadi kamu aku telepon kok nggak diangkat?” tanyanya mulai cuek.
“Iyakah?” tanya Faiz sambil mengecek hp nya. “Oh iya, aku silent. Maaf ya,” sambungnya.
“Afni mana? Kok ngak kelihatan?” tanyanya sambil melihat sekitar.
“Katanya lagi sakit dia,” jawab Faiz.
“Yaudah ayo kita cari WO, biar nanti nggak terlalu mendadak untuk acara lamaran kita,” ucapnya sambil menggandeng tangan Faiz. Nia yang mendengarnya terkejut, “Ha?! Mereka akan lamaran?! Nggak bisa didiemin nih! Aku harus segera melakukan cara agar mereka gagal lamaran!” batinnya sambil menatap mereka.
“Oke, ayo! Yaudah aku tinggal ya, jaga toko baik-bak!” ucap Faiz pada Nia.
“Sial! Dia memilih pergi sama ceweknya daripada mengawasi toko? awas aja ya!” gerutu Nia.
Merekapun pergi bersama untuk menyicil persiapan lamaran mereka, saat dimobil, “Kamu kenapa sih suka banget ngobrol sama Nia?” tanya Lydia.
“Ya kenapa? Bukannya aku suka atau gimana, diakan juga termasuk partner kita. Kamu jangan cemburu yah!” bujuk Faiz.
“Ya aku nggak bakal cemburu kalau kalian nggak berdua dan hamper setiap hari kalian ngobrol berdua. Kamu aja sama aku sekarang ini jarang-jarang, kamu jarang kerumah dan kita juga jarang ngobrol,” cerewetnya mulai keluar
“Iya, maaf ya. Lah kamu kan sibuk jadi aku nggak mau mengganggu waktu kamu sayang,” Faiz menggodanya, namun dia hanya terdiam. “Ih kok diem sih? Yaudah deh cari jajan yuk! Mau jajan apa dah kamu?” bujuk Faiz.
“Kebab yuk!” sahutnya.
“Yeee, giliran makanan aja langsung nyaut, tad dem-diem baek,” ledek Faiz.
“Ih iya udah kalau nggak mau,” rengeknya.
“Ihh, iya iya, ayo! Tapi jangan ngambek lagi ya!?” Faiz masih berusaha membujuknya.
“Ya, ntar kalau udah dapet kebab nggak ngambek kok,”
“Janji?” ucap Faiz sambil mengulurkan kelingkingnya.
“Janji!”
Lydia suka sekali dengan kebab, apalagi kalau itu buatan mamanya. Berhubung mereka dluar, jadi mereka cari kebab yang terkenal enak di kotanya. Setelah mendapatkan kebab, Lydia sudah bisa memaafkan Faiz untuk kali ini demi keluarga keduanya. Mereka melanjutkan perjalanan menuju WO yang sudah dihubunginya semalam.
Setelah sampai, mereka langsung memilih konsep dan segala macamnya untuk lamaran. Tak lupa mereka juga memberikan uang dp untuk jaminan sebelum hari itu tiba. “Iz, besok gimana kalau di toko kita adakan promo?” tanya Lydia.
“Boleh! Ide bagus tuh. Udah lama juga kan kita nggak ngadaain promos big sale.” jawab Faiz. Lydia segera menghubungi Afni, “Assalamualaikum, Afni maaf aku mengganggu waktu istirahatmu. Bisa minta tolong?” ucap Lydia.
“Iya Lyd, nggakpapa. ada apa?” tanya Afni dengan suara yang terdengar lemas.
“Bisa tolong editkan, promo untuk besok big sale?”
“Wih! Ada moment apa nih, tumben big sale?” Afni terkejut dan dia belum mengetahui akan rencana lamaran mereka.
“Hehehe, kita akan lamaran 2 bulan kedepan Afni. Doan ya!” jelasnya.
“Wih! Selamat ya! Kudoakan lancar sampai hari H. Oke deh. Aku buatin hari ini,” kata Afni.
“Oke! Makasih ya Af, maaf banget selalu merepotkan kamu. Segera sehat ya! Assalamualaikum.” tutupnya. Promo yang mereka adakan sekalian berbagi rasa bahagia akan dilaksanakannya lamaran mereka di dua bulan kedepan. Mereka selalu membagikan kebahagiaannya tidak hanya dengan lingungan sekitar dan keluarga, namun juga tak lupa pada pelanggan toko mereka yang senantiasa datang ke toko demi menikmari hidangan mereka sejak awal dibukanya toko.

Keesokannya, Lydia akan ke toko tanp memberi tahu Faiz. Seperti biasa memang Faiz sebagai pengelola toko, dia juga sering ke toko dan bertemu dengan Nia. Saat mereka sedang berbincang, Nia melihat ada Lydia diluar toko. Dengan sengaja dia memegang mesra tangan Faiz, Lydia yang melihatnya menahan emosi dan bertahan dalam hubungan seperti ini demi kedua belah pihak keluarga. Dia berfikir mendapatkan restu mereka susah masa mau meninggalkan dengan mudah. Seolah-olah cinta dan pertahanan dia tidak terbalas karena cewek ke 3.
“Aku harus tetap bertahan dengan hubungan seperti ini sampai kapan? Sedangkan untuk mendapatkan restu mama papa Faiz saja butuh p erjuangan yang cukup emnguras tenaga dan pikiran. Sekarang semua sudah menerima, tapi kenapa Faiz bersikap seperti itu kepada cewek yang baru dia kenal setelah dia berhasil membuat bisnis ini bersama? Apakah aku harus bertahan untuk sementara ini? Iya aku harus bertahan sampai lamaran dan kerjasama ini selesai!” batin Lydia sambil menatap kearah Faiz dan Nia yang sedang bermesraan. Ia pun masuk, seperti memasang wajah yang tidak terlihat cemburu ataupun marah.  “Assalamualaikum!” ucapnya dengan senyuman. Faiz terkejut dan langsung melepaskan tangan Nia, “Kenapa? Kok sepertinya terkejut?” tanyanya. “Yaudah aku masuk dulua ya!” sambungnya sambil berjalan menuju ruangannya.
Faiz yang terdiam seketika merasakan, sikap Lydia yang aneh, “Dia sudah tidak marah atau cemburu lagi?” batinnya sambil menatap Lydia dari belakang.
“Kok dia nggak marah sih?” batin Nia yang juga terheran dengan sikap Lydia.

Pesan TerakhirWhere stories live. Discover now