Bab I

279 1 0
                                    

BAB 1 :

Victoria menyibak selimut tebalnya, lalu melemparnya kelantai. Ia merenggangkan tubuhnya, lalu bangun dari kasur berukuran besarnya itu. Ia menutup mulutnya, menguap. Sudah jam berapa ini? Jam tujuh pagi, mungkin? Ia segera melirik jam kecil berbentuk bulat yang ada di meja sebelah kasurnya. Ternyata sekarang jam setengah delapan pagi, tebakannya hampir benar bukan?

Tigapuluh menit kemudian, ia sudah rapi dengan dengan pakaiannya. Satu jam lagi kelasnya dimulai, jadi ia harus membuat sarapan dengan cepat. Ia melangkahkan kakinya perlahan kearah dapur, lalu membuat sepotong sandwich, dan meletakkannya diatas piring. Lalu membuka kulkas dan menuangkan susu cokelat kepada gelasnya. Yap! Sarapannya sudah tersaji. Sekarang ia tinggal duduk rapi sambil memakan sepotong sandwich, dan meminum segelas susu cokelat itu.

***

“Hey Victoria! Hampir saja kau telat! Jam berapa kau tidur malam ini?” tanya Mia, sahabatnya. Huft, yang benar saja? Sebenarnya Mia ini sahabatnya atau ibunya? Sampai menanyakan jam berapa Victoria tidur semalam.

“Aku tidur pukul satu malam, ibu.” Jawab Victoria dengan nada meledek, Mia mengerucutkan bibirnya, Victoria hanya tertawa kecil melihat wajah sahabatnya itu.

“Yak! Aku bukan ibumu! Seenaknya saja kau panggil aku ibumu.” Ucap Mia kesal, Victoria hanya mengangkat bahunya. “Sudah, jangan marah terus, kau mau aku panggil nenek? Ibu saja sudah cukup kan? Lebih baik kita langsung ke kelas, ayo!” jawab Victoria, lalu mereka bergegas ke kelas.

***

Kuliah hari ini sudah selesai, sungguh lelah. Walaupun lelah, ia tetap harus bekerja, di toko roti yang tak jauh dari apartemennya.  Ia bukan seorang gadis dari keluarga yang berkekurangan, ia tergolong dari keluarga kaya malah. Ia sengaja ingin pergi jauh dari keluarganya, karena ia tidak ma uterus disuruh seperti ini dan itu, ia tidak mau terus dikurung dirumah, ia tidak mau melanjutkan bisnis keluarganya, ia ingin berusaha sendiri, mencari uang sendiri, bukan dari perusahan ayahnya tentu saja. Ia hanya ingin berusaha meraih cita-citanya sebagai seorang ahli masak, hanya itu.

Tapi tentu saja orangtuanya tidak setuju, orangtuanya  -terutama ayahnya- ingin ia melanjutkan bisnis keluarga, Victoria sama sekali tidak tertarik, lagipula ia perempuan. Mengapa harus dia yang seorang perempuan? Mengapa tidak adik laki-lakinya saja? Entahlah, Victoria juga tidak tahu.

Ia merapatkan jaketnya, udara musim dingin kota New York begitu terasa menusuk dikulitnya. Ia tersenyum melihat pintu berwarna merah muda dengan lonceng kecil di depannya. Inilah tempatnya bekerja selama ini. Lumayan bukan untuk belajar membuat roti? Walaupun gajinya tak seberapa. Ia membuka pintu itu, lonceng kecilnya berbunyi, lalu ia masuk. Ia kembali tersenyum melihat siapa yang sedang mengacungkan tangan dimeja kasir, teman dekatnya selama bekerja disini, Tasha.

***

“Sepertinya kau sangat bahagia hari ini. Apa yang sudah terjadi?” tanya Tasha ingin tahu. Victoria hanya mendengus.

“Siapa bilang aku bahagia? Aku lelah, kau tahu?” ucap Victoria setengah melamun, lalu melepaskan jaketnya dan meletakannya diloker –di toko roti tempatnya bekerja memang disediakan loker untuk para pekerja guna meletakkan barang barang mereka- “Jadi, ada yang bisa kubantu?” tanya Victoria menawarkan diri.

“Sepertinya tidak, kau bantu saja orang-orang di dapur, mereka sepertinya sedikit kesusahan.” Jawab Tasha sambil terus melayani pelanggan. Victoria mengangguk lalu berjalan kearah dapur, melihat apakah dia bisa membantu. “Hey Victoria!” Rob menyapanya ketika ia baru masuk ke dapur.

“Hey! Ada yang bisa kubantu, Rob?” ucap Victoria sambil melihat roti-roti yang sedang dipanggang. Rob melirik kearah Victoria sekilas, lalu pandangannya terfokus kearah adonan yang sedang ia olah.

The BakeroveWhere stories live. Discover now