"Riana—lo kenal dia?"

"The Bratty Girl?" Cewek songong, manja, dan tidak bisa menilai apapun termasuk uang itu cukup terkenal sehingga aku cukup tahu dia.

Galih mengangguk. "Mungkin dia bisa gantiin si pemain violin. Aku dengar dia bisa main violin."

"Masalahnya dia nggak menang apapun. Nggak mungkin kita sembarangan nampilin dia. Lagian aku juga nggak yakin dia bisa diandalkan."

Galih mengangguk-angguk. "Oh bukannya besok ulang tahun dia ya? Kalian dapat undangannya kan?"

"Sial, benar. Dia mengundang semua orang di sekolah. Haruskah kita datang?"

"Kalau bisa makan gratis—"

"Kalau bisa mengusir kebosanan—"

"Kenapa tidak?"

Kami tertawa.

*****

Pesta ulang tahun Riana benar-benar meriah. Pesta khas putri kerajaan yang anggun dan ramai. Saat kami datang dan keluar mobil, seluruh anak-anak yang masih di teras rumah Riana langsung menoleh ke arah kita. Seperti syok dengan kedatangan kita. Mereka langsung berbisik-bisik, tapi kami tak peduli. Aku hanya ingin masuk dan bertemu Riana—tepatnya berbasa-basi dengannya, setelah itu makan sepuas kami.

Riana tepat berada di samping kue ulang tahun super besar dan tinggi yang pernah aku lihat. Aku mencoba sebisa mungkin menahan mulut pedasku agar bisa beramah tamah dengan sang tuan rumah. Di sampingku Galih dan Max juga sepertinya berpikiran sama.

Riana terlihat cantik—Well, kuakui dia memang cantik—dengan mengenakan gaun berwarna soft purple yang panjang. Aku tidak tahu apa nama dress yang ia pakai, tapi bagian bahunya terbuka. Sekarang sedang tren gaun seperti itu kayaknya.

"Hai, Riana." sapaku.

Riana menoleh dan matanya membulat. "Well, sebuah kehormatan sang ketua OSIS dan pewaris Aldrich Group datang. Apa yang sudah aku perbuat sampai kamu rela mau datang di pestaku yang tak seberapa ini?" ucapnya sarkas membuatku memutar mata. Rupanya dia tidak bisa diajak beramah tamah.

"Tak seberapa? Well, gue nggak pernah lihat kue setinggi ini selain di TV."

Riana tertawa. "Gue memesannya dari sebulan yang lalu. Cantik, kan?"

"Untuk dibuat foto, bukan dimakan."

"Well, semua dekor memang dibuat photogenic. Aku benci melihat sesuatu yang jelek. Kenapa kamu datang?"

"Kamu memberi undangan kepada kami, tentu saja kami datang."

"Kalau orang tua gue tahu pewaris Aldrich grup yang terkenal dan berpengaruh itu datang, mereka pasti akan menyalami lo sekarang juga."

"Jadi, maksudnya?"

"Gue nggak pengen lo yang jadi pusat perhatian di sini, karena ini pesta gue. Jadi gue nggak akan ngasih tahu orang tua gue kalau lo datang."

"Good job. Itu juga yang gue pengenin. Happy birthday,"

Setelah itu kami meninggalkan Riana. Sempat aku lihat Alexander Patra—pacar Riana—mendatanginya dan memberinya sebuah kado. Aku nggak mengerti kenapa Alex bisa memacari perempuan seperti Riana, sekalipun dia cantik.

Max dan Galih menikmati makanan mereka sepuasnya seperti yang mereka inginkan saat aku keluar rumah, ke teras rumah Riana. Suasana di teras sudah sepi karena acara inti dimulai sehingga semua orang berada di dalam. Lagu Happy birthday terdengar membahana saat aku melihat bayangan seorang perempuan turun tangga teras. Dia memandang sekitar sebelum akhirnya duduk di tangga teras sama seperti aku. Hanya saja jarak kami cukup jauh jadi dia tidak menyadari keberadaanku.

Perempuan itu membuka hapenya dan menggunakan earphone. Beberapa saat kemudian dia terlalu terpaku dengan hapenya dan entah apa yang ia dengarkan tetapi kepalanya bergerak-gerak. Aku suka model rambutnya yang sederhana. Hanya dikuncir ekor kuda—tidak seperti anak-anak lain yang terlihat berlomba-lomba agar terlihat cantik. Aku tidak terlalu melihat wajahnya—tetapi sepertinya cewek itu juga cantik. Apa dia anak di sekolah kami? Tetapi kenapa dia terlihat asing?

Seorang laki-laki paruh baya menghampirinya. Aku bisa mendengar sedikit apa yang orang itu katakan, terdengar menyuruhnya untuk masuk. Tetapi perempuan itu tidak mau. Aku tersenyum tipis. Perempuan itu terdengar sangat terpaksa ikut party ini.

Entah dengan bujuk rayu seperti apa, akhirnya perempuan itu berdiri kembali. Saat itulah mata kami bertemu. Ya Tuhan, dia tidak cantik tetapi sangat cantik. Meskipun penerangan di teras tidak seterang penerangan di dalam, aku bisa dengan yakin menyebutkan bahwa dia adalah perempuan paling cantik yang pernah aku temui.

Dia anak di sekolahku? Tidak mungkin. Kalau iya aku pasti sudah menyadarinya.

Perempuan itu mengalihkan tatapannya dan segera masuk ruangan kembali. Aku segera berdiri dan mencari keberadaannya. Dia dan laki-laki tua itu menghilang. Apa pria itu bokapnya?

"Ga, sini deh."

Max menyeretku ke tempatnya. Kami berbicara dengan Ziya, anak kelas 12-4 yang naksir sama Max hanya saja Max tidak pernah menyadarinya. Atau pura-pura tidak tahu? Meskipun mereka mengajak mengobrol, tetapi mataku menatap ke arah lain. Ke segala arah. Kemana perempuan itu?

Dia mengenakan gaun warna hitam. Seharusnya mudah mencarinya karena anak-anak yang lain mengenakan gaun terang. Tapi kenapa dia seperti menghilang tertelan Bumi?

Hmm...

"Galan nggak akan menyukai perempuan seperti dia." Aku mendengar Max berkata. "Dia nggak punya tipe cewek idaman. Hidupnya menyedihkan. Kayak putra raja yang nggak bisa memilih sendiri pasangan hidupnya. Dan—oh, yang menetapkan kriteria bukan dia, tapi nyokapnya."

Aku menoleh Max dan menatapnya bertanya-tanya.

"Ziya mau kenalin lo sama temennya—dari sekolah lain."

"Temen gue itu anak orang kaya kok, Ga. Makanya gue berani mau kenalin lo. Lo tahu perdana menteri Singapura? Dia anak bungsu perdana menteri itu—"

"Wow," komentar Galih.

"Sorry gue nggak tertarik." Kemudian aku mengalihkan pandang lagi—mencari perempuan tadi. Sesaat kemudian aku melihatnya berada di samping nyokap dan bokapnya Riana. Aku tersenyum tipis—akhirnya...

Apa dia kerabat Riana?

Saat dia mendongak, tiba-tiba kakiku berjalan mendekatinya. Galih dan Max menatapku heran. Saat aku mendekat, aku bersalam dengan orang tua Riana. Om Denis dan Tante Erika. Om Denis adalah seorang politisi sekaligus direktur perusahaan bidang properti. Sedangkan Tante Erika juga direktur di perusahaan bidang entertainment. Mungkin itu sebabnya Riana tumbuh sebagai gadis manja.

Ngomong-ngomong soal Riana, sekarang dia menatapku tercengang.

"Hai, Om Tante. Aku Galan Aldrich—anaknya Elizabeth Aldrich kalau Om dan Tante belum tahu. Mama titip salam kepada kalian jadi aku ke sini—"

Aku tidak melanjutkan lagi kata-kataku karena perempuan itu mendongak. Perempuan yang ingin kulihat dari dekat sampai aku memperkenalkan diri pada orang tuanya Riana itu mendongak dengan kening mengernyit. Perempuan itu ternyata mempunyai mata cokelat terang memukau yang pernah aku lihat. Aku terkesima.

Sepertinya Tuhan hampir mencabut nyawaku—jantungku berhenti berdetak!

*****

TRULY DEEPLY (REVISED)Where stories live. Discover now