Sepuluh Tahun

9 1 0
                                    

° ° °

Terimakasih kepada Rendy Pandugo - Far yang telah menginspirasi saya untuk membuat cerita ini.

.
.
.
.

Hubungan sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk benar-benar mengenal satu sama lain. Aku, Gentara, mengenal sosok Mentari sejak kami duduk dibangku SMA. Hal pertama yang membuat aku terpanah pada Mentari adalah ketika ia menari di gedung aula sekolah sendirian diiringi lantunan musik gamelan Jawa. Tubuhnya dengan gemulai mengikuti lantunan musik gamelan, bergerak bagai angin yang sejuk seperti tanpa mau berhenti menghembuskan udara.

Aku ingat pula saat itu ketika aku memutuskan untuk menyatakan cintaku padanya. Ia diam terpaku ditengah semua murid menatap kearah kami sambil berteriak 'Terima.. Terima...' membuat pipinya yang bulat memerah seketika. Iya, karna aku menembaknya tepat di lapangan basket yang biasa aku dan gengku gunakan untuk main basket sampai lupa waktu atau isi waktu kosong kalau guru tidak hadir dijam pelajaran. Untung saja saat itu diterima, kalau tidak mungkin sudah malu setengah mati.

Mentari, seperti namanya ia memiliki mata cokelat yang terang, tak seperti orang-orang kebanyakan yang memiliki mata hitam pekat atau cokelat tua. Kulitnya kuning langsat cerah, serta rambut panjangnya yang hitam legam. Ia dengan sabar selalu mengingatkanku, "Jangan lupa ke Gereja." Ujarnya setiap hari Minggu.

Maklum, aku tak ingin menampik fakta bahwa aku memang bukanlah manusia yang taat, kadang suka bolong ibadah. Namun karna Mentari pula setiap kali aku terbangun dari tidur, aku selalu berharap ada keajaiban yang Tuhan berikan padaku.

Sepuluh tahun bukanlah waktu yang mudah untuk kami lewati bersama. Asam manis kehidupan bersama kami lewati, berjuang satu sama lain, dan memperkuat hubungan kami agar tidak mudah goyah. Sepuluh tahun sudah kami merangkai mimpi, ekspektasi tinggi soal hubungan serius sampai ke jenjang pernikahan menjadi sebuah gambaran atas masa depan kami.

Cemburu soal pasangan yang memiliki hubungan dengan orang lain adalah hal biasa, kami punya cara tersendiri untuk bisa tetap percaya satu sama lain, yaitu ingat akan mimpi kami bersama.

Tepat ditanggal sepuluh bulan sepuluh ini aku datang ke Bandung. Ya, tanggal yang indah untuk sepuluh tahun anniversary kami. Tiga tahun lalu Mentari dan keluarganya pindah ke Bandung, Mentari berkata alasannya pindah karna ayahnya dinas di kota kembang tersebut untuk menjadi kepala cabang bank baru disana. Cukup logis walaupun aku tau pasti ada banyak alasan lain kenapa ia harus pindah.

Tiga tahun menjalani LDR bukanlah hal mudah, ditambah setahun sudah Indonesia dilibas virus Covad-Covid tidak jelas ini semakin memberikan jarak dan waktu antara kami berdua. Tahun pertama LDR kami saling janji untuk berkunjung bergantian setiap dua bulan sekali Jakarta-Bandung, pertama aku, lalu dia. Namun semakin sulit ditahun kedua LDR ketika PSBB dimana-mana, karantina mandiri semakin digencar-gencarkan, dan semua pekerjaanku pindah kerumah atau yang biasa sebut Work From Home.

Memasuki tahun ketiga LDR ini semua mulai dilonggarkan, akhirnya aku bisa bernapas lega, aku bisa mendatanginya kembali. Seperti biasa aku membawakan bunga tulip kesukaannya, tapi bukan bunga tulip merah yang kubawa kali ini. Mentari tak seperti namanya yang seharusnya menyukai bunga matahari, ia sangat suka bunga tulip. Bunga tulip mengingatkan Mentari pada impiannya untuk bisa ke Belanda, berada di tengah hamparan kebun bunga tulip indah disana yang menjadi mimpinya sejak lama, bahkan sebelum mimpi soal pernikahan menjadi tujuan utama kami untuk tetap bersama.

Dan disinilah kami sekarang, sehabis makan malam di daerah Braga dan menghabiskan waktu bersama seharian merayakan anniversary kami, aku dalam perjalanan mengantarkannya pulang kerumah dengan mobil Honda CRV berwarna silver yang kubeli second disebuah aplikasi jual-beli mobil online, meski second aku cukup bangga membelinya secara cash tanpa menyicil sepeser pun. Itu saran Mentari sebagai anak finance, dia selalu tau cara mengontrol diriku agar tidak boros karna tau masih bujangan.

Sepuluh TahunWhere stories live. Discover now