CHAPTER 5: Persikarya vs. PS Taruna Perkasa

39 13 2
                                    

"Halooo, Ophe darling, gimana nge-date-nyaaa?" suara Katja yang riang gembira malah terdengar super meledek di telinga Ophe, membuat darahnya semakin mendidih.

"Nge-date pala lo! Lo harusnya bersyukur gue ga samperin dan banting lo pake jurus judo gue!" sembur Ophe. Dia tahu, di seberang sana, Katja pasti tersentak mendengar ancamannya. Namun Ophe tidak peduli.

"Phe, tenang, Phe. Tarik napas ... Ada emangnya? Kenapa lo semarah itu sama gue?"

Nada suara Katja yang kentara khawatir membuat Ophe langsung merasa sedikit bersalah karena membentaknya. Temperamennya memang kadang butuh dijitak biar lebih terkendali.

Ophe menarik napas. Sekali. Dua kali. Ternyata berhasil. Dia bisa merasakan detak jantungnya melambat.

"Sori gue tadi marah-marah sama lo. Cuma ... ya ampun, Kat, bisa-bisanya lo ya! Gue tadi udah parno setengah mampus tau nggak. Gue kira lo kenapa-napa! Taunya lo malah nge-prank gue biar bisa ketemu sama makhluk itu. Kampungan tau ga?!"

Katja mendengkus. "Iya, sori sori. So ... tadi tuh emang separah itu, ya? Emang si Kael ngapain?"

"Gue lagi nggak pengen ngomongin itu."

"Oke, oke, maaf deh. Iya, lo bener. Gue nggak harusnya ngerjain lo kayak gitu. Tapi gue pikir lo berdua pasti bakalan cocok, kok. Asal kalian mau nyoba, aja. Makanya gue dan Wisnu sepakat buat ngatur ini—"

"Terserah," potong Ophe. "Udah nggak penting lagi. Sekarang ada yang lebih penting. Lo bisa bantuin gue nggak? Tolong tanyain si Wisnu alamat si Kael di mana."

"Buat ap—"

"Udah nggak usah banyak nanya. Urgent nih. Lo mau bantu gue apa nggak?"

Terdengar embusan napas dari speaker ponsel Ophe. Katja pasti sedang menggigit bibir tebalnya, menahan diri supaya tidak bertanya-tanya lebih jauh.

"Fine, gue nggak akan ngomong apa-apa lagi, tapi itu juga karena bentar lagi gue mau ada meeting. Ntar gue chat Wisnu buat minta infonya. Tapi nanti, kalo kita berdua udah sama-sama di rumah, kita bicarain ini lebih serius, oke?"

"Iye," gumam Ophe, dan memutuskan sambungan telepon.

Ophe melihat sekelilingnya. Dia masih berada di toilet wanita di kafe Coffee O'Clock. Selain dari ledakan aneka warna pastel di setiap sisi temboknya, toilet ini juga dihiasi beberapa gambar dessert yang dilukis dengan cat air. Dia beringsut mengecek penampilannya di cermin berbingkai turquoise yang menggantung di atas wastafel pink muda. Sambil merutuk, dia melepaskan kausnya, membaliknya ke posisi yang benar, dan mengenakannya kembali. Dia berusaha setengah mati untuk tidak mengingat seringai Kael ketika dia bertanya soal kausnya yang salah pakai tadi.

Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar. Katja baru saja mem-forward lokasi tempat tinggal Kael. Ophe mengecek lokasi itu melalui aplikasi peta. Daerah rumah Kael ada di bagian timur kota ini, di wilayah yang sebelumnya tidak pernah Ophe datangi. Apalagi, mengingat kota ini bukan kota tempat dia berasal.

Paling mudah ke sana memang tinggal pakai ojek online. Daripada pusing dan nyasar.

Ophe kembali menarik napas. Setelah membasuh wajahnya sedikit dengan air dari wastafel, mengoleskan tabir surya tipis-tipis, dan merapikan rambutnya yang mulai awut-awutan, dia pun beranjak pergi.

***

Hari ini jelas bukan hari keberuntungan Ophe.

Pertama, dia baru sadar kalau pagi tadi di dompetnya cuma ada selembar uang lima puluh ribu. Tiga puluh sudah habis untuk membayar minumannya tadi, sehingga yang tersisa hanya dua puluh.

Kedua, ketika dia mau mengisi saldo uang elektroniknya supaya bisa memanggil ojek online, ternyata aplikasi m-banking-nya terus-terusan error, nggak tahu kenapa.

Ketiga, ketika dia akhirnya memutuskan untuk naik KRL ke lokasi tempat tinggal Kael karena menurut aplikasi Maps itu adalah rute terpendek dan termurah, dia tidak menyangka bahwa kereta yang dia naiki penuh dengan suporter sepak bola yang timnya akan tanding sore itu.

Ophe memang tidak berencana untuk ke mana-mana sehabis kerja tadi kecuali langsung pulang ke apartemennya, terutama setelah dia tahu kamar mandi staf di dojo tempatnya mengajar judo sedang rusak. Jadilah sekarang tubuhnya yang lengket karena keringat membuat kausnya basah di berbagai tempat. Rambutnya yang lepek menempel di dahi dan pipinya, dan dia merasa kalau badannya mulai berbau.

Dia juga menyesal mengapa tidak memilih untuk pakai jeans panjang saja ketimbang celana olahraga yang hanya sebatas setengah paha. Sudah beberapa mata nakal jelalatan ke sana. Untunglah orang-orang mesum itu sepertinya langsung ciut begitu melihat logo 'ASOSIASI JUDO NASIONAL' yang Ophe kenakan, ditambah dengan pelototan Ophe yang lebih beringas dari air keras.

Namun tetap saja, suporter sepak bola yang kini membuat gerbong yang Ophe tempati kini penuh sesak adalah yang paling membuat Ophe menggerutu. Dia sama sekali tidak tahu menahu bahwa daerah yang sekarang dia tuju adalah tempat Stadion Singaperbangsa, basis kesebelasan PS Taruna Perkasa, berada. Tim sepak bola itu tidak hanya tersohor karena permainannya yang ganas, tapi juga karena menjadi musuh bebuyutan Persikarya, tim dari seberang kota. Dalam hitungan beberapa jam lagi, dua tim itu akan berhadapan di stadion tersebut. Setahun sebelumnya, PS Taruna Perkasa menggilas Persikarya dengan skor 4-0. Nampaknya kini Persikarya bersama para pendukungnya sudah bertekad untuk membalas kekalahan mereka.

Tentu saja, yang kini memampati udara di dalam gerbong itu adalah bau keringat dan keberisikan para suporter Persikarya. Segala jenis atribut berwarna hijau-hitam, mulai dari jersey, syal, topi, sampai balon tepuk sebesar paha manusia dewasa, menyerang pandangan Ophe dari segala arah. Celoteh berisik para suporter yang kebanyakan bapak-bapak paruh baya itu juga tidak ketinggalan menyiksa telinga Ophe.

Ophe sampai hampir kagum karena ternyata ada juga gerombolan bapak-bapak yang suaranya bisa lebih nyaring dari suaranya sendiri.

Dia jelas mulai menyesali keputusannya untuk mengembalikan charger sialan dan dokumen entah-apa milik cowok teraneh yang dia kenal itu. Kenapa coba, dia tidak mencoba minta tolong temannya, Katja atau siapa lah, untuk memesankan jasa pengiriman barang via ojek online saja? Bukankah itu akan jauh lebih cepat, praktis, hemat, dan yang penting, tidak usah bikin dia repot?

Ini karena lo sebenernya pengen ketemu dia lagi aja kali, benaknya tiba-tiba menyeletuk rese.

"Udah deh, lo jangan ngadi-ngadi," Ophe memperingatkan dirinya sendiri.

Masalahnya, dia tidak sadar kalau dia mengucapkan kalimat tadi keras-keras.

Beberapa kepala menoleh kepadanya. Hampir semuanya mengenakan ekspresi keras.

"Heh Mbak, tadi ngomong apa?" salah satu dari bapak-bapak di dekatnya bertanya tajam. Wajahnya seperti sudah siap mengajak ribut.

"Eh, bukan apa-apa, Pak. Itu ... Tadi saya lagi ngomong ke diri sendiri. Beneran Pak, sumpah," jawab Ophe setenang yang dia bisa, karena menyadari kemampuan judo-nya mungkin tidak akan berguna di situasi seperti ini.

Gerombolan bapak-bapak itu tetap memperhatikan Ophe selama beberapa saat setelahnya. Ekspresi mereka masih nggak santai. Namun akhirnya mereka sibuk sendiri juga, dan perhatian mereka dari Ophe teralih sudah. Ophe memejamkan matanya dengan lega.

Tepat setelahnya, kereta berhenti. Memang tidak mendadak, tapi mengingat posisi Ophe yang tengah tergantung di antara para pria paruh baya yang kebanyakan kelebihan berat badan, tidak ayal tubuhnya nyaris terpental juga. Muka Ophe mendarat tepat di punggung seorang bapak berbadan besar dengan keringat yang merembes ke seluruh kemejanya.

Ophe menggumamkan permintaan maaf sambil menegakkan badannya kembali. Dia harus menghapus sisa-sisa keringat pria tadi yang tertinggal di pipinya sambil tidak berhenti mengutuk dalam hati. Lain kali, dia akan memastikan dia berpikir dengan tenang terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan untuk melakukan hal seperti ini lagi.

Pokoknya, ini semua harus sepadan. Awas saja kalau Kael sampai setidaknya nggak bilang makasih.

Awas aja, pikir Ophe seraya menggeretakan giginya.

Girls Like You (TAMAT)Onde histórias criam vida. Descubra agora