28. Anak Kucing

Mulai dari awal
                                    

"Ngerti, Pak." Sedikit, lanjut Dara dalam hati.

"Jangan buat mereka nyakitin lo, Dar," ujar Dimas lagi yang Dara balas dengan anggukan kepala. "Kalo pun ada, lo bilang sama gue. Biar gue piting kepalanya." Dimas mengungkapkan itu dengan gemas, membuat Dara tergelak keras di tempatnya.

Setidaknya, Dara merasa sedikit lega setelah mendengar kata-kata Dimas barusan. Ia berharga, setidaknya untuk Bapak—di kampung.

"Cintai diri lo sendiri sebelum elo mencintai orang lain."

"Kalo Bapak, udah mencintai diri sendiri."

"Oh, jelas dong." Bisa dibilang ia sangat amat mencintai dirinya sendiri, hampir setiap saat Dimas akan memuji dirinya sambil bergaya di depan kaca. Ugh, orang-orang harus tahu betapa tampannya Dimas saat baru selesai mandi. "Gak boleh ada orang yang melukai harga diri gue, Dar."

"Terus, mencintai orang lainnya udah?"

Yah ... diingatkan. Dimas sudah mencintai seseorang, tapi orang yang salah. Ck, sialan memang. "Skip! Pertanyaan lain aja lah."

Dara menyengir. "Ya udah, soal pekerjaan aja deh, Pak." Kalau soal pekerjaan Dara akan selalu semangat. "Nanti Dara langsung kerja apa di wawancara kerja dulu, Pak?"

"Em ...." Dimas berpikir sebentar. "Wawancara kali."

"Temen Bapak galak gak, Pak?"

"Galak kayak bulldog."

"Terus, nanti Dara dapet seragam, Pak?"

Duh, bawel sekali makhluk kecil di sebelahnya ini.

"Nggak tau gue," sahut Dimas mulai malas. "Coba hal-hal kayak gini nanti lo tanya Beni aja."

Dara mengangguk patuh. Rasanya senang sekali bisa mendapatkan pekerjaan, bibir mungilnya itu terus tersungging ke atas menampilkan deretan giginya yang tertata rapi. Akhirnya ia bisa mengirim uang lagi untuk Bapak di kampung. Bisa membantu Bapak melunasi hutang.

Cukup lama Dimas berkendara—karena nyatanya jalanan cukup macet di pagi hari—akhirnya mereka tiba di restoran Beni, usaha yang lelaki itu bangun dengan modal yang ayahnya berikan.

Dimas membawa Dara langsung ke ruangan Beni, dimana temannya itu juga baru saja tiba dan sedang membaca laporan penjualan.

"Waahhh, calon Papa baru kelihatan makin ganteng aja," sambut lelaki itu dengan tawa lebar.

Jelas Dimas tahu ocehan itu tidak lain adalah sebagai bentuk ledekan yang Beni berikan untuknya.

Selesai menyapa sahabatnya, pandangan Beni lantas beralih pada sosok mungil yang kini berdiri di balik tubuh Dimas.

"Nah ... yang ini pasti calon Mama barunya?"

Dara yang tak paham hanya tersenyum lebar seraya mengangguk. "Selamat pagi, Pak. Nama saya Dara."

"Eh, manis banget," kelakar Beni geli yang membuat Dimas mendengkus seraya mencibir jijik. "Gue Beni." Ia ulurkan tangannya ke arah Dara, yang hendak gadis itu sambut namun Dimas sentak menjauh. "Bangke!" ringis Beni kesakitan.

"Gak usah salaman, langsung ke intinya aja," Dimas bersungut dengan wajah galak.

Seketika berdecak dengan tampang kesal, Beni menatap Dimas tajam. "Lo emang bener-bener kurang pelepasan ya, Dim? Sewot mulu perasaan."

"Perasaan lo doang."

"Bawaan bayi tuh," cibirnya sambil melengos dan beralih pada Dara yang masih memasang wajah polos. "Umur lo berapa, Dar?" Beni penasaran sekali, karena tampang Dara masih sangat belia.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KALOPSIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang