Tawaran

93 37 97
                                    

Happy Reading:3

"Baaa!"

"Innalilahi!"ucapku serentak bersama mbak Aisyah.

Bagaimana tidak? Kedua Ya’juj dan Ma’juj nya Haji Samsul mengagetkan ku dengan memakai topeng. Yang satu topeng badut, yang satu topeng monyet. Inginku bawa saja mereka di perempatan lampu merah agar aku dapat uang.

"Istighfar dek. Bukan innalilahi kamu kira kita kena musibah apa,"kesal Ahmad Abullah—kakak laki-laki kedua ku. Sambil melepas topeng monyet nya lalu membenarkan rambut keriting nya.

"Tahu tuh,"sahut Ahmad Abdillah—kakak laki-laki pertamaku. Dia kembar seiras dengan Kak Abullah. Hanya saja yang membedakan rambut dan sifat. Jika kak Abullah keriting kak Abdillah terkesan lurus. Jika kak Abullah receh seperti mbak Aisyah, kak Abdillah terkesan dingin dan irit bicara.

"Makanya gak usah main ngaggetin. Kalau kita kaget, jantung lepas,organ rusak dan. Ah sudahlah. Kalian memang pantas disebut Ya’juj dan Ma’juj,"ucap mbak Aisyah sambil menetralkan jantungnya.

"Mulutmu minta dijahit?"tanya Mas Abdillah sambil menatap dingin mbak Aisyah.

"Jahit aja Di jahit. Adik yang satu ini kalau gak dikasih pelajaran gak kapok dia. Ngomong sekate-kate gak disaring. Emang mau kedua mas mu yang comel kayak Upin Ipin ini bertransisi jadi titisan nya Dajjal?"kompor Mas Abullah.

"Yah...yah gak gitu Mas. Maksut aku...,"ujar nya sambil menyenggol pelan bahuku bermaksud meminta bantuan untuk beralasan.

"Maksutnya Mbak Aisyah itu mas-mas yang ganteng ini pantesnya jadi yang dilampu merah sambil joget-joget gitu. Mana topengnya pas lagi,"sahutku sambil tertawa ringan.

Mbak Aisyah membelalakkan matanya. Sedangkan kedua kembar-kembar anak sholeh ini menatap geram mbak Aisyah.

"Bener Ais?"tanya geram Mas Abdillah yang dingin dan sedikit baper ini.

"Bener tuh mas. Sidang aja dah sidang,"komporku. "Ai pergi dulu ya. Kalian baik-baik!"lanjutku lalu melangkah pergi menghindari perang dunia kedua mungkin?

Aku berjalan menuruni tangga sambil berusaha menghentikan gelak tawaku. Tak tahu deh konsekuensi apa yang diterima mbak kesayangan ku itu.

Ketika sampai bawah, tepatnya diruang keluarga. Aku langsung duduk disamping Umi yang sedang asyik menonton dakwah di salah satu stasiun televisi. Sedangkan Abah sedang berkutak dengan laptopnya. Mungkin yang dikerjakan tak jauh dari kata bisnis.

"Dimana kakak-kakakmu Ai?"tanya Abah dengan mata yang masih fokus dengan laptopnya.

"Lagi ada kumpul Abah. Biasa acara kakak-kakak. Sebentar lagi juga kesini kok,"ucapku sambil mengambil satu biskuit yang telah disediakan Umi di meja untuk camilan.

"Itu bohongnya Ai doang mas. Bukan aku. Kan tadi mulutnya Ai yang ngomong!"teriak mbak Aisyah sambil berlari menuruni tangga menuju kearahku dan Umi.

"Gak usah menyalahkan orang lain kamu Ais!"teriak Mas Abullah.

"Umi. Umi. Anak cantikmu dalam incaran para buayanya Umi. Lindungi Ais,"ucap Mbak Aisyah sambil menarik-narik gamis syar'i Umi untuk menutupi nya dan meminta perlindungan.

"Nah lihat Umi. Siapa yang tak kesal coba. Dia yang mulai,"kesal Mas Abullah yang masih berusaha menarik mbak Aisyah agar dalam tahannanya.

Sedangkan mas Abdillah sudah duduk disamping Abah dengan sikap dinginnya. Sedangkan aku? Kembali dengan gelak tawa. Apalagi melihat Umi yang kewalahan menangani dua pasien yang sedang saling kejar-kejaran ini.

Bisakah Kembali? (END)Where stories live. Discover now