Wakasa sendiri memperhatikan gadis remaja dengan surai sepunggung berwarna merah tua gelap itu. Rasanya Wakasa pernah melihatnya.

"Kamu ingat aku? Aku Narumi, teman (Name)." Narumi buka suara.

"Oh iya, aku ingat." Wakasa mengangguk.

"Jadi, kutebak kamu pasti mencari (Name) kan?" Tanya Narumi.

Wakasa mengangguk membenarkan.

"Hari ini (Name) tidak masuk. Ini pertama kalinya dia bolos sekolah." Ucap Narumi. "Aku sudah coba menghubunginya, namun pesanku tidak dibaca sama sekali."

"Begitu ya." Gumam Wakasa. Bukan hanya mengabaikan pesannya, (Name) juga mengabaikan pesan sahabatnya.

Ada apa dengan gadis itu?

"Apa kamu tau dia kira kira dimana?" Tanya Wakasa.

"Entahlah. Mungkin Akeno-san akan tau." Jawab Narumi. "Kalau begitu aku permisi dulu."

Wakasa mengangguk.

Ia memilih beranjak meninggalkan sekolah (Name) dengan motornya. Dimana gadis itu sebenarnya? Wakasa mengkhawatirkannya.

Wakasa berkeliling tanpa arah. Tanpa sadar langit sudah gelap. Malam sudah datang.

Wakasa berhenti mendadak melihat sosok Akeno yang memasuki sebuah toko ponsel. Buru buru Wakasa memarkirkan motornya dan menghampiri Akeno.

"Akeno-san!" Panggil Wakasa.

Akeno menoleh dan tersenyum, "Ah, Wakasa-kun. Kebetulan sekali kita bertemu di sini."

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Tanya Wakasa heran.

"Membelikan ponsel baru untuk (Name). Dia bilang bahwa ponselnya terjatuh dan hancur." Cerita Akeno. "Mau ikut memilihkannya?"

"Ah, tentu." Balas Wakasa. Ia rasa ini kesempatannya untuk bercerita dengan Akeno juga.

"Kemarin aku menyatakan perasaanku pada (Name)." Wakasa buka suara.

"Wow, bagaimana hasilnya?" Tanya Akeno.

Wakasa tersenyum kecut, "Dia menolakku."

"Hmm, itu aneh." Gumam Akeno sembari memperhatikan dua ponsel keluaran terbaru.

"(Name) bertingkah murung sejak semalam. Apa jangan jangan itu karena dia menolakmu ya?" Tanya Akeno.

"Huh?" Wakasa memasang wajah bingung.

"(Name) bukan pertama kalinya menolak pria yang menyatakan perasaan padanya. Dia selalu bercerita padaku setiap ada yang menyatakan perasaan padanya."

"Lagi lagi denganmu dia berbeda. Dia tidak bercerita apa apa, bahkan dia terlihat murung dan seperti membawa beban yang berat." Lanjut Akeno.

"Bagaimana kalau kamu ikut aku pulang ke rumah? Kita temui dia. (Name) pasti sudah pulang dari sekolahnya." Akeno tersenyum lebar.

"Akeno-san, kamu tidak tau kalau hari ini (Name) tidak masuk sekolah?" Tanya Wakasa.

"Huh!?"

"Aku tadi menghampiri ke sekolahnya, dan dia tidak ada di sekolah. Temannya bilang (Name) bolos." Ucap Wakasa.

Akeno mengernyit, tiba tiba ia merasa punya firasat buruk.

Buru buru Akeno membayar ponsel pilihannya.

"Wakasa-kun, ayo kita periksa rumahku. Semoga (Name) ada di sana." Ucap Akeno.

Wakasa hanya mengangguk. Melihat wajah khawatir Akeno, ia jadi ikut khawatir.

Sesampainya di rumah, Akeno buru buru memeriksa seluruh penjuru rumah. Dan kosong, (Name) tidak ada di dalamnya.

"Wakasa-kun." Akeno mencengkram lengan Wakasa. "(Name) tidak ada."
.........

(Name) menghabiskan seharian penuh di depan makam Yuki. Ada di sana, sembari menceritakan banyak hal pada Yuki membuat (Name) merasa tenang.

Langit senja sudah muncul dan perut (Name) berbunyi pertanda ia lapar.

"Aku akan membeli makanan dulu." Gumam (Name). "Mungkin aku akan membeli makanan di tempat yang dulu sering kita kunjungi, onee-chan."

"Tunggu, aku pasti akan kesini lagi."

(Name) beranjak pergi meninggalkan pemakaman umum itu dan berjalan menuju salah satu kedai yang menjual aneka bento. Dulu Yuki sering mengajaknya ke sana.

(Name) memesan dua porsi bento spesial yang selalu menjadi menu kesukaan mereka. Ia juga membeli dua botol minuman dingin.

"Aku akan makan di makam Yuki onee-chan, lalu mungkin aku pulang. Bisa gawat kalau aku sampai membuat Aniki khawatir." Gumam (Name).

Ia berjalan kembali menuju makam Yuki sembari bersenandung pelan. Namun langkahnya berhenti melihat sosok yang berdiri di depan makam Yuki.

Sosok itu berjongkok dan meletakan sebuket bunga matahari di makam Yuki.

Raut wajah (Name) berubah suram. Dua bungkus bento di tangannya sudah jatuh. Ia masih sangat ingat.

Pria itu adalah mantan kekasih Yuki, lebih tepatnya pria yang telay mencampakkan Yuki.

(Name) melirik botol kaca di genggaman tangannya dan soaok itu secara bergantian. Tubuhnya seperti bergerak sendiri untuk semakin mendekat.

Benar, dia harus merasakan apa yang Yuki rasakan sampai gadis itu memilih mati. Setelah satu tahun akhirnya (Name) menemukan dia.

Genggaman tangannya pada botol kaca itu semakin kuat. (Name) mengangkatnya, siap menghantam botol kaca itu pada kepala sosok itu.

"Matilah." Gumam (Name) dengan suara lirih.

Wakasa's Mine (Wakasa x Reader)Where stories live. Discover now