Epilog

18 3 2
                                        

Tiga hari berlalu, hari ini aku akan bertemu dengan Ibunya Leisha. Sebelum memperbaiki hubungan Leisha dan ibunya, tentu saja aku juga memperbaiki hubunganku dengan ayah. Sehari sebelumnya, aku sudah mengungkapkan apa yang aku rasakan kepada ayah, unek-unek, kekesalan, dan meminta maaf atas semua prilakuku yang kurang sopan.

Ayah mendengarkan semuanya dengan tenang, lalu saat aku meminta maaf, dia juga meminta maaf karena sudah membuatku merasakan hal semacam itu. Sungguh, aku punya ayah yang hebat!

“Rey, kamu sudah siap. Kan?” tanya Bu Melati begitu memarkir mobil di depan rumah Leisha.

Meski aku jawab belum, lalu apa? Kita sudah di depan rumahnya, nggak mungkin aku kabur sekarang.

“Ouh! Aku siap Ma’am!”

“Jawaban yang bagus.”

Tak lama setelah Bu Melati mengetuk pintu, Leisha membukakan pintu dengan pakaian kasualnya. Kaos polos berwarna biru muda yang dimasukkan ke dalam rok jeans selutut. Simple, namun sangat cocok dengannya.

Dengan bangga, aku bilang “Pacar gue imut banget!” meskipun cuma di dalem hati.

Sambil malu-malu, Leisha mempersilakan kami masuk.

Di ruang tamu, sudah ada Ibunya Leisha yang duduk layaknya bos terakhir di dalam video game. Lalu di sampingnya ada Ayah Leisha yang sudah memasang wajah ramahnya kepada kami. Ini pertama kalinya aku bertemu Ayahnya Leisha.

Aku dan Bu Melati duduk bersebelahan, berseberangan dengan Ibu dan Ayahnya Leisha. Untuk Leisha sendiri, dia duduk sofa yang ada di depan TV.

Tok, tok, tok, tok, tok. Ibunya Leisha mengetuk-ngetuk jarinya ke meja yang terbuat dari kaca.

“Melati, aku sudah bilang, aku tidak akan merubah cara didikku.”

“Aku tahu Kak, tapi ada sesuatu yang mau aku luruskan,” jawab Bu Melati.

Ibunya Leisha mengisyaratkan dengan dagu untuk melanjutkan.

“Kakak cuma mau Leisha berprestasi, kan? Makanya Kakak bersikap seperti itu?”

Dijawab anggukan oleh Ibunya Leisha. “Aku juga memberikan Leisha tujuan dalam hidupnya agar dia tak tersesat. Misal Leisha ingin kasih sayangku, maka dia harus berusaha mendapatkannya, raih tujuan itu untuk dirinya sendiri.”

Omongan yang benar-benar congkak, membuatku muak.

Penasaran, aku melihat ekspresi Ayahnya Leisha. Dia tak merubah sedikit pun raut wajahnya, dia tetap tersenyum kepadaku seperti apa yang barusan istrinya bilang itu hal yang normal.

Jangan bilang kalau ayahnya juga masalah di sini?

“Tapi sudah beberapa tahun Leisha membuktikan kalau dia anak yang berprestasi Kak? Bukannya ini sudah waktunya Kakak memberikan kasih sayang tanpa perlu hal semacam itu?”

Ibunya Leisha mendengkus seakan meledek ucapan Bu Melati. “Kamu benar. Tapi bagaimana kalau aku berikan apa yang Leisha mau, lalu dia malas-malasan? Tidak ada jaminan Leisha tak akan seperti itu, kan?”

Meski bersikap seperti sedang menonton TV, aku sadar Leisha terus melirik ke sini, dan dia mendengar apa yang baru saja Ibunya katakan. Ibunya yang tak mempercayai kemampuan anaknya. Aku tak tau apa yang Leisha rasakan saat mendengarnya, tapi aku yakin itu bukan hal yang enak untuk didengar.

“Selain itu, ini sudah keputusan keluarga kami, suamiku juga sudah setuju. Kamu memang Adikku, tapi kamu tidak berhak ikut campur Melati.” Aku mohon, berhenti “Aku melakukan ini demi Leisha, demi masa dep-.”

“Apanya yang demi Leisha?!” dibanding kepala, tubuhku bergerak terlebih dahulu. Saat aku sadar, aku sudah menggebrak meja.

“Rey, tenanglah,” ucap Bu Melati.

Image Change [COMPLETED]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon