8. Mirza

28 10 0
                                    

Ketiga laki-laki itu duduk di atas sofa. Menatap satu-satunya orang yang masih duduk di lantai studio dengan alas karpet tempat mereka makan tadi. Meja sengaja digeser ke tempat lain demi menjauhkan segala pembatas di antara mereka.

Yang paling menuntut jawaban sekarang adalah Raven Mirza Iswari. Laki-laki itu duduk bersandar di sofa hitam itu sambil menyilangkan kedua tangannya di sofa. Entah sejak kapan, tapi Zayan juga mengikuti apa yang Raven lakukan.

Enak aja, padahal gue baru mau gebet Nayanika. Eh ternyata mantannya Arzan.

"Lo minta gue jelasin soal apa?" Klarifikasi Arzan. Pasalnya sejak tadi Raven terus-menerus memintanya untuk menjelaskan apapun padanya. Tapi tentu pertanyaan itu sangat ambigu bagi Arzan yang terbiasa bicara seperlunya dan to the point.

"Hal apapun yang berkaitan dengan hubungan lo sama Nayanika."

Arzan menghela nafas pelan. Terakhir kali dia bicara panjang lebar adalah ketika dirinya berusaha mati-matian untuk mencegah kedua orang tuanya bercerai. Tapi pada akhirnya, keduanya tetap memilih untuk berpisah. Mengabaikan semua ucapan Arzan, anak mereka satu-satunya.

Sejak saat itulah Arzan merasa bahwa banyak bicara tidak akan menyelesaikan apapun, justru memperkeruh segalanya. Membuat rumit masalah.

Toh, hubungan dia dan Nayanika sudah sangat lama berakhir. Hanya sekedar cinta monyet yang melanda di masa pubertas. Mereka juga berpisah secara baik-baik, menurutnya. Jadi sebenarnya tidak ada yang salah, tapi Arzan merasa malas jika diminta menjelaskan seperti ini. Rasanya apapun yang ia katakan akan tetap menempatkannya di posisi bersalah.

"Gue sama adek lo cuma pacaran 3 bulan. Gak ada apapun yang terjadi. Cuma cinta monyet."

Selesai.

3 kalimat itu menurut Arzan sudah cukup untuk menjelaskan 3 bulan kisah cinta antara dirinya dan Naya. Sekali lagi ia tekankan, tidak ada apapun yang spesial.

"Cuma 3 bulan? Lo main-main doang sama adek gue?"

Seperti prediksi Arzan. Apapun yang ia katakan, jika sudah menyangkut soal Nayanika, dirinya pasti akan selalu berada di posisi bersalah. Terlebih yang berbicara dengannya adalah Raven. Kakak overprotective.

"Dengerin dulu, Bang. Lo gak bisa langsung kasih spekulasi kayak gitu cuma dari 3 kalimat Arzan," tegur Mikko yang kalau sudah dalam mode serius bakal jadi lebih bijak, ngalahin Mario Teguh.

"Kita putus secara baik-baik kok. Terlebih pas gue tau kalo Nayanika itu adek lo. Gue jadi makin ngerasa sungkan buat cerita. Lo tau background keluarga gue gimana. Alasan kenapa gue gak mau ngomong panjang lebar."

"Satu lagi. Meskipun gue akui itu cuma cinta monyet, tapi gue bener-bener tulus sama adek lo. Gue putus karena problem keluarga gue. Gue cuma gak mau emosi dari keluarga, gue tumpahin ke Nayanika."

Raven menghela nafas lega. Setidaknya Arzan bukan tipe laki-laki brengsek yang pacaran cuma untuk main-main, apalagi nyicip. Raven tau, Arzan aslinya orang baik. Cuma kebetulan kurang beruntung aja dapet keluarga yang problematic.

"Pas gue ajak lo join Artanova, lo masih kontakan sama Naya?"

Arzan tersenyum kecil. "Awalnya engga. Sampe gue lulus SMP, gue menjauhkan diri dari Naya. Gamau bikin dia makin terluka kalau liat presensi gue. Tapi waktu gue pertama kalinya dateng ke rumah lo, waktu kita masih belum ada studio sendiri, untuk pertama kalinya kita ngobrol lagi. Disitu juga gue minta nomor handphonenya Naya."

Zayan yang sejak tadi hanya menyimak, kini duduk dengan tegak. "Jadi lo berniat mau deketin Naya lagi?"

