Part 13 - Lantai 8

3 1 0
                                    

Minaya memasuki sebuah restaurant fine dining dan langsung diescort menuju private dining room. HP ditangannya bergetar lagi untuk kesekian kalinya dalam 2 hari ini. Minaya tidak mau repot-repot untuk menjawab.

Pelayan menarik pintu geser untuk Minaya masuk. Laki-laki tua dengan jas coklat sudah duduk menunggunya. Minaya melangkah masuk dengan tanpa tersenyum. 

"Selamat malam, Om. Maaf saya tidak menjawab lagi karena sudah ada disini."

"Hmm... baik duduk." ucap laki-laki itu datar. 

"Tante tidak bisa datang. Kamu pasti tahu mengapa," lanjut laki-laki tua itu. Minaya mengangguk. 

"Kamu sudah terima paket dari Adrian?" lanjutnya lagi. 

"Sudah, Om. Apakah Om minta saya datang untuk mendapatkan jawaban saya?" Minaya tidak ingin memanjangkan pertemuan ini dan ingin langsung ke intinya saja. 

"Aku suka kamu. Kamu selalu lugas." 

Minaya tidak tersenyum. 

Laki-laki tua itu meneguk secangkir teh dihadapannya. "Tidak. Dia mungkin anakku. Tapi aku tidak pernah setuju dengan tindakan tidak terpujinya ataupun keputusan-keputusannya yang kekanak-kanakan."

Minaya menundukan kepalanya sedikit untuk menurunkan egonya. Dia tahu selama ini Papa dan Mama Adrian selalu fair dan tidak memihak anaknya. Bahkan mereka memperlakukan Minaya dengan baik. 

"Om mau bilang. Kamu tidak perlu setuju. Kamu bebas membuat keputusanmu sendiri. Om menghormati kamu dan pilihanmu. Om melihat sendiri bagaimana kamu hidup hingga menjadi wanita yang luar biasa seperti saat ini."

"Terima kasih Om. Tapi pujian itu berlebihan. Aku tidak sehebat itu"

"Hmmm... Om Tahu tentang dukungan dan kerjamu di Panti Asuhan Nirmala dan Pusat Perlindungan Wanita dan Anak Mangata. Apa yang kamu lakukan itu luar biasa."

Mata Minaya sedikit berembun. Namun sekuat tenaga dia menelan kembali perasaanya yang membuncah itu. 10 tahun terakhir dengan penghasilannya bekerja dengan Penulis Yani Ami, Minaya mengumpulkan bayi-bayi yang terlantar di rumah-rumah sakit atau di kantor polisi dan membawa mereka ke panti asuhan yang ia bangun dan danai. Awalnya ini dia lakukan untuk penebusan dosanya. Namun, Mama meyakinkan dia bahwa bahkan kesalahan dan dosa yang kita lakukan dapat digunakan Tuhan untuk membawa kebaikan kepada banyak orang selama kita membuka diri untuk membiarkan Tuhan menggunakan kerapuhan kita. 

Dalam seminggu ada saja informasi yang dia terima dari jejaring perlindungan perempuan dan anak yang ia rintis mengenai bayi yang akan ditelantarkan orang tuanya. Hampir selalu Minaya yang pergi menjemput bayi-bayi itu. Setiap kali minaya memeluk bayi-bayi yang 'dibuang' itu, Minaya seperti sedang mengaku dosanya dan meminta pengampunan. tangan-tangan kecil mungil para bayi yang menggenggam jarinya atau menyentuh pipinya bagaikan sentuhan penghapusan dosa dari Tuhan untuknya. 

Beberapa kali Minaya sempat bertemu langsung dengan para ibu untuk mendengarkan kisah mereka, memeluk mereka tanpa menghakimi dan memberikan penguatan bagi para ibu ini. Kita tidak pernah tahu siatuasi dan kondisi mereka yang harus membuat keputusan ini. Mereka bsia saja naif, bodoh atau kejam. Tapi Minaya tidak ingin menghakimi mereka. Satu hal yang dia inginkan, adalah memastikan anak-anak itu hidup dan bahagia. 

"Om, ingin meluruskan sesuatu Minaya." suara Papanya Adrian membuyarkan pikiran Minaya tentang bayi-bayi kecil itu. 

"Lantai 8 itu milikmu. Kami memberikannya kepadamu. Itu bukan milik Adrian. Tidak pernah milik Adrian. Itu milikku. Anto Wibisono. Sertifikat balik nama menjadi namamu itu adalah dariku untuk kamu dan bukan dari Adrian." 

Minaya tertegun. Berarti apa yang Adrian bilang tidak sepenuhnya benar. 

"Dari mana Om tahu?"

"Anak brengsek itu bercerita 2 hari yang lalu. Bahwa dia telah mengirimkan salinan dokumen itu sebelum dia balik ke Indonesia. Dan bahwa dia memberikan lantai 8 untukmu. Cuih... Sombong sekali dia..."

Minaya menarik napas. "Dia anak Om, bukan? Rasanya tidak benar-benar bohong bahwa gedung itu juga miliknya."

Papanya Adrian meringis sarkastik. "Minaya... dalam bisnis kamu harus pisahkan mana aset pribadi dan mana aset bisnis. Lantai 8 itu adalah aset bisnisku yang aku hibahkan ke kamu. Itu.. sebagai tanda permintaan maaf kami, ayah dan ibu Adrian.. kepadamu dan keluargamu. Kamu boleh gunakan lantai itu untuk apa saja. itu milikmu."

"Terima kasih, Om. Saya dan Mama sudah menerimanya dengan baik. Tapi jika Adrian berpikir bahwa dia yang memberikannya kepada saya. Saya akan mengembalikannya, Om. Saya mohon maaf mengatakan hal ini... tapi saya tidak sudi menerima apapun dari Adrian."

"Om, sangat paham... Tante juga sepaham dengan Om. Jika dia macam-macam laporkan ke Om dan kita bawa saja dia ke pengadilan." Papanya adrian tersenyum. 

Minaya ikut tersenyum walau tiap kali nama Adrian disebut, luka dihatinya seolah berdarah kembali. 

"Apakah Adrian mengirimkan hal lain lagi? Jika ada yang perlu om luruskan... akan om luruskan."

Minaya menatap lelaki tua didepannya. wajahnya yang keras sudah mulai berkerut dengan uban yang ditata dengan stylish menjadi highlight rambutnya. Papanya Adrian masih tampan diusia itu. Minaya menggeleng. 

"Tidak ada Om. Hanya itu saja."

"Baiklah. Seperti yang kamu tahu Adrian sudah kembali. Jika dia mengganggumu, kasi tahu Om. Kamu punya Nomor kontak kamu, kan" ucap papanya Adrian dengan hangat walau dengan nada yang tetap datar dan keras. 

"Baik, Om. Jika tidak ada yang lain boleh saya pamit?" 

"Tentu. Senang bertemu denganmu, Minaya. Kamu terlihat sehat dan kuat. Tetap kuat, Minaya. Kamu tidak bersalah"

***

Minaya sedang menunggu taksi online di lobby restaurant ketika HPnya getar. Ada bayi yang ditelantarkan di rumah sakit beberapa menit yang lalu. Minayapun membatalkan taksi online dan berlali ke pojok jalan untuk mengabil Ojek jalanan saja. 

Seorang bayi perempuan yang cantik berkulit coklat sawo matang seperti dirinya. Bulu matanya lentik membingkai mata besar dan cantik. Minaya menyelesaikan semua urusan administrasi identifikasi bayi dan informasi lainnya. Rumah sakit itu sudah lama bekerja sama dengan Minaya jadi protokol seperti ini sudah mereka ketahui. 2 jam kemudian Minaya sudah menggendong bayi mungil itu ditangannya. 

Dipangkunya bayi itu sambil duduk di kursi ruang tunggu di lobby. Minaya masih menunggu suster untuk membawa dokumen-dokumen untuk di cap di kantor. Bayi itu berhenti menangis saat diserahkan ke Minaya. Mata indahnya bergerak-gerak menatap Minaya. Mata Minaya berembun, perlahan bibirnya mengucapkan doa untuk bayi kecil itu dan untuk dirinya. Bayi kecil itu menggenggam jari telunjuk Minaya sambil tersenyum dan Minaya serasa berada di surga. 

"Ibu Minaya Arundati?"

Suara laki-laki yang memanggil namanya membuatnya kembali ke bumi. Jacques berdiri beberapa langkah darinya. 

Tangan-Tangan KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang