8. Jaket Limited Edition

313 97 31
                                    

Aku dan Hana tertawa terbahak-bahak begitu menyadari kami dikerjai oleh bocah puber itu. Aku agak syok, sih, gadis sekecil Maya bisa mempermainkan kami dengan cara yang selucu ini. 

"Kalian kenapa? Keras banget ketawanya sampe kedengaran ke luar."

Kami berdua serempak menatap Kikan yang baru masuk ke ruanganku. Hanya sedetik, lalu kami tertawa lagi. 

"Kikan, kamu pernah jadi guru anak SMA, kan?"

Kikan mengangguk menjawab pertanyaanku.

"Kamu ngajar sejarah kan waktu itu?"

Lagi, Kikan mengangguk. "Apa hubungannya?"

"Baru saja, kami kena politik divide et impera. Tahu enggak rasanya gimana, Kan? Lucu. Dua orang dewasa berantem karena satu orang bocah yang lagi ngambek sama bapaknya."

Kikan hanya melongo mendengar penjelasanku yang mengambang. "Terserahlah, yang penting kalian jangan keras-keras. Anak-anak sampai ngira ada Kekerasan Dalam Ruangan Tranggana tadi."

Astaga, singkatan macam apa itu? "Ya kali, Kan. Bilang aja sama anak-anak, adanya KDRT yang lain. Kelucuan Dalam Rancangan Tranggana gitu, kan unyu."

Kikan menaikkan mulutnya sebelah sambil menjerengkan matanya dengan malas. "Gimana proyek dengan Bimba, polanya udah selesai?"

"Dibilangin si Kikan, polanya masih kena divide et impera." AKu memangku wajahku dengan kedua tangan.

"Hah?" Kikan menatapku dan Hana bergantian. "Bisa salah satu dari kalian menjelaskan padaku apa yang sebenarnya tengah terjadi?"

"Ah, Mas Angga, aku punya ide." Tanpa permisi, Hana langsung pergi dari ruanganku, sepertinya menuju ruangan perancangan.

Kikan menatap kepergian Hana dengan wajah heran. "Kenapa dia, Ngga?"

Aku mengangkat bahu. "Mungkin, mendapat wangsit dari Belanda setelah perpecahan dunia kedua yang kami lakukan tadi?"

Kikan tiba-tiba menatapku dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan. Tampak seperti mengingat sesuatu yang penting dan memiliki urgensi tinggi.

"Ada apa, Kan? Serem banget kamu tuh kalau ngelihatin kayak gitu. Aku punya hutang apa?"

"Ngga, itu tadi jaket kesayanganmu, kan?"

Astaga mata ini anak tajam banget, sih. Sadar banget dia hal-hal yang kayak gitu. Aku pura-pura batuk untuk mengalihkan perhatian Kikan. Bahaya.

"Iya, itu jaket limited edition dari Dior yang kamu beli bulan lalu! Yang aku minta-minta enggak pernah kamu kasih." Mata Kikan menudingku dengan tajam. "Apa itu tadi? Kamu kasih ke Hana buat ikat pinggang? Ngga, kamu anggap aku teman enggak, sih, Ngga. Tega kamu."

Aku menghela napas. "Dia butuh Kikan, di lemari jaketnya adanya cuma itu. Lagian siapa sih yang nyuruh Hana untuk pakai pakaian kayak gitu?"

Kikan tiba-tiba tersedak.

Aku menatap curiga pada Kikan. "Kamu, ya?" Kudekati Kikan dengan tangan bersedekap di dada. "Dasar, ya, kamu, tuh. Yang dulu bilang pengen bangun butik yang bisa meningkatkan kepercayaan diri itu siapa, sih? Yang kasih nama butik itu siapa, sih? Gila, ya, mulut, otak, sama aksi kok enggak nyambung gitu. Bener-bener, punya partner kok ngeselin banget."

"Ngga, aku permisi dulu." Kikan mundur dan langsung keluar ruangan.

"Eh, dia kabur! Dasar teman laknat! Durjana! HUH!"

***

Aku dan Hana sudah sepakat akan menyerahkan satu rancangan hari ini pada Bimba. Rancangan ini sudah disetujui juga oleh Maya. Untung hari ini Kikan berhasil mengosongkan jadwalku, jadi kami bisa bertemu dengan Bimba dan Maya di tempat yang sama.

Untuk menghindari masalah, aku meminta pertemuan diadakan di butik. Jadi, baik Maya dan Bimba bisa hadir tatap muka di sini.

"Selamat siang, Pak Bimba dan Dik Maya. Silakan duduk." Aku menyambut kedua tamuku dengan riang. Kutatap Hana yang terlihat tenang dan kesal di saat yang bersamaan. Aku maklum, sih. Mengingat apa yang sudah dilakukan Maya padaku dan Hana, aku bahkan juga kesal pada anaknya Pak Bimba itu. 

"Setelah melalui beberapa wawancara dengan Maya, kami memutuskan akan menggunakan rancangan ini untuk gaunnya, Pak. Silakan dilihat dulu." Kusodorkan tiga lembar sketsa rancangan ke arah Pak Bimba dan Maya.

"Ini ...."

"Iya, ini mix and match dari dua jenis kain. Hana yang mendapatkan ide ini. Anda ingat kain apa saja yang ada di sini?"

Maya menatap Hana dengan senyum cerah. Desain yang diberikan Hana padaku tadi pagi adalah desain pakaian modern yang biasa-biasa saja. Yang membuat rancangan Hana kali ini luar biasa adalah nilai sentimental dari dua jenis kain yang akan dipakai Hana. 

"Baju yang dipakai Ayah dan Mama di anniversary terakhir."

Hana tersenyum. "Kamu ingat enggak, May, apa yang kamu bilang ke Kak Hana di wawancara terakhir?"

"Andai, kami bisa kembali ke saat itu," ucap Maya tanpa diminta. 

Pak Bimba menatap Hana dan Maya secara bergantian.

Hana menatap Bimba dengan ketenangan yang luar biasa. "Saya membuat desain ini, sambil membayangkan apa yang sebenarnya diinginkan oleh Maya."

"Dan kami sampai pada kesimpulan bahwa, apa pun desain yang kami berikan tidak menjadi penentu utama keputusan Maya." Aku menatap Pak Bimba dengan senyum yang kubuat seramah mungkin. "Ada alasan kenapa Maya berbohong pada Anda dengan mengatakan tim kami belum datang."

"Maya berbohong?" Pak Bimba tampak kaget.

Hana menatap Maya. "Kamu yang bilang atau Mba Hana yang bilang?"

Maya menghela napasnya. "Aku ingin Ayah yang datang. Aku minta dibuatin gaun bukan supaya ketemu sama Mba Hana atau Mas Angga, tapi karena aku tahu saat proses wawancara untuk kado seperti ini, butik Mas Angga meminta klien utamanya ikut dalam proses wawancara."

"Makanya kamu berkeras ingin dibuatkan di butik ini?" Pak Bimba menatap anaknya dengan intens.

Maya mengangguk. "Aku cuma ingin bertemu Ayah, ingin diperhatiin Ayah. Habis cerai sama Mama, Ayah enggak pernah lagi peduli sama aku."

Pak Bimba menghela napasnya. "Angga, maafkan saya dan anak saya. Saya jadi benar-benar tidak enak."

"Tidak apa-apa, Pak. Yang penting, desain ini sudah jadi. Apakah sudah bisa kami proses ke pembuatan pola?"

Pak Bimba mengangguk sambil tersenyum. 

Setelah itu, kami membicarakan mengenai tahap selanjutnya dari pembuatan gaun untuk Maya. Lalu, aku mengantar Pak Bimba dan Maya sampai ke pintu butik.

"Mba Hana ...."

Mataku menangkap Maya menarik Hana menjauh dari kami dan memberikan sesuatu ke tangan Hana. Sebuah berkas dan sebuah kotak. Apa itu? Jangan bilang Hana akan jadi ibu tirinya Maya. Tidak akan kubiarkan!

Kakiku sudah akan bergerak ke arah mereka ketika tanganku ditahan oleh Kikan.

"Itu cuma bonus, Ngga. Mana mungkin orang seperti Pak Bimba mau menikahi gadis seperti Hana. Kamu tuh mikirnya kejauhan," bisik Kikan tepat di telingaku membuat otakku kembali berada di tempatnya. