SATU

33.9K 437 4
                                    

Sashi menghembuskan napasnya berat. Dipandangnya rumah besar yang bersembunyi di balik tembok tinggi bercat putih bersih yang berjarak tidak jauh darinya dengan kerutan dalam dikeningnya.

"Apakah aku benar-benar harus kesana?" Tanyanya pada dirinya sendiri.

Hingga beberapa menit pertanyaan itu berlalu, Sashi masih bersiri diposisinya tadi sampai kemudian dia menghela napasnya berat.

"Iya, kamu memang harus kesana Sashi. Lebih baik bertemu sekali daripada harus bertemu setiap bulan." Katanya kemudian sebelum melangkahkan kakinya menyeberangi jalan yang tadi memisahkan dirinya dengan rumah papanya. Walau tidak ingin meakukannya, Sasi memang harus melakukannnya karena dia tau kalau dia melakukannya papanya akan melakukan sesuatu yang lebih merepotkan lagi sampai Sashi mau menurutinya.

Menekan bel di depan gerbang dengan ragu, Sashi berharap tidak ada yang mendengarnya. Atau kalau Sashi bisa berharap lebih, dia berharap tidak ada orang di rumah papanya sekarang. Jadi Sashi bisa menggunakannya sebagai alasan untuk tetap mendapatkan uang bulanannya, tanpa harus bertemu papanya. Kalau bukan karena mengingat biaya hidup bulanannya yang sangat besar dan tidak mungkin Sashi penuhi walau bekerja mati-matian, Sashi mungkin tidak akan kesini. Lebih baik rasanya buat Sashi kerja kesana-sini daripada harus bertemu papanya secara rutin. Membayangkannya saja sudah membuat Sashi mengalami sakit kepala dan ingin muntah. Apalagi harus bertemu di rumah ini, rumah yang menyimpan kenangan buruk untuknya.

"Non Sashi?!?"

Suara seseorang mengembalikan pikiran Sashi yang tadi hampir membawanya berkelana kekejadian beberapa tahun yang lalu.

Tersenyum, Sashi kemudian menyerahkan 3 kotak pizza pada pak Ujang, pria tua yang setaunya sudah bekerja di rumah ini bahkan sebelum dia lahir. "Ini pak, Sashi bawain pizza. Bagi-bagi sama yang lain ya." Katanya yang dibalas senyuman terimakasih dari tukang kebunnya tersebut.

Sashi tau apa yang dilakukannya membuat dia terlihat seperti tamu, tapi Sashi tidak peduli. Semenjak memutuskan meninggalkan rumah megah didepannya ini, Sashi sudah tidak menganggap rumah masa kecilnya ini bagian dirinya lagi. Sashi memposisikan dirinya sebagai orang asing setiap kali berkunjung ke bangunan yang jadi saksi tumbuh kembangnya ini.

"Papa ada nggak pak?" Tanya Sashi begitu pak Ujang menutup sempurna gerbang rumahnya.

Pak Ujang terdiam sesaat, jelas terkejut karena Sashi pulang malah mencari papanya. Padahal semua orang ada di rumah ini tau bagaimana dia selalu berusaha mati-matian agar tidak perlu berhubungan dengan si tuan rumah. Bahkan di ulang tahun papanya, momen tahunan yang membuat Sashi wajib datang ke rumah ini karena perintah kakeknya, Sashi mempunyai banyak cara agar dia tidak perlu berintraksi banyak dengan papanya.

"Um tuan Luca ada di ruang kerja non. Kalau nona mau bertemu, langsung kesana saja." Kata pak Ujang kemudian setelah tersadar dari rasa terkejutnya.

Sashi mengangguk, kembali tersenyum sebelum kemudian masuk ketempat dimana pak Ujang tadi memberitahu posisi papanya. Mengabaikan kondisi dalam rumah yang ditaunya tidak berubah banyak sejak dia meninggalkannya, Sashi segera berjalan keruangan kerja papanya yang ada di lantai 2.

Tok...tok...tok.

Sashi mengetuk pintu besar didepannya.

"Masuk," suara rendah dan berat terdengar dari dalam sana.

Mata Sashi terpejam erat, dihembuskannya napasnya berat sebelum membuka pintu didepannya dan menghadapi papanya. "Om Rivan, nyuruh aku buat nemuin papa." Kata Sashi begitu dia masuk dan matanya bertemu tatap dengan papanya.

Papa Sashi tidak langsung menjawab, pria yang menghadirkannya ke dunia ini malah menatap beberapa saat sebelum kemudian mengeluarkan suaranya.

"Kamu apa kabar?" Papanya jelas tidak menanggapi kata-katanya.

PLEASE BE MY SUGAR ***** (REPOST)Where stories live. Discover now