21.Langit Merah Jambu

Začať od začiatku
                                    

Tepat ketika Lana berdiri didepan Jenderal, kedua netra mereka masing-masing saling bertemu, saling menatap satu sama lain, saling menyalurkan rindu satu sama lain tapi masing-masing bibir keduanya seakan membisu yang hanya mereka lakukan terus menatap satu sama lain seakan semua kerinduan telah tersampaikan lewat tatapan itu.

Hingga pada detik berikutnya sebuah tendangan kecil berhasil membuyarkan semua keheningan diantara keduanya.

Ddddukkk....

"Akkhh, Lan—" Jenderal ingin mengaduh kesakitan karena Lana tiba-tiba menendang kaki laki-laki itu tepat ditulang keringnya namun, ia urungkan karena gadis itu yang tiba-tiba memeluk dirinya.

Jenderal terdiam. Aroma vanilla yang dipake gadis itu menguar keindera penciuman Jenderal, lalu laki-laki itu membalas pelukan itu.

"Gue kira lo mati, sialan!" gumam Lana.

"Kok jahat?! Ngatain aku mati."

"Gue gak tau harus gimana Jen saat lo pergi tanpa kabar, gue harus cari lo dimana gue gak tau. Kalo lo mau ngehindar boleh, kalo lo mau akhirin semuanya boleh tapi tolong kasih tau gue jangan ngilang gitu aja!" kata Lana.

Jenderal terjingkat agak terkejut dengan perkataan pacarnya itu. "Kenapa ngomongnya gitu? Kenapa mikirnya gitu Lan?! Aku gak setega itu buat ninggalin kamu kalau pun iya maka aku harus ngelepasin kamu secara baik-baik."

"Aku takut Jen. Aku takut kamu capek sama aku!"

"Lan, gak ada yang perlu kamu takutin, aku sayang kamu, aku gak pernah capek ngejalanin hubungan sama kamu." kata Jenderal.

Lana sudah ingin menangis dada gadis itu terasa sesak dan ia sudah sangat merindukan laki-laki yang ada dipelukannya itu. "Kalo gitu jangan ngilang-ngilang lagi sampe gak ada kabar!"

"Lan, maaf."

"Aku gak butuh maaf kamu Jen!"

"Jadi kamu gak mau maafin aku?" tanya Jenderal. "Tuhan aja maha pemaaf loh,"

"Aku manusia bukan tuhan. Aku sulit memaafkan orang!" sela Lana cepat. "Lagian aku selalu inget kalimat 'daripada sebuah kata maaf aku lebih suka kamu berikan senyuman'. "

Terdengar suara tawa kecil dari bibir si laki-laki kemudian laki-laki itu semakin mengeratkan pelukannya dan menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher gadis itu."Kalimat itu punya aku, kamu boleh inget tapi kalimat itu cuma buat kamu."

"Gak adil itu namanya, Jen!"

"Karena aku selalu ingin liat senyum kamu jadi kalimat itu hanya buat kamu dan aku bakal tambahin satu kalimat lagi,"

"Apa?" tanya Lana.

"Kamu cantik saat menangis tapi kamu lebih cantik lagi saat tersenyum jadi daripada menangis aku lebih suka kamu tersenyum." kata Jenderal membuat senyum Lana terbit.

"Udah deh Jen aku lagi gak mau dengerin kamu ngegombal!"

"Aku gak gombal itu tulus aku ucapin dari hati aku!"

"Terserah!" kata Lana seraya melepas pelukannya lalu sejurus kemudian kembali mendaratkan satu tendangan ke kaki Jenderal tepat ditulang kering laki-laki itu, tapi tenang itu hanya sebuah tendangan pelan, pelan sekali tolong garis bawahin itu.

Dddukkk....

"Akkhh, kok ditendang lagi?!" Jenderal meringis meski gadis itu menendangnya pelan tapi tetap saja mengenai tulang keringnya dan itu cukup menyakitkan.

"Aku masih kesel sama kamu soalnya!"

"Kenapa masih kesel? Kan aku udah peluk kamu."

"Cuma karena kamu peluk terus rasa kesel aku berhari-hari sama kamu bakal hilang?" tanya Lana.

Jenderal mengangguk pelan. "Aku rasa iya atau pelukan doang kurang?" tanya Jenderal sambil tersenyum jahil.

Lana sudah ingin menyela. "Gak gitu juga—"

Namun, tau-tau Jenderal mengecup bibir gadis itu singkat membuat sang empunya praktis melotot sempurna.

"Jen?!"

Sipelaku nyegir kuda dan pasti dirinya sudah tau bahwa Lana pasti akan memarahinya meski sebenarnya Jenderal tau bahwa didalam hati paling dalam gadis itu sedang kesenangan sekarang. Jadi sebelum Lana marah Jenderal telah lebih dahulu mendudukin gadis itu diatas rerumputan tepat dibawah pohon tempat mengaumin mereka berdua.

"Gak usah bersuara. Duduk sini deh Lan!" perintah Jenderal.

"Lihat deh," Jenderal menunjuk bentangan langit luas berwarna merah jambu yang berada diufuk barat. "Langit petangnya cantik'kan?!" tanyanya.

Sementara gadis yang ditanya terlihat diam, netra beningnya menatap lurus kearah langit petang berwarna merah jambu itu, sangat cantik sekali.

"Kok aku malah dikacangin?!"

Lana menoleh sekilas sebelum akhirnya kembali memfokuskan netranya kearah langit. "Tadi kamu nyuruh aku diem yaudah aku diem!"

Jenderal tertawa kecil. "Ya enggak— ihh penurut banget sih pacar aku!" Jenderal gemas sendiri.

"Nurut sekarang ntar beberapa menit lagi bandel lagi kok, tenang aja." kata Lana membuat Jenderal menghela napas panjang kemudian gadis itu tertawa. "Bercanda. Tapi langitnya bener-bener bagus deh tapi sayang,"

"Tapi sayang, kenapa?"

"Cuma sesaat nanti malah berganti sama gelapnya langit sang malam."kata Lana.

Jenderal menyandarkan punggungnya kebatang pohon. "Walaupun cuma sesaat tapi besoknya dia selalu janji bakal kembali."

Lana menoleh pada Jenderal. "Apa bener?" Jenderal mengangguk pelan. "Kalo sang Senja aja bisa berjanji buat kembali esok petang maka aku bisa minta kamu buat berjanji juga sama aku Jen?" tanyanya.

"Kalo itu adalah sebuah janji yang bisa aku sanggupin maka aku gak akan pernah mengingkari janji itu, jadi janji apa itu Lan?" tanya Jenderal.

"Janji jangan pergi tiba-tiba dan janji untuk selalu kembali."

Jenderal terdiam, ia menatap dalam kedua pendar mata milik sang kekasih lalu detik berikutnya berujar. "Iya Lan aku janji," katanya.

Namun, ada sambungan dalam kalimat yang dikatakan oleh Jenderal tapi laki-laki itu lebih memilih untuk mengatakannya dalam hati.

"Iya aku janji akan selalu kembali tapi aku gak bisa berjanji bakal akan menetap lama disisi kamu."














Bersambung...

Jenderal Dan Semesta [✔]Where stories live. Discover now