1. Hari Senin

32 3 2
                                    

Pertemuan adalah awal dari perpisahan. Dan perpisahan adalah awal dari pertemuan yang baru. Seseorang datang tak selamanya tinggal. Ada yang sekedar singgah, ada pula yang sekedar menetap hingga kita sendiri yang memilih pergi. Hidup senantiasa beputar sebagaimana mestinya. Yang selalu menjadi pasti adalah setiap satu kehidupan berhenti maka akan ada kehidupan lain yang baru dimulai.

-Johnny-

***

Johnny

Pagi yang dingin di hari senin. Dinding kaca di luar masih berembun meskipun tipis. Memburamkan pandanganku melihat kehidupan di luar bangunan ini. Pusat kota yang senantiasa sibuk, hari ini pun masih sibuk seperti biasa. Terlebih karena ini adalah awal minggu, meskipun banyak yang merasa bosan, lelah, penat, dan masih ingin bergelung di tempat tidur kesayangannya. Mereka terpaksa memulai harinya untuk melanjutkan kehidupan.

Jam yang menggangtung di salah satu dinding kafe menunjukan pukul tujuh pagi. Biasanya kafe tidak akan terlalu sibuk pada jam ini. Terkadang hanya ada satu atau dua orang yang mampir. Itupun untuk menikmati sarapan ala kadarnya seperti roti bakar asin atau telur yang digoreng maupun di buat sup hangat. Atau jika mereka terburu-buru, ada kalanya mereka memesan kopi atau coklat panas untuk dibawa ke tempat kerjanya. Namun pagi ini, aku benar-benar tidak sibuk. Kafe masih sepi dan aku hanya sibuk bersama kopi dan juga Cherry.

Jangan salah sangka. Cherry yang kumaksud bukan buah dengan rasa manis dan berwarna merah yang bisa kita jumpai di pasar swalayan. Memang, keduanya sama-sama manis. Tapi Cherry yang kumaksud ini tidak berwarna merah. Dia cantik, dia ramah, dia bisa berjalan, dan bahkan tersenyum padaku.

Namanya Cherry Nadiva. Dia adalah sahabat selama tujuh tahun sekaligus rekan kerja selama kafe ini di buka. Cherry dan aku mengenal sejak aku tinggal di luar negeri untuk melanjutkan S2. Kami kenal secara tidak sengaja kemudian menjadi dekat dan bersahabat.

Cherry itu, bagaimana aku harus menggambarkannya?

Rambutnya sebahu dan selalu diikat rapi di belakang kepala. Poninya menyamping menutupi sebagian kening. Dia selalu mengenakan sapu tangan motif bunga yang diikat di leher. Pakaiannya tidak terlalu mengikuti mode. Kuncinya hanya sesuatu yang nyaman ia kenakan, berwarna tidak mencolok dan cenderung warna pastel, denim, atau hitam putih yang sangat dasar. Ia tidak suka menggunakan motif yang terlalu heboh dan banyak warna. Mungkin hanya bunga, itupun hanya beberapa. Seperti hari ini, ia hanya menganakan celana denim warna biru dan kemeja polos berwarna putih. Sepatunya juga tipe sepatu lari yang nyaman di kaki. Sebab ia tahu, pekerjaan menuntutnya bergerak dengan lebih bebas.

Kafe dengan nama "Hearing Café" ini merupakan usaha rintisan kami berdua. Kafe yang menjadi impian serta harapan bagi kami yang lelah akan harapan yang tak kunjung dapat terwujud. Tempat yang selalu kami yakini bahwa setiap sudutnya selalu memiliki cerita sendiri dan menjadi pendengar bagi cerita para pelanggan.

Hearing Café menjadi sebuah pijakan baru untukku dan Cherry. Kami berdua tidak berasal dari dunia bisnis yang mumpuni untuk menjalankan sebuah usaha seperti ini. Aku yang awalnya sangat pesimis terhadap kemampuanku meracik kopi, terpaksa pergi ke negara lain untuk kembali mempertajam dan mengasah kemampuanku dalam meracik kopi. Mendapatkan lisensi resmi sebagai seorang barista dan akhirnya kuberanikan diri untuk mewujudkan salah satu mimpi lain yang tak hampir terlupakan, yaitu menjadi seorang barista profesional.

Aku ingat betul, papaku terutama. Dia sangat berharap anaknya yang tumbuh besar di lingkungan akademis dapat mengikuti jejak langkahnya menjadi seorang dosen. Aku pun dulu tidak memiliki tujuan lain selain mengikuti jalan yang papaku sudah buatkan untukku. Kuliah hingga sarjana di salah satu Universitas bergengsi di Indonesia, lanjut S2 di London, dan lulus dengan predikat yang cukup membanggakan. Dan setelahnya tawaran-tawaran mengajar itu mulai berdatangan.

Hearing CafeWhere stories live. Discover now