~Geramnya Gavino~

90 8 0
                                    

Pukul 00.12

Boy kini tengah bermain gitar di dalam kamar Gavino. Malam ini Gavino pulang telat karena pekerjaannya masih menumpuk. Pikirannya terus terbayang oleh Cavilla bersama Tevan tadi.

Ting!

Suara notifikasi itu membuat Boy menghentikan kegiatannya dan mengambil handphonenya yang tergeletak di sampingnya. Ia tersenyum miris. Ternyata sebuah pesan dari Cavilla.

Villaa
Boy

Boy
Yes?
Gue tau semua dan ...
Gue gakpapa

Villaa
I love u my boy
Gue bener-bener minta maaf

Boy
Too, my girl
Cepat tidur!

Read

Bohong. Satu kata yang menggambarkan Boy saat ini. Dirinya berbohong jika ia tidak apa-apa, padahal hatinya merasa sakit saat melihat itu.

Tevan layak untuk Cavilla, tapi Boy juga tidak bisa memaksa Cavilla untuk terus bersamanya. Ia tidak boleh egois, walau hatinya harus merasa sakit dan hancur berkeping-keping.

"Apa gue harus lepasin dia?" gumamnya.

Boy mengklik ikon galeri, lalu menatap foto dirinya bersama Cavilla yang sedang tertawa. Foto itu diambil oleh Gavino yang memfoto mereka secara diam-diam untuk dijadikan sebagai kenang-kenagan.

"Tapi, siapa Liana?"

***

Pagi-pagi sekali Boy sudah berada di luar dari rumah Gavino. Ia membawa koper dan berpakaian rapi hari ini. Lelaki itu sedang menunggu taxi yang ia pesan untuk mengantarnya.

"Mau ke mana lo?" tanya Gavino yang menatap Boy dari bawah hingga atas serta bawaannya.

"Mau pulang?"

"Iya, gue titip salam buat Cavilla. Kalo ada apa-apa hubungi gue secepatnya," jawab Boy.

Gavino terdiam. Paham dengan keadaan temannya itu, Gavino memeluk Boy erat. Mereka sesama laki-laki dan memahami satu sama lain.

"Lakuin apa pun yang menurut lo baik buat Cavilla," bisik Gavino, lalu melepaskan pelukannya.

Boy hanya tersenyum dan tak lama taxi yang Boy pesan datang. Mereka akhirnya berpisah untuk sementara waktu. Dipisahkan oleh jarak dan waktu kembali akhirnya.

Selepas taxi yang Boy tumpangi pergi dan menjauh. Gavino melihat seorang perempuan yang pernah ia lihat sebelumnya di mall waktu itu, instingnya menyuruh Gavino untuk mengikuti perempuan tersebut secara diam-diam.

Gavino berjalan secara perlahan-lahan dan sesekali bersembunyi karena perempuan tersebut menoleh ke arah belakang.

Tidak jauh dari pandangannya perempuan tersebut bertemu dengan seorang lelaki yang tak lain adalah Tevan. Kekasih Cavilla.

"Tevan bodoh!" umpat Gavino.

Gavino meremas bajunya karena geram dengan apa yang ia lihat saat ini. Tevan berpelukan dengan perempuan itu. Jika Cavilla melihat ini sudah pasti Cavilla akan merasa sakit hati, dia yang hanya sebatas teman dan mantan Cavilla saja merasa sakit sekali.

Gavino membalikkan badannya dan berlari pergi. Ia kesal, geram, marah melihat semua itu.

"Cavilla jangan tau dulu," gumamnya.

***

Cavilla sedang membantu ibunda memasak di dapur. Sesekali mereka bercanda tawa dan membicarakan hal-hal yang tidak ada manfaatnya, namun dapat menghibur mereka.

"Ibunda, Villa mau ke kamar sebentar ya," pamit Cavilla dan diangguki oleh Ibunda.

Dengan cepat Cavilla melangkah pergi menuju kamarnya. Entah mengapa firasat merasa tidak baik sekarang dan menjadi memikirkan kedua lelaki yang tak lain adalah Tevan dan Boy. Rasanya ingin sekali ia menelepon kedua lelaki itu.

Sesampainya di kamar, Cavilla meraih handphonenya dan mencoba menelepon Tevan.

"Halo, Villa?"

"Tevan, lagi sibuk hari ini?" tanya Cavilla.

"Ah, aku ada di jalan mau ke rumah sakit,"

"Oh, okey. Hati-hati,"

"Siapa Tevan?"

Deg!

Terdengar suara perempuan. Cavilla semakin merasa ada sesuatu yang tidak mengenakan. Dengan cepat sambungan teleponnya ia putuskan secara sepihak.

Helaaan napas Cavilla terlihat begitu berat. Kemudian ia beralih untuk menelepon Boy. Berkali-kali ia menelepon tetapi tidak kunjung diangkat, bahkan tidak aktif.

"Boy, tumben banget enggak angkat teleponnya?" bingung Cavilla. "Coba telepon Gavino aja kali ya,"

Cavilla langsung menghubungi Gavino karena penasaran dengan Boy yang nomornya tidak aktif.

"Boy nitip salam buat lo, dia pulang," ucap Gavino di sebrang sana.

Setelah itu sambungan terputus. Seketika hati Cavilla merasa tak enak dan bersalah kepada Boy yang sepertinya pulang karena dirinya.

Boy♡

Boy
Kenapa enggak bilang kalo pulang?

Boy, maafin aku

Kalo udah sampe jangan lupa call Cavilla ya!

Terkirim

***

Lantas: Squel Aku Benci Orang Ketiga [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang