1. Gagal Kuliah

1.3K 201 27
                                    

Melanjutkan pendidikan di universitas pilihan adalah impian hampir semua siswa yang baru lulus SMA. Beruntung, orang tua Lily  memiliki penghasilan yang cukup umtuk membiayai anak semata wayangnya kuliah. Namun, ternyata tidak semudah itu. Lily gagal masuk perguruan tinggi impian, Universitas Brawijaya Malang. Salah satu kampus negeri yang sangat tersohor di Jawa Timur. Hari ini, hasil SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) sudah keluar dan Lily dinyatakan tidak lolos.

Fix, hal ini seperti dunia berakhir saja bagi Lily. Apalagi teman-teman satu geng-nya diterima di kampus tersebut. Gadis dengan tinggi 160 sentimeter itu merasa patah hati untuk yang pertama kalinya. Bukan karena laki-laki, tetapi ditolak kampus idaman. Sakit tetapi tak berdarah!

“Makanya kalau Bapak bilang ikut les itu diturutin aja,” ujar Pak Dasuki yang sedang duduk di samping putri kesayangannya. “Sekarang gimana? Lanjut bantu Bapak di kios aja?”

“Bapak, ih. Tega gitu sama anak satu-satunya.” Lily mulai merajuk. Ia menggerakkan bahu sebelah kanan dan kiri dengan cepat. Bibir bawahnya sudah maju maksimal.

“Terus nganggur setahun mau ngapain, Nduk?”

Lily hanya bisa mendengkus kesal. Mau menyesal, sepertinya percuma. Hal itu tidak akan bisa membuatnya lulus SBMPTN.

“Pak, kalau masuk jalur mandiri gimana?” Lily menatap wajah laki-laki yang tidak hanya berperan sebagai ayah tetapi juga ibu baginya. Tepatnya, sejak ibu Lily meninggal tiga tahun yang lalu. Gadis dengan kaus oblong berwarna coklat tua berpadu celana boxer sebatas lutut itu meraih tangan yang tidak kenal lelah dalam mencari nafkah untuknya. Lily mengecup tangan Pak Dasuki berulang kali.

Pak Dasuki hanya tertawa kecil menanggapi tingkah putrinya. Ia sudah paham dengan trik Lily saat memiliki permintaan. “Haish, tangan Bapak bau iler.”

“Iler anak sendiri,” ujar Lily seraya kembali memajukan bibir bawah. “Jalur mandiri, ya, Pak. Please, kumohon kabulkan, pria paling tampan sedunia.”

“Apa?! Mandiri?!” Tiba-tiba muncul suara dari arah belakang. Bu Miranti—adik  Pak Dasuki—datang sambil membawa piring di tangannya.

Lily dan Pak Dasuki sontak menoleh ke sumber suara.

“Nggak usah pakai gaya-gaya-an mau lanjut jalur mandiri, deh, Ly.”

“Loh, emang kenapa, Lek Mi?” tanya Lily dengan kening berkerut. Ia mulai was-was. Ucapan Bu Miranti terkadang mengacaukan usahanya yang sudah merayu sang ayah dengan penuh perjuangan.

Bu Miranti duduk dengan mengangkat satu kaki di atas kursi. Tangan kiri yang memegang piring, bertumpu pada lutut.

“Pokoknya, sampean jangan pernah nurutin Lily kalau dia minta masuk kuliah jalur mandiri, Cak.” Bu Miranti mengacungkan telunjuk yang belepotan dengan nasi jagung yang digiling lembut. Ia merasa harus mengingatkan kakak satu-satunya itu.

Bu Miranti memang dekat dengan keluarga kakaknya, terutama Lily. Apalagi setelah almarhumah kakak iparnya berpulang ke rahmatullah. Bu Miranti menjelma sebagai ibu, tante, dan kakak bagi gadis penyuka dunia tarik suara itu.

Lily langsung berdecak kesal. Tubuhnya yang tadi duduk tegak  di sofa, kini sudah berubah posisi. Punggung Lily menyentuh tepi depan sofa. Bibirnya mengeluarkan rengekan.  Ia baru merayu sang ayah, tetapi sang tante telanjur memergokinya.

“Memangnya kenapa kalau mandiri?” tanya Pak Dasuki yang awam dengan semua hal tentang perguruan tinggi. Sehari-hari, dirinya sibuk dengan kios bunga yang dirintisnya bersama almarhumah sang istri. Masalah sekolah Lily, banyak dibantu oleh adiknya untuk teknisnya. Soal biaya, tentu menjadi tanggung jawabnya.

Bu Miranti pun menjelaskan jika jalur mandiri lebih mahal dari biaya yang lolos SBMPTN baik uang gedung maupun SPP. Bukan hanya dua kali lipat, bahkan bisa empat kali lipat. Tidak hanya itu, jika dibandingkan, jalur mandiri lebih mahal biayanya dari kuliah di universitas swasta. Banyak yang bilang bahwa jalur mandiri merupakan kampus negeri dengan biaya rasa swasta.

“Ya, wes, Nduk. Tahun depan coba tes lagi. Kamu ikuto les, ta. Diomongi nggak mau dengerin.” Pak Dasuki memberikan keputusannya. Ia tentu memercayai penjelasan adiknya.

Lily semakin mencebik kesal. Sebagai anak tunggal, dirinya kerap dimanjakan. Semua keinginannya harus dituruti.

“Kayaknya bahaya kalau Lily nganggur setahun ini, Cak,” ucap Bu Miranti saat Pak Dasuki memutuskan agar Lily ‘terminal’ alias tidak melanjutkan kuliah untuk satu tahun ke depan.

“Terus harus masuk jalur mandiri itu? Atau masuk swasta?” tanya Pak Dasuki yang mulai bingung menentukan masa depan putrinya.

“Nggak! Aku nggak mau masuk swasta, Pak.” Lily menggelengkan kepala dengan cepat. “Bapak sama Lek apa nggak ingat wasiat Ibu?”

Pak Dasuki manggut-manggut. Almarhumah istrinya itu mempunyai impian agar lily melanjutkan kuliah di jurusan Agribisnis Universitas Brawijaya, almamater Ibu Lily.

Bu Miranti mengayunkan tangan kanannya. Ia paham tentang hal yang dirisaukan kakaknya dan juga keponakannya itu. Bu Miranti sudah punya solusi untuk pendidikan remaja yang baru menginjak usia delapan belas tahun itu jika tidak lolos SBMPTN tahun ini.

Bu Miranti pun menjelaskan pada dua orang yang duduk di hadapannya tentang solusi satu tahun mengisi kekosongan belajar. Bu Miranti merekomendasikan program diploma satu jurusan Bahasa Inggris di mana masa perkuliahan hanya satu tahun. Bu Miranti tentu mengetahui ketidakmampuan Lily pada mata pelajaran bahasa asing itu.

“Lek mau nyiksa aku masuk Jurusan Bahasa Inggris?” tanya Lily dengan mata terbuka lebar juga mulut yang menganga.

Bu Miranti tergelak melihat ekspresi Lily yang terkejut. Ia juga paham, betapa Lily paling benci dengan mata pelajaran itu selama duduk di bangku sekolah.

“Anggap aja itu kursus. Kamu disuruh ke Pare juga nggak mau, ‘kan?” Bu Miranti memang pernah menyerakan Lily untuk mengambil kursus di Kampung  Inggris Pare, Kediri.

“Ogah, aku nggak mau jauh dari Bapak.” Lily menggamit lengan Pak Dasuki. Ia lalu bergelayut manja. “Nanti kalau aku nggak di rumah, Lek Mi bakal leluasa jodohin Bapak sama janda kios sebelah.”

Bu Miranti kembali tergelak. Ia memang suka menggoda keponakannya itu dengan mengatakan bahwa kakaknya akan menikah lagi. Namun, tentu saja tidak semudah itu. Ia tidak ingin melihat Lily terluka karena almarhumah ibunya tergantikan oleh perempuan lain.

Pak Dasuki hanya geleng-geleng kepala melihat keributan antara adik dan putrinya itu. “Aku setuju usul itu. Kuliahnya di mana cuma satu tahun itu? Emang ada?”

“Kampus Merpati,” ujar Bu Miranti dengan santai seraya menyuapkan nasi jagung dan urap sayur ke mulutnya.

“Apa?! Kampus Merpati?” Lily membeliak tidak percaya. Ia sudah menandai kampus itu bersama sahabat-sahabatnya. Mereka memiliki janji untuk  tidak kuliah di sana jika tidak lulus SBMPTN. “Bapak, jangan pernah masukin aku ke kampus itu. Please, kali ini kabulkan permintaanku, Pak.”

Nih, Gengs. Aku kasih visual animasi Lily yaaa

Anak jaman now mah, baru lulus SMA aja udah keliatan kayak mahasiswa. 🤭

Jangan lupa vote dan komen 🧡

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jangan lupa vote dan komen 🧡

KANA LILY (Stay Virgin Or Not?)Where stories live. Discover now