Empat

51 9 0
                                    

Jingga bersidekap di depan dada dan menatap Angkasa dengan tidak minat. Ia akhirnya memberikan kesempatan untuk Angkasa mengatakan apa yang ingin dikatakan pada Jingga setelah Pak Adimas memberikan kode untuknya bersikap baik.

"Yasudah, ngomong aja sekarang."

Angkasa menggigit bibirnya. Ia enggan untuk mengatakan terkait penawaran gilanya itu pada Jingga dihadapan Pak Adimas. Apalagi Pak Adimas masih saja setia menemani Angkasa yang tegang.

"Harus banget disini? Apa nggak bisa di tempat lain?" Angkasa skeptis.

Jingga memutar bola matanya dan mendesah pelan setelahnya. "Kalo gamau ngomong disini, yasudah. Tapi maaf banget nih ya?! gue nggak mau buang waktu gue cuma sekedar buat basa basi sama lo. Kalo gitu, gue permisi!"

"Tapi, jingga..."

Jingga berbalik lalu tanpa perduli dengan respon Angkasa, ia melenggang begitu saja meninggalkan tempat. Sedangkan Angkasa yang nyalinya sudah menciut hanya bisa mematung disana. Untuk pertama kalinya ia diabaikan begitu saja.

Pak Adimas yang menonton itu hanya bisa terkekeh, "Jingga memang begitu. Dia emang sinting, acuh tak acuh dan cuek sekali. Tapi hatinya baik kok, cuman ya buat orang-orang tertentu saja."

Angkasa menatap Pak Adimas yang kini merangkul bahunya.

"Saya saja masih sering dicuekin sama dia, apalagi kamu yang pertama kali interaksi sama perempuan jadi-jadian itu. Jadi, pesan saya kamu jangan masukin ke hati ya. Yang ada kesel sendiri. Dia mah mana perduli," tambah Pak Adimas.

Angkasa mengangguk canggung, "Iya, Pak."

"Oh iya, kalo boleh saya tau kamu ada urusan apa sama Jingga?" tanya Pak Adimas.

"I-Itu saya..." Angkasa nampak bimbang untuk menjawab pertanyaan dosennya itu. Mana mungkin ia bisa jujur kalo Angkasa mau menawarkan Jingga sebagai pacar palsunya demi menjauhkannya dari Joya.

Pak Adimas menatap Angkasa dengan tatapan menyelidik. "Kalo dilihat dari gelagat, kamu tertarik sama adik saya ya? saya perhatikan sedari rapat tadi kamu lirik-lirik Jingga."

Tebakan Pak Adimas kontan membuat Angkasa semakin tergugu. Ia merutuki dirinya dalam hati karena kedapatan Pak Adimas melirik pada Jingga tadi.

"Nggak usah gugup gitu. Saya tau diumuran kalian kan lagi masa-masanya jatuh cinta dan kasmaran," ucap Pak Adimas.

Angkasa menggeleng, "Nggak kok, Pak. Saya cuma mau ngomongin sesuatu aja sama Jingga."

"Obrolannya formal atau non formal nih?" goda Pak Adimas.

Angkasa menyengir, "Non formal sih, Pak."

Pak Adimas tertawa meledek, "Mau kontaknya Jingga, nggak? Mumpung saya tawarin nih."

"E-eh,"

"Hah, heh, hah, heh aja kamu. Mau kontaknya Jingga nggak? Setahu saya Jingga susah kalo dimintai kontak," tawar Pak Adimas.

"Emang boleh, Pak?"

Pak Adimas mengangguk, "Bolehlah."

"Memangnya nggak masalah, Pak? Maksud saya kali aja dia marah karena kontaknya ke sebar gitu," Angkasa memastikan.

"Nggak bakal marah. Tenang aja,"

"Tapi?"

"Mau nggak? Ditawarin jalan cepat malah ngambang,"

"Saya nggak yakin."

"Kalau begitu nggak usah." Pak Adimas hendak berbalik namun Angkasa menahannya.

ANJING (Angkasa dan Jingga) || SEVENTEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang