Tidak aku pungkiri bahwa menjadi dosen terdengar cukup mapan. Sebuah Universitas Negeri cukup bergengsi yang sering mengundangku sebagai pemateri tambahan untuk mata kuliah yang aku kuasai, secara terang-terangan menunjukan ketertarikannya. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatku sulit untuk menerima tawaran itu. Ada semacam rasa kosong, hampa, dan tidak ada gairah sama sekali. Seperti hidup ini hanya dijalani, bukan dinikmati.

"Hidup itu harus pakai logika," begitu kata papa di satu sore yang masih aku ingat jelas.

"Jika hanya mengejar kepuasan pribadi, semua orang juga bisa. Tapi mengejar sesuatu yang pasti, belum tentu semua mampu. Kamu memiliki hak istimewa itu. Mendapatkan apa yang orang lain inginkan dengan mudah tanpa kamu repot mengejarnya. Apa salahnya menjalani kehidupan seperti Papa? Papa seperti ini pun yang ternyata jauh lebih masuk akal untuk memberikan kamu apapun yang kamu butuhkan."

Aku tersenyum kecil mengingat ucapan papa saat itu. Papa seseorang yang logis dan masuk akal. Enggan untuk membuka diri terhadap pilihan lain yang belum pasti untuk anaknya. Terutama semenjak mama memilih meninggalkan kami berdua untuk mengejar impiannya, papa mendidikku untuk menjadi sepertinya. Seseorang yang logis dan lebih terpaku pada sesuatu yang sudah pasti. Papa membenci ketidakpastian, papa membenci harapan. Karena baginya, percuma berharap jika nanti tetap saja harus menelan kekecewaan.

"Johnny!" suaranya membuyarkan lamunanku. Ia mengibaskan telapak tangan di depan wajahku dan menatap dengan mata bulatnya. "Kamu melamun?" dia bertanya.

"Sedikit. Dan kamu membuat lamunanku berantakan," ucapku disertai senyuman.

Ia terkekeh, terdengar ceria dan ringan seperti biasa.

"Pagi-pagi ngelamunin apa?"

"Ada," jawabku. "Yang jelas bukan ngelamunin Tangled kapan rambutnya berubah jadi ungu."

Ia tertawa lagi mengingat kartun kesukaannya, Tangled. Kami selalu berdebat setiap kali menonton kartun itu. Aku selalu berkata bahwa rambut Tangled akan lebih keren jika berwarna biru, mugkin ia bisa jadi salah satu bagian dari Avatar. Dan dia mengatakan bahwa akan lebih baik jika warnanya ungu, sebab belum ada karakter Disney yang memiliki rambut berwarna ungu. Sungguh perdebatan yang tidak berguna, tapi entah kenapa itu terdengar menarik untuk kami.

"Mungkin aku bisa mengirim surat untuk Disney supaya membuat karakter kartun dengan rambut berwarna ungu. Mereka pernah membuat karakter Ariel dengan rambut berwarna merah. Aku rasa, karakter dengan warna ungu cukup menarik," ujarnya sambil berjalan ke meja kasir dan memeriksa catatan di sana.

"Kopi?" tawarku.

Cherry menoleh sekilas kemudian menggeleng. "Coklat," jawabnya.

Aku pun mengangguk dan membuatkannya secangkir coklat hangat. Ia tampak mengambil sebuah map dan membawanya ke sudut depan kafe dekat jendela dan deretan bunga-bunga kecil berada. Membolak-balik kertas yang ada di dalamnya dan sesekali menggoreskan tinta pulpan di atas kertas di depannya. Wajahnya tampak serius namun di saat yang sama ekspresi itu terlihat menawan.

"Coklatmu," ucapmu meletakkan secangkir coklat panas untuknya.

Wangi bunga peony segar menguar dari tubuhnya. Membuatku dapat mencium aroma itu ketika aku berdiri di belakang kursinya. Ikut memeriksa kertas yang sedang ia teliti. Sepertinya ia baru mengganti parfum, atau mungkin parfum itu adalah hadiah dari seseorang? Sebab seingatku, Cherry jarang mengganti aroma parfumnya. Ia akan selalu menggunakan parfum dengan aroma yang sama, merk yang sama, dan ia akan membelinya di tempat yang sama pula. Sebuah toko parfum langganan yang dikelola sahabat dari mendiang ayahnya.

"Ada apa? Catatannya berantakan lagi?"

"Iya," jawabnya masih fokus dengan deretan angka yang tercetak di sana. "Pemasukan kemarin sepertinya sedikit salah hitung. Aku pikir Miko akan memperbaikinya segera, tapi kemarin dia buru-buru pergi. Jadi aku terpaksa melakukannya sendiri.

"Kamu kelelahan kemarin, wajar jika angkanya salah," ucapku kemudian mengusak puncak kepalanya. "Minum dulu supaya lebih tenang."

Ia menoleh padaku dan tersenyum. "Terima kasih," lalu ia seruput coklat hangat itu sambil lanjut memeriksa pekerjaannya.

Penasaran, aku pun duduk. Menatapnya kemudian menopang dagu, "Kamu ganti parfum?"

Ia mengangkat wajahnya dan tersenyum manis padaku. "Iya. Hadiah dari seseorang," jawabnya.

Aku pun mengangguk saja. Sudah dapat kutebak itu dari siapa. Ya, seseorang yang baru datang di kehidupan Cherry dan seolah mengambil porsi paling banyak di hatinya.

"Seperti bukan kamu," komentarku kemudian beranjak dan kembali ke meja bar. Aku berusaha mulai sibuk. Mengelap cangkir yang baru di cuci kemudian menatanya di rak dengan rapi. Enggan untuk memikirkan perkara Cherry dan orang itu lebih jauh.

[]

Hearing CafeWhere stories live. Discover now