Nadira berpikir sebentar. Dengan langkah kaki ragu dia menghampiri Erlan yang berada di sisi kiri. Dia tahu diri. Tidak mungkin memilih diboncengi Andra. Meski Khansa tidak akan mungkin lihat atau niat yang sekadar ingin mengantar sekaligus belajar di rumahnya, Nadira tetap tidak ingin hal itu menjadi kesalah pahaman. Apalagi ini di lingkungan sekolah. Nadira tidak mau dirinya di bilang aneh-aneh. Lebih baik dia cari aman.
“Gue sama Erlan aja.”
Andra mengangguk mengerti. Kemudian Nadira menoleh ke arah cowok jangkung yang sedang menaiki motor sambil menatap ke arahnya. Dengan canggung, Nadira tersenyum sungkan.
“Gue enggak papa nebeng lo, kan?”
“Enggak masalah. Nih, pakai.” Erlan memberikan helm yang ada di jok belakangnya kepada Nadira. Nadira menerima dan memakainya. Kemudian dia menaiki motor Erlan sambil memegangi bahu cowok itu demi menjaga keseimbangan tubuhnya.
Setelah itu mereka keluar dari area sekolah. Erlan di posisi depan dengan Nadira yang memberi pertunjuk arah rumahnya. Sementara Andra di belakang, mengambil jarak beberapa meter sambil mengikuti mereka.
***
SUDAH setengah jam Nadira mengajari Andra dan Erlan. Dia memilih duduk di sofa tengah bersama Erlan, sedangkan Andra duduk di sofa single.
“Gue udah paham beberapa materi yang tadi lo jelasin. Sekarang untuk latihan soal, gue harus kerjaiin yang mana?” Andra bertanya sambil menyandarkan tubuhnya di sofa. Tangannya memutar-mutar bolpoin hitam dengan mata menatap Nadira yang tampak melamun. Mata gadis itu menatap ke arah buku-buku di atas meja.
“Nadira?” Erlan melambai-lambaikan tangannya ke depan wajah Nadira.
Nadira tersentak sambil menoleh ke arah Erlan dengan heran. “Kenapa?”
“Lo yang kenapa! Itu Andra nanya, gak lo jawab? Bengongin apaan, sih?”
Nadira panik kemudian menggeleng. “Gu-gue enggak lagi bengongin apa-apa.” Lalu matanya balas menatap Andra yang sedari tadi juga menatap dirinya tanpa ekspresi. “Sorry, tadi lo nanya apa?”
“Gue udah ngerti penjelasan lo tadi. Sekarang latihan soal mana lagi yang harus gue kerjaiin sama Erlan?”
“O-oh. Yang ini...” Nadira mengambil buku Andra di meja, membuka sebuah halaman yang terisi soal-soal, lalu meletakannya kembali di atas meja. “Kalian berdua kerjaiin yang ini dulu aja. Nanti kalau udah selesai gue koreksi.” Telunjuk Nadira mengarah ke halaman yang barusan di bukanya tadi.
Namun Nadira meringis ketika menyadari telunjuknya gemetar pelan. Dengan cepat dia menarik tangannya kembali dengan tampang gelisah.
Bodoh, bodoh, bodoh, Nadira!
Berulang kali dia mengumpat dalam hati, merutuki refleksi tubuhnya ketika berada di dekat Andra. Dia cemas, berharap Andra tidak menyadari kelakuan anehnya sedari tadi.
“Gue ke dapur sebentar. Mau ambil beberapa camilan buat kalian. Pasti bosan ‘kan ngerjaiin soal terus dari tadi?”
Erlan mengangguk. “Boleh, deh! Otak gue juga bisa-bisa stres kalau di suruh ngerjaiin soal terus!”
Nadira tersenyum geli, lantas berdiri. “Yaudah sebentar, gue ambil dulu. Sambil nunggu, kalian kerjaiin soalnya aja.” Nadira melihat Erlan yang mengangkat jempol, menanggapi ucapannya barusan. Lalu dia menoleh ke arah Andra yang terus melihatnya sejak tadi. Hal ini membuat Nadira kalang kabut. Gadis itu dengan langkah kaki cepat, berjalan menuju dapur.
Andra hanya geleng-geleng kepala, kemudian mengalihkan tatapannya ke buku pelajaran, lalu mulai serius mengerjakan soal bersama Erlan.
Nadira melongok ke arah tembok pembatas ruang makan dan ruang tamu. Gadis itu akhirnya bisa bernapas dengan lega. Nadira mengintip Andra dari tempatnya berdiri sekarang. Cowok itu sedang berkutat dengan soal. Sesekali Nadira melihat Andra sedang mengobrol dengan Erlan, lalu tertawa.
Ah, tawa itu. Tawa yang selalu menjadi favorit Nadira. Gadis itu merogoh saku baju seragamnya, mengambil ponsel. Setelah itu ponselnya dia arahkan ke arah Andra. Nadira tidak akan menyia-nyiakan momen saat Andra tertawa. Dengan jempol yang sedikit gemetar, juga dengan senyum yang mengembang lebar, Nadira memencet tombol untuk memotret foto.
CEKREK!!
Senyum Nadira langsung luntur, diganti dengan matanya yang melebar terkejut kala flash kamera menyala, ditambah juga dengan suara potret yang membuat kakinya semakin lemas. Gadis itu buru-buru menurunkan kameranya ketika melihat Andra dan Erlan menoleh tepat ke tembok tempatnya saat ini. Sebelum ketahuan, Nadira segera melarikan diri menuju dapur dengan jantung yang berdegup gila.
Nadira mengatur napasnya cepat setelah sampai di dapur. Seperti ketahuan mencuri, gadis itu sekarang sangat takut dan cemas. Dia menoleh ke arah bude Suti yang tampak heran dengan kelakuannya yang seperti ini. Namun asisten rumah tangga itu memilih diam sambil mencuci piring-piring kotor.
Meremas ponselnya dengan gelisah, rasanya Nadira ingin menangis sekarang juga. Ini pengalaman memalukan untuk yang pertama kali saat dia ingin mengambil foto Andra. Kenapa dirinya sangat ceroboh seperti ini?! Bagaimana tanggapan Andra nanti? Oh, atau lebih tepatnya, bagaimana tanggapan Nadira kalau ditanya nanti? Flash kamera tadi sangat menyorot ke arah Andra. Kemungkinan besar Andra menyadarinya, kan?!
Dengan cepat Nadira mengambil beberapa camilan di lemari makanan dengan asal. Kemudian dengan ragu gadis itu melangkah keluar menuju ruang tamu.
Tubuh Nadira menegang ketika melihat Andra dan Erlan yang sedang kompak menatapnya dalam-dalam. Nadira menelan ludahnya susah payah sambil meletakan camilan di atas meja. Ketika Nadira ingin membalikkan tubuhnya, suara Erlan menghentikan pergerakannya.
"Tadi lo habis fotoin kita, kan? Kenapa malah kabur? Coba lihat hasilnya!"
"HAH?!"
Erlan tertawa melihat wajah Nadira yang seperti maling tertangkap basah. "Kalau mau minta foto kita bilang aja kali. Gak usah foto diem-diem gitu. Dengan senang hati kita bakalan ngasih, kok! Bener gak, Ndra?"
Sekarang cepat pinjamkan Nadira kekuatan cashper untuk membuatnya menghilang saat ini juga!
***
YOU ARE READING
NANDRA | TERBIT ✓ |
Teen FictionNadira Ravelia. Gadis penyuka bintang yang hatinya telah tertambat lama pada sosok Andra Rovalno. Si cowok pemilik lesung pipi dan sorot mata hangat yang begitu indah. Bertahun-tahun, Nadira hanya bisa memperhatikan dari jauh. Namun, bagai rasa cint...
• LEARN HOW TO TEACH
Start from the beginning
