CHAPTER 4: Coffee O' Clock

42 17 6
                                    

"Parah! Masa badan segede kamu gitu nggak kuat banting si Tama yang cungkring gitu?"

Mata Ophe membelalak pada dua remaja laki-laki di hadapannya, yang tengah berusaha berdiri setelah sebelumnya saling menimpa satu sama lain. Keduanya serta merta menjengit mendengar teriakan sensei pengajar judo mereka itu, yang memang paling galak sejagad raya. Sesi kali ini mereka sedang belajar gerakan seoi nage, yaitu gerakan melempar lawan melewati punggung hingga sang lawan terkapar di lantai.

"Ma-maaf, sensei," salah satu di antara remaja itu, Radit, yang tadi gagal total melempar lawannya, meringis gemetaran. "Hari ini sa-saya sedang tidak enak badan. Saya lagi batuk, sensei."

Ophe melempar cibiran pada Radit. "Oh, kamu lagi batuk, gitu? Terus ini apa, hah?"

Di tangannya, Ophe mencengkeram sebuah kotak kertas putih berwarna biru muda yang dia pamerkan ke seisi kelasnya. Muka Radit berubah pucat pasi.

"Iya, ini saya ambil dari tas kamu. Kamu lagi batuk tapi nggak masalah ya ngerokok ini sebelum kelas saya? Oh, kamu kaget? Kamu kira saya nggak liat kamu? Kamu lebih milih saya laporin ini ke wali kelas kamu?"

Ophe membanting bungkus rokok itu ke sebelah Radit yang terlihat mengkerut saking takutnya.

"Sekarang saya minta kamu lari keliling ruangan dojo tiga puluh kali sebagai hukumannya."

"Ta-tapi sensei..."

"Keberatan? Kalau begitu, ganti jadi empat puluh keliling! Jangan berhenti kecuali kamu pingsan!"

Radit langsung bungkam, menyadari bahwa percuma saja bernegosiasi sama sensei-nya yang amit-amit nggak punya perikemanusiaan itu. Dia pun bangkit dan dengan terengah-engah mulai lari keliling lapangan. Ophe menghadap murid-muridnya dan mulai menyemprot mereka.

"Kalian semua dengerin ya. Orang tua kalian masukin kalian ke sekolah ini supaya kalian nggak jadi anak-anak kaya yang manja! Dan di sini saya ditugaskan buat mendidik kalian supaya disiplin dan nggak jadi berandalan. Kamu, Erik! Sekarang giliran kamu. Sini maju ke depan dan coba banting si Tama!"

Setelah kelas eskul hari itu usai, Ophe sudah tidak sabar untuk mandi dan menyeka tubuhnya yang berlumuran keringat. Ruang loker di gimnasium SMA Prima Harapan tempat dia mengajar memang dilengkapi shower room untuk mandi khusus para staf. Tapi hari ini, Ophe langsung kecewa melihat tanda "SEDANG DALAM PERBAIKAN" tertempel di pintu ruang shower. Apa boleh buat. Ophe memutuskan untuk mandi di apartemen saja.

Ponselnya tiba-tiba berdering. Ophe mengecek layarnya dan melihat nama Katja di situ.

"Halo, kenapa Kat?"

"Phe!" suara Katja terdengar panik dan memelas, membuat Ophe terkejut. "Phe, tolongin gue Phe ... Gue nggak tahu musti nelepon siapa lagi Phe ..."

Ophe terperanjat mendengr nada suara Katja. "Kat? Kenapa lo? Ada apa?"

Katja mulai terisak. "Please, Phe, gue nggak ada waktu buat jelasin. Kita ketemuan di Coffee O'Clock aja ya, yang deket tempat kerja lo. Gue tunggu di sana sekarang ya, Phe ..."

Sambungan telepon tiba-tiba mati. Tanpa berpikir apa-apa lagi, Ophe buru-buru mengganti seragam judonya dengan kaos yang dia bawa dan langsung berangkat menggunakan ojek pertama yang dia lihat.

Untung kafe Coffee O'Clock bisa dicapai hanya dengan waktu sepuluh menitan, karena jalan ke sana memang tidak begitu ramai. Sepanjang perjalanan Ophe terus-terusan berusaha menelepon Katja, tapi tidak juga diangkat. Rasa cemas semakin merayapi tubuhnya. Katja tidak pernah terdengar sepanik itu.

Ophe menghambur masuk ke kafe dan langsung celingak celinguk mencari Katja. Nihil. Dia duduk di kursi terdekat sambil terus mencoba menghubungi nomor Katja, namun tidak kunjung diangkat. Semua chat dan SMS yang dia kirim juga sepertinya tidak dibaca. Sampai akhirnya--

Girls Like You (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang