CHAPTER 20: A Much Needed Vacation

24 11 1
                                    


Ophe membuka pintu kamarnya dan langsung membanting tubuhnya di atas kasur.

Sepanjang perjalanan pulang tadi, dia setengah mati menahan tangisnya, sekaligus tangannya yang gatal merusak fasilitas umum apa pun yang kebetulan ada di hadapannya.

Namun begitu dia kembali ke kenyamanan kamarnya, dengan ular-ularnya yang semua terlihat gembira melihatnya pulang seawal itu, dan weighted blanket yang selalu setia menenangkannya, Ophe tidak kuasa untuk tidak terisak. Air matanya mengalir dengan deras hingga seluruh sarung bantalnya basah.

Kepalanya penat bukan main. Semua inci tubuhnya terasa lelah, bahkan lebih lelah dari ketika dia ikut turnamen judo kategori Nageno Kata selama seminggu penuh waktu itu. Lelahnya kali ini tidak hanya menyerang tubuhnya, tetapi juga pikirannya. Jiwanya.

Entah mengapa sekarang tidak ada yang dia inginkan kecuali menangis.

Ophe tidak pernah menangis keras-keras sejak hari di mana Ibu meninggalkan rumah setelah orang tuanya memutuskan berpisah. Dia ingat di hari itu, meski dia sudah SMA, dia menangis dan memohon agar ibunya tidak pergi. Ophe memang tidak pernah terlalu dekat dengan ayahnya yang selalu terasa kaku dan canggung berkomunikasi dengannya. Pekerjaannya sebagai Kapolda juga tidak membuatnya lebih sering di rumah. Sayang, keputusan ibu Ophe nampaknya sudah tidak tergoyahkan lagi.

"Kamu sudah gede, sayang," ujar Ibu waktu itu setelah mengecup keningnya. "Jangan nangis, ya? Nanti kita masih bisa ketemu lagi."

Ophe masih sesenggukan di ambang pintu sembari mengawasi Ibu pergi dengan taksi. Ayahnya tiba-tiba muncul di belakang Ophe.

"Ibu kamu ada benarnya. Mulai dari sekarang, kamu nggak boleh nangis lagi. Di rumah Ayah nggak ada yang namanya anak cengeng."

Dan sejak itu, Ophe pun menelan semua dukanya, hingga lupa rasanya menangis. Bahkan saat kejadian bersama Kak Fero. Satu-satunya pelampiasan yang dia tahu adalah amarah, dan judo sangat membantunya untuk itu.

Ophe hanya ingin menyalahkan sesuatu. Seseorang. Pokoknya, sampai dia tidak merasa seburuk ini.

Kael.

Ophe tidak percaya bisa membiarkan dirinya sendiri punya perasaan sama cowok yang bisa jadi adalah seorang pembunuh berantai.

Dia benci sekali merasa setakberdaya ini. Benci karena dia selemah ini. Dan ini semua gara-gara dia benar-benar suka sama cowok itu.

Seandainya dunia bisa menelannya.

Perhatiannya teralih karena ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi menyembul dari atas layarnya, menampilkan sebuah nama dan pesan.

Ayah

Kak, kapan-kapan main ke rumah sini ya. Ayah kangen. Pengen ketemu.

Ophe termangu.

Lebih dari sebulan yang lalu, ayahnya memang sempat mengunjungi Ophe di kotanya yang sekarang. Dia membawa keluarga barunya.

Istrinya hanya selisih dua belas tahun dari Ophe. Tuturnya halus dan cenderung pendiam, bertolak belakang dengan sosok ibu kandung Ophe yang lebih eksplosif dan temperamental. Sepasang anak laki-laki kembar berusia empat tahun yang terlihat tidak bisa lepas dari gadget masing-masing mengikuti mereka. Mereka makan siang bersama di sebuah restoran, dan Ophe menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya menjelma menjadi sosok yang seolah tidak pernah dia kenal sebelumnya. Ayah yang sabar dan telaten menanggapi setiap celoteh dan pertanyaan putra kembarnya, mengajari mereka setiap hal yang Ophe yakin tidak pernah diajarkan kepadanya dahulu.

Meski ibu tirinya sangat baik padanya, Ophe akui dia tetap saja merasa dia tidak ubahnya seperti tamu tak diundang di antara mereka. Dan Ophe tidak bisa mengingkari betapa dia iri pada adik-adik tirinya karena mendapatkan figur Ayah yang Ophe tidak pernah dapatkan sepanjang masa kecilnya. Yang dia dapatkan adalah Ayah yang kaku dan jarang tersenyum, bukan Ayah yang sering tertawa lepas dan bercanda dengan anak-anaknya seperti sekarang.

Girls Like You (TAMAT)Where stories live. Discover now