-Boy-

97 7 0
                                    

Cavilla gelagapan mendengar pernyataan dari kedua orang tua Gavino. Wajahnya memucat secara tiba-tiba mendengar hal itu.

"Em, Mah ... ja-jangan marahin Gavino," lirih Cavilla.

Mamah dan Papah Gavino hanya mengela napas karena merasa sedih mengetahui tentang kejadian saat mereka masih menginjak masa SMA. Mereka cukup kecewa atas sikap Gavino yang sangat mengecewakan.

Arunika hanya diam tak mau ikut campur karena ia juga kesal dengan kakaknya itu yang bisa-bisa selingkuhdan membuat hubungannya dengan Cavilla kandas begitu saja.

"Kami enggak akan marahin dia cuma ngasih sedikit siraman kalbu aja," ujar Papahnya diakhiri kekehan kecil.

Cavilla mendekat ke arah Gavino, lalu membantunya untuk berdiri kembali. "Lagi pula Cavilla udah enggak marah, kita baik-baik aja sekarang dan lebih baik malah."

Cavilla berkata seperti itu karena memang itulah kebenarannya. Gavino tersenyum tipis mendengar ucapan Cavilla yang benar-benar membuatnya menyesal di masa lalu itu dan berandai-andai jika bisa memutar waktu kembali, mungkin semua tidak akan seperti ini.

Mamah beranjak dari kursi dan beralih memeluk Cavilla yang begitu baik hatinya. Cavilla satu-satunya wanita yang mampu membuat hati kedua orang Gavino terketuk menjadi lembut.

"Mamah tau itu dari mana?" tanya Cavilla tiba-tiba karena penasaran.

"Ohh itu ... dariii ...."

"Dari siap--- eh, Mah kita bahas itu nanti sekarang ada yang urgent. Gavinonya sama Villa pinjem dulu ya! Permisi semua!"

Cavilla dengan cepat menarik baju Gavino dan membawanya keluar dari rumah itu meninggalkan kedua orang tua Gavino dan Arunika yang ada di sana.

Gavino melirik sepeda milik Cavilla yang berada di luar rumahnya--tegeletak begitu saja. "Lo ke sini pake itu?" Tunjuk Gavino dan Cavilla hanya mengangguk kecil.

Sungguh Gavino terkejut. Luar biasa sekali baginya seorang Cavilla menaiki sepeda dari rumah sampai ke tempatnya, padahal Cavilla cenderung orang yang sangat malas gerak.

"Dia, besok ke sini!" panik Cavilla.

Gavino terdiam sejenak dan berpikir. Dia? Dia siapa? Itulah yang Gavino pikirakan sekarang. Cavilla sadar Gavino sedar berpikir sekarang.

"Siap---"

"Hai!" Sapa seorang lelaki blasteran.

Gavino dan Cavilla seketika menegang mendengar suara tersebut, terutama Cavilla yang wajahnya menjadi pucat sekarang seolah mempunyai rahasia tang tidak boleh diketahui. Lalu mereka menoleh ke arah sumber suara dan menatap orang tersebut.

"Villa, Vino, how are you?" Sapanya seraya menanyakan kabar.

Lelaki blasteran itu mendekat ke arah mereka dan merangkul seperti orang yang sudah dekat dan akrab dengan mereka berdua.

Cavilla mencoba untuk tersenyum kepada lelaki itu, sedangkan Gavino hanya bisa memejamkan matanya karena lelaki tersebut datang di waktu yang salah. Kemudian Gavino beralih menatap Cavilla karena sekarang dirinya paham siapa 'dia' yang dimaksud Cavilla.

"Ki-kita baik, Boy," jawab Cavilla gugup.

Lelaki tersebut bernama Boy Wallen Aragas yang lahir di Indonesia dan besar di Singapore. Mereka bertemu karena kebetulan Boy adalah teman Gavino yang ditemui lewat internet dan berakhir dengan hubungan sebagai teman walau sifat Boy dingin saat itu, tetapi terkadang sifat dingin tersebut masih sering kali muncul. Jika bisa jujur sebenarnya Gavino sangat senang ada Boy, tetapi ia juga malas karena Boy selalu dekat dengan Cavilla bahkan kini orang itu datang di waktu yang salah.

Lantas: Squel Aku Benci Orang Ketiga [ON GOING]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt