0.4

171 24 0
                                    

Seokmin semakin mengeratkan jeketnya. Mungkin, sebelumnya pemuda bermarga Lee itu tak pernah membayangkan akan menginjakkan kaki lagi di tempat menyeramkan seperti sekarang—sekolah Chan. Tadinya Seokmin bahkan sudah mengatakan pada diri sendiri tak akan menjemput Chan lagi. Ia bahkan sudah merencanakan segala macam cara agar Chan pindah dari sekolah itu. Tapi kenyataannya, justu pemuda Lee itu kembali datang ke tampat semula. Berdiri tepat di depan gapura bangunan rusak yang nyaris tak terlihat karna ditumbuhi tanaman rambat. Seokmin tak paham mengapa Chan masih saja ngotot dan mengira bahwa Seokmin-lah yang gila untuk hal ini. Padahal sudah jelas Chan yang tak bisa mengerti. Entah imajinasi Chan yang memang luar biasa diluar kendali, atau justru Seokmin yang masih tertidur lelap dan sekarang ini berada di alam bawah sadar mimpi?

Pemuda itu memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri. Detak jantungnya menggila di dalam sana, kedua tangannya sudah terkepal kuat dibalik saku jaket. Hanya satu keinginan Seokmin—keluar bersama Chan dari tempat menyeramkan ini dengan selamat.

"Adek siapa sih, Lee Chan itu! Kepala batu banget," sebalnya mulai memberanikan diri menatap sekitaran. Mengintai ke segala penjuru dengan sangat hati-hati sembari melangkah masuk lebih dalam ke area bangunan tua.

Satu...

Dua..

Tiga..

Empat...

Lima langkah masih aman. Seokmin mencoba menghubungi sang adik. Barang kali bocah kepala batu itu sudah menemukan ponselnya dan mereka bisa langsung pergi dari tempat itu.

Berdering.

Seokmin meneguk ludah. Perasaannya mulai tidak enak tatkala angin berhembus lebih kencang menubruk tubuh berbalut jaket itu. Hawa yang terasa berbeda, dan Seokmin menyadarinya.

"Kalau bukan manusia tolong jangan ganggu, kalau manusia tolong temenin gue cari Chan di dalam," gumannya lirih.

Srekk...

Srekk...

Langkah pemuda Lee itu terhenti. Ragu antara terus berjalan lebih dalam atau justru memilih berbalik dan menunggu di gapura saja. Namun rasa-rasanya kalaupun Seokmin memilih berbalik juga percuma. Ia akan bertemu seseorang—entah manusia atau bukan—yang kini mulai berjalan mendekat ke arahnya.

Terhubung.

"hallo?"

Brugh!!!

◐◐◐◐◐◐

Langkah Chan langsung terhenti. Pemuda itu mematung tanpa kata setelah mendengar pukulan keras dari dalam telfon. Segala pemikiran buruk langsung menghantam. Chan jelas merasa sangat bersalah karna secara tidak langsung menyeret Seokmin—abangnya, ke dalam permasalahan ini. Abangnya bahkan tidak tahu menahu mengenai apa yang tengah Chan selidiki. Tapi Seokmin dengan segala bentuk simpati dan perhatian justru nekad datang ke tempat—yang kata pemuda itu—sangat seram.

Srekk...

Srekk...

Nafas  pemuda itu ikut memburu. Ada derap langkah kaki terseret yang terdengar melalui sambungan telfon. Maniknya menajam, fokusnya hanya tertuju pada satu titik saja.

Kalau abangnya sampai kenapa-napa, Chan tidak akan tinggal diam.

"Ch...chan," rintih pemuda dari sambungan telefon. Manik Chan sudah memanas, tangannya terkepal kuat disisi badan.

Brugh!!

Tut...tut...tut...

Sambungan terputus.

[𝟏]  𝐬𝐜𝐡𝐨𝐨𝐥 (𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐚𝐤 𝐭𝐞𝐫𝐥𝐢𝐡𝐚𝐭) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang