"Kenapa? Padahal kamar yang ayahku berikan cukup mewah, hampir mirip dengan kamarku," tanyaku.

Tiba-tiba lengan Der melingkari pinggang ku, memelukku dari belakang. Bulu kudukku bergetar merasakan nafas Der menyapu tengkukku ketika ia berbisik, "karena aku menyukai aromamu".

  Wajahku terasa panas, refleks aku sikut perutnya, hingga pemuda itu melepas pelukannya sembari meringis.

"Mesum", desisku, mendelik tajam.

   Tak peduli Der yang kesakitan, tubuhku beranjak ke arah kasur, lalu berbaring. Baru kusadari tubuhku sangat kelelahan hingga tulang tulang ku terasa akan copot.

"Pergilah, aku terlalu lelah untuk berdebat dengan mu", usirku, saat Der ikut membaringkan tubuhnya disampingku. "Apa kau tak berpikir untuk pulang? Kupikir kau sudah sehat, keluarga mu pasti cemas".

"Pulang? Aku tak punya tempat untuk kembali", suara datar Der membuat ku memiringkan tubuh ke arah nya, "lalu keluarga? Apa seorang ayah yang mengabaikan anak haram seperti itu bisa disebut sebagai keluarga?".

Der berdecih, mata tajam nya menatap kosong langit-langit kamar, "aku tahu, si tua Bangka itu kini sedang berdoa untuk kematian ku".

Tanganku mengulur, menyentuh pipi halus itu, ibu jariku mengusapnya dengan lembut, "kalau begitu, kembalilah kemari hingga kau menemukan tempat yang bisa dijadikan sebagai tujuan kembali".

Mata biru itu bergulir kearah ku, tatapan kami terkunci di satu titik, lalu hening.

"Pffftt... ,"Senyum Der terbentuk, "kau lucu sekali nona, tapi simpan saja simpatimu itu. Aku sudah terbiasa."

Kutarik kembali tanganku dengan kasar, kesal.  Diberi hati pun makhluk ini tetap menyebalkan!

"Kau ini manusia, luka tetaplah luka tak peduli kau terbiasa atau tidak, sakit itu pasti ada," cibirku sembari memunggungi Der, tak peduli lagi apa yang akan dilakukan pemuda itu.

Hening...

Detik demi detik berlalu menjadi menit dan menit beralih menjadi jam, entah sudah berapa lama mata ini terpejam, namun rasa kantuk tak kembali membuat ku menggeram kesal karena belum juga terbawa ke alam mimpi. Belum lagi rasa maluku yang belum hilang saat kejadian sial di ruang tidur sang Duke masih terngiang-ngiang dikepala ku.

Sial memang.

"Guru tak pernah membencimu," ucap Derrick tiba-tiba memecahkan keheningan, sekaligus pikiran ku yang  kusut,  "ia hanya tak bisa mengungkapkannya dengan benar karena masih terjebak rasa penyesalan."

"Jujur saja aku iri padamu, nona, kau memiliki keluarga yang bisa dibilang tak utuh namun mereka masih bisa dianggap keluarga, daripada aku dikelilingi orang yang tak layak disebut keluarga."

Aku masih membisu, tubuhku berbalik menghadap Derrick yang kembali menatap langit-langit kamarku.

Mata sebiru langit itu bergulir kearahku, tersenyum tipis, "jangan menatapku seperti itu, kau membuatku terlihat menyedihkan."

"Kau memang menyedihkan tuan Derrick," ucapku membuat pemuda disampingku mengangkat salah satu alisnya sebagai indikator jika ia menantikan kata-kataku selanjutnya.

Aku terkekeh, penuh nada ironi, "nyatanya itu lebih baik daripada kau terlihat kuat dari luar namun hancur didalam."

"Jadi sesekali terlihat menyedihkan itu penting."

Setelah itu tak ada lagi percakapan diantara kami, jadi kuputuskan untuk tidur, meninggalkan Derrick yang masih bergelut dengan pikiran nya.

"Mungkin kau benar, nona," desisnya, lalu bangkit dari tempat tidurku, menatapku yang sudah beranjak dari dunia nyata, sesaat senyum Derrick tersungging.

Jemarinya meraih helaian rambut ku, mencium aromanya sebentar, "mimpi indah," bisiknya sebelum pergi.

Entah ap yang kini dipikirkan pemuda itu, namun kakinya terus melangkah dengan satu tujuan...

Aleandro.

-
-
-

Heyyo welcome back to my story!

Gimana chap kali ini? Apa memuaskan?


Sorry klo rada aneh🙏

Jangan lupa vote, coment dan share yaaa!

Bye bye

Evil Sister In Novel BL(REVISI)Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα