Part 1

12 7 1
                                    

"Tidurlah. Tuhan lebih menyayangi kamu."

Di sudut ruang keluarga. Tari membenturkan tangannya ke dada, saat rongga itu terasa sesak . Tidak sekali, tapi berkali-kali hingga deru napas kembali normal. Hatinya kini berduka, buktinya adalah aroma hangat yang masih melekat pada sepotong baju. Dia memeluknya, walaupun tiada raga dalam benda tersebut.

Caca, putri bungsunya yang malang. Tidak disangka pergi tanpa pamit. Tari mencoba menahan nafsu, tapi hati tidak mungkin berdusta. Setiap saat dia mencoba tegar, tetap saja air mata terjatuh jua.

Padahal baru beberapa jam lalu mereka bercumbu kasih dan salah satu dari mereka kini telah tiada. Percuma saja bersumpah serapah, menggerutu kepada garis takdir. Berharap manusia bersifat kekal. Itu tidak mungkin!

"Caca!" Tari mengerang menyebut nama si kecil. Jiwanya memberontak kala rumus dunia menyatakan kebenarannya, bahwa selamat datang akan selalu bertemu dengan selamat tinggal.

"Ini bukan salahku! Tapi anak itu!" Aura Tari berubah drastis. Kini Nafsu amarah membutakan hatinya. Kebencian mulai menyusup, hingga hati tak bercahaya. Gelap.

"Bunda ...." Suara mungil itu memudarkan amarah Tari. Dia berbalik badan, kala menyadari seruan tersebut adalah Nata—putra sulungnya.

"Lapar," ucap Nata—dia membawa sebuah piring tiada isi, wajahnya sendu berharap Tari mengerti akan isyarat yang dia lakukan.

Nata—nama itu memudarkan amarahnya. Tari menoleh, menarik tuas bibirnya, walaupun jiwanya belum stabil, akan tetapi seorang ibu tetaplah wanita berhati lembut. "Nata ...," ucap Tari—gerak tubuhnya seakan menyuruh Nata untuk mendekat.

"Sekarang cuman ada Bunda, Nata, dan  Ayah. Mulai sekarang jadilah anak yang penurut. Mengerti?"

Nata mengangguk paham, walau tidak bisa berbohong. Dia masih terlalu canggung akan sikap Tari yang hari ini sering berubah-ubah.

"Pinter." Tari memberikan sebuah kecupan hangat pada dahi Nata. Dia sangat menyayangi putranya itu.

"Nata lapar kan? Ayo kita makan."

Nata bersenandung kecil di meja makan sembari menunggu ibunya datang kembali dari dapur. Walaupun umurnya masih sembilan tahun, akan tetapi dia cukup memahami kalau saja adiknya telah bersemayam di surga, lalu dia juga mengerti akan keadaan orang-orang di dalam rumahnya yang sedang berduka. Maka dari itu dia memilih untuk jadi anak penurut untuk beberapa hari ke depan.

"Masakan siap!" Tari menghidangkan masakannya kepada Nata. Dia terlihat lelah, bahkan celemek masih bertengger di badannya. "Ibu hanya bisa masak ini," ucap Tari—karena dia tahu, Nata merupakan anak yang manja.

"Terimakasih Bunda." Nata tersenyum. Dia memilih melahap santapan yang Tari suguhkan kepadanya. Padahal sejak dulu dia sangat tidak suka dengan telur ceplok dan akan protes minta digantikan dengan masakan lain.

"Nata anak Bunda yang hebat." Tari menghapus jejak memalukan yang keluar dari matanya, karena baginya sangat pantang menangis di depan anak sendiri.

"Dimana dia?" tanya Dafa pada istrinya—Tari—yang tiba-tiba saja sudah berada di ruang makan.

Tari tidak menggubris perkataan Dafa. Pandangannya masih ingin berlama-lama menatap Nata yang sedang antusias melahap makanan.

Dafa mengusap wajahnya kasar, matanya begitu merah seakan menahan amarah. "Atma di mana kamu!"

Atma yang mendengar seruan tersebut merinding ngeri. Dia tahu kalau nasib buruk sedang menghantuinya. Atma yang sedari tadi berdiam diri di balik celah pintu, mencoba melangkah keluar. Namun, seketika kakinya terasa kaku dan tidak bisa diajak kerjasama.

Panggil Aku Pembunuh!Where stories live. Discover now