Dua

70 14 1
                                    

"Jingga,"

Sapaan Pak Adimas yang baru saja kembali dari mengajarnya itu membuat Jingga mengangguk kecil untuk membalas sapaan dari laki-laki dua puluhan akhir itu.

"Abis ketemu sama Pak Surya, ya?" tanya Pak Adimas berbasa basi.

Sebenarnya Pak Adimas sudah tahu bahwa Jingga memang baru saja selesai melakukan pertemuan empat mata dengan Pak Surya—rekan sekaligus dosen pembimbingnya Jingga.

"Iya, Pak. Abis konsultasi tadi," jawab Jingga.

Bohong. Mahasiswi angkatan muda itu sedang berbohong pada Pak Adimas. Karena setahu Pak Adimas, Jingga sedang terlibat masalah dan tidak mungkin ia begitu saja di minta melakukan pertemuan tidak terjadwal tanpa alasan. Jingga pasti sedang diberi nasehat atau lebih parahnya dimarahi habis-habisan.

Pak Adimas memandangi wajah Jingga yang nampak kusut. Di kulit putih wajahnya juga terlihat ada goresan tipis merah. Jingga terluka.

"Oh iya, kamu habis inin ada kelas lagi kah?" tanya Pak Adimas.

Jingga menggeleng, "Kebetulan hari ini mata kuliah saya udah rampung semua. Memangnya ada apa, Pak?"

"Itu, saya mau ngajakin kamu coffe break sekaligus ngobrol. Anggap aja ngajakin kamu nostalgia kayak dulu. Itupun kalo kamu berkenan," ajak Pak Adimas.

Jingga nampak menimbang tawaran Pak Adimas. Kalau diingat lagi, Jingga memang sudah jarang sekali berkomunikasi dengan dosen mata kuliah Kardiovaskulernya itu.

"Boleh, Pak. Tapi bapak yang bayar ya?"

Pak Adimas tertawa kecil dengan tengilnya Jingga yang tidak tahu malu meminta traktiran padanya yang notaben adalah dosennya di kampus.

"Boleh tapi nggak melebihi seribu rupiah ya,"

"Seribu mana cukup buat bayar kopi. Permen aja seribu cuma dapat 4 biji. Nggak kayak dulu yang masih dapet 10 biji," mendengar penuturan Jingga, Pak Adimas lagi-lagi tertawa.

"Yaudah. Saya yang bayar. Kamu cukup temenin saya ngobrol aja," Jingga hanya manggut-manggut saja mengikuti tawaran Pak Adimas.

"Kayaknya mending di kantin belakang aja kali ya? Soalnya jam segini lumayan agak sepi. Nggak kayak kantin depan,"

Jingga hanya bisa menurut dan mengekor lelaki itu. Mereka sempat mengobrol beberapa hal di sepanjang perjalanan menuju kantin belakang fakultas. Sesuai dengan janjinya, Pak Adimas mengabulkan permintaan traktiran dari Jingga.

"Kamu nggak apa-apa nih kalo ngobrol sama saya?" tanya Pak Adimas pada Jingga yang sedang membersihkan meja kantin yang basah bekas pengunjung sebelumnya dengan tisu.

"Nggak papa kok, Pak. Memangnya ada apaan dah?" jawab Jingga yang masih sibuk dengan kegiatan bebersihnya.

"Kali aja kamu ngerasa nggak nyaman mengingat kita udah jarang komunikasian. Apalagi saat ini kita jadi bahan tontonan mahasiswa disini," kata Pak Adimas.

Jingga mengendikan bahunya sembari menepikan bekas tisu yang digunakanya, "Kayak apaan aja sih, Pak. Biasa aja kali. Kecuali bapak sendiri yang ngerasa nggak nyaman sama tatapan mereka,"

"Saya sih nyaman-nyaman saja. Takutnya kamu merasa nggak nyaman karena mungkin saja nanti akan muncul gossip kalo kamu ada hubungan gelap sama saya,"

Jingga terkekeh mendengar penuturan Pak Adimas, "ya itu sih hak mereka mau bergosip seperti apa. Selagi itu gossip tidak benar kenapa harus dipikirin,"

Pak Adimas tersenyum, "kalo kayak gini, kamu betulan mirip dengan Sekala ya? sama-sama nggak perduli dengan pandangan orang sekitar. Kalian hanya perduli diri sendiri,"

ANJING (Angkasa dan Jingga) || SEVENTEENWhere stories live. Discover now