11. Fathaan

36 11 2
                                    

Ibarat mahasiswa tahun keempat, sekarang adalah hari dimana Rajendra sidang skripsi.

Laki-laki itu berpakaian jauh lebih rapi daripada hari-hari biasa. Rajen yang biasanya hanya menggunakan celana jeans dan kaos hitam lengan pendek, ditambah kemeja sebagai outer —kadang-kadang jeans yang  dipadukan dengan hoodie meskipun jarang banget soalnya Rajen orangnya mudah keringetan—, hari ini menggunakan kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam.

Setelan pakaian formal yang entah kenapa tidak terlihat terlalu formal ketika dipakai Rajen. Kalau misal Rajen mau pake outfit ini tiap hari ke kampus pun, orang-orang gak akan komentar apa-apa karena emang cocok banget. Ini kalau Rajen pake jas hitam, pasti udah dikira anak yang punya kampus lagi kunjungan.

Laki-laki itu menghela nafas. Meskipun ini sudah yang kesekian kalinya ia melakukan presentasi, rasa gugup itu tetap saja datang. Rajen gak mau bohong, tapi sekarang tangannya basah gara-gara keringat dingin.

"Bismillah... Mama, Papa, doain Rajen."

"Pft-"

Rajen membalikkan tubuhnya begitu mendengar suara familiar yang tidak menyenangkan itu. Betul saja, dibelakangnya sudah ada Bara yang berjalan sambil menutup mulut, mencoba menyembunyikan senyum lebar di wajahnya.

"Anjing. Ngapain lo kesini? Malu-maluin aja."

"Lo yang malu-maluin. Udah gede gini, mau presentasi aja masih nyebut Mama Papa. Gak malu sama badan?" Jawab Bara sambil menunjuk badan kekar Rajen.

"Jangan meremehkan doa orang tua."

"Iya dah. Repot urusan kalo sampe dimarahin tante gara-gara ngatain anaknya."

Bara. Terakhir kali mereka bertemu adalah saat berada di lab teknik. Dengan topik pembicaraan yang lumayan sensitif bagi Bara. Mungkin ini alasan mengapa beberapa hari ini, Bara sama sekali tidak menyapanya. Mereka yang biasanya kemana-mana selalu bareng, sekarang cuma ngobrol soal kerjaan aja. Sebagai ketua pelaksana dan ketua divisi.

Rajen paham, Bara gak mungkin marah ataupun ngambek ala-ala remaja lima belas tahun. Yang ngambek kalo ga diajak ke tongkrongan bareng. Bara menghindari Rajen karena mau mendinginkan pikiran dulu. Tiap kali ngomong sama Bara, entah kenapa topik yang sama akan terus muncul dalam percakapan mereka.

Padahal Rajen gak ada sangkut-pautnya sama apa yang terjadi. Dia cuma pihak ketiga yang kebetulan jadi saksi bisu di kejadian masa lalu. Akibat kemana-mana selalu bersama Bara, jadi sedikit banyak Rajen tau tentang sepupunya sekaligus teman masa kecilnya itu.

"Jadi gimana?"

Rajen menatap sepupunya dengan wajah bingung. "Gimana apanya?"

"Naya."

Begitu nama itu disebut, entah mengapa Rajen tiba-tiba tersenyum. "Oh... Naya."

"Dih, ngapain lo senyam senyum. Gue ketinggalan apa aja?"

Rajen tertawa kecil. "Seperti yang gue bayangkan. Orangnya baik banget, opininya bagus, cantik, lucu. Pokoknya masuk list cewek yang pengen banget gue peluk."

"Sampe ada list? Kayak mau antri sembako," cibir Bara. "Jadi... Lo mau deketin dia?"

Bara sedikit ragu dengan kalimat terakhirnya. Aneh saja rasanya. Sejak kapan dia peduli dengan hal-hal seperti ini? Bahkan ketika Rajendra mendekati Derana, dia tidak pernah penasaran apalagi peduli dengan perkembangan hubungan mereka.

"Udah deket kok." Nafas Bara tercekat. 

"But as a friend. Gue dari awal emang ga ada niatan mau ajak dia pacaran kok. Gue juga ga ada niat buat mainin dia. She's a nice girl. Cocok jadi ipar."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 15, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Adakala. [Hiatus]Where stories live. Discover now