"Engga. Cuma mau...temenan?" Arzan melirik Raven sekilas. "Naya orang baik. Gue ngerasa sayang aja kalau gue lebih memilih untuk keluar dari circle orang-orang baik hanya karena rasa gengsi gamau temenan sama mantan. Orang baik buat gue itu lumayan langka."

"Gue juga udah kasih penjelasan sama Naya biar dia gak salah paham sama tujuan gue." Arzan berdehem, membasahi tenggorokannya. "Penjelasan gue gak membantu ya? Gimana pun gue akan tetap jadi pihak yang bersalah."

Raven tiba-tiba berdiri. Berjalan mendekat ke arah Arzan, kemudian menepuk pelan pundak laki-laki berkaos hitam itu. "Gue gak pernah marah sama lo. Gue justru marah sama diri gue sendiri. Kenapa lo, bahkan adek gue sendiri, gak mau terbuka sama gue. Gue apresiasi karena lo udah mau jelasin semua meskipun udah telat banget," Raven tertawa kecil.

"Makasih udah sempet jagain adek gue."

Arzan tanpa sadar menahan nafasnya selama beberapa detik. Ia kira, Raven akan memakinya atau bahkan melayangkan pukulan ke wajahnya karena sudah menyembunyikan perihal hubungannya dengan Naya selama ini.

Karena itulah yang selama ini selalu ia terima dari Papa-nya.

Setiap kali Arzan berpendapat, Papa pasti akan menampar wajahnya atau bahkan memukulnya dengan pigura patung hiasan diatas meja kerja mengilap seharga puluhan juta itu.

Setiap kali Arzan melakukan kesalahan, sebelum ia sempat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, telapak tangan lebar laki-laki parubaya itu akan lebih dulu melayang menampar pipinya hingga memerah.

Mama?

Wanita itu hanya akan duduk dengan anggun, dibalik balutan dress seharga ratusan juta, sambil menyesap teh hitam di dalam cangkir mewah. Bahkan menatap Arzan pun matanya tak sudi. Selagi hidupnya masih dibalut kekayaan, wanita itu tidak akan pernah melirik putra semata wayangnya.

Barulah setelah bercerai dengan Papa, Mama menjadi lebih sering menelpon Arzan. Meminta putra semata wayangnya itu untuk pulang, dan menemaninya sarapan. Meskipun telpon itu tidak pernah sekalipun Arzan jawab.

Jawaban Arzan hanya satu. Sudah terlambat.

Artanova menjadi satu-satunya pelarian Arzan agar bisa melupakan segala permasalahan dalam keluarganya. Menjadi satu-satunya alasan mengapa Arzan lebih nyaman berada di studio kecil ini ketimbang rumah mewahnya.

"Makasih," lirih laki-laki itu. Mencoba untuk menahan air mata meski kini matanya sudah mulai memerah.

Mau bagaimana pun juga, Arzan tetaplah seorang anak yang haus akan kasih sayang dari orang tua. Jika mendapatkan perlakuan seperti ini dari orang yang sudah ia anggap seperti kakak, seperti keluarganya sendiri, Arzan pasti akan merasa terharu. Merasa beruntung karena sudah dipertemukan dengan orang-orang baik melalui Artanova.

"Lo kalau mau balikan sama adek gue juga gak masalah kok, kalau memang Naya mau. Gue percaya sama lo. Lo gak akan nyakitin adek gue."

Mendengar kalimat dari Raven, mata Zayan tiba-tiba berbinar. Merasa sebuah kesempatan terbuka lebar di depan matanya. "Kalo gue, Bang?"

"Awas aja kalo lo deket-deket sama Naya!" Matanya nyalang, menatap Zayan dengan sinis. "Pokoknya kalo lo, minimal 5— minimal harus 10 meter jaraknya sama Naya."

Zayan berdecak sebal. Ingin protes tapi kalimat lanjutan dari Raven langsung menghentikannya. "Anak mami gak boleh deket-deket sama Naya. Nanti lo kesenengan lagi bisa manja-manja sama adek gue."

Membuat laki-laki yang memiliki lesung pipi di sudut bawah bibirnya itu langsung tersenyum pahit.

Ngatain orang yang lebih tua dosa gak sih?

𝓐𝓭𝓪𝓴𝓪𝓵𝓪.
TBC

In depth introduce sama A' Arzan🥰

Maaf ya kalau misal penggambaran situasi gue masih kurang bagus.

Gue selalu terbuka dengan kritik dan saran membangun dari kalian semua. Biar tulisan gue bisa jadi tambah bagus ☺️☺️

Anyways, jangan lupa vote dan komen yaa
Sampai jumpa di chapter selanjutnya👋







Adakala. [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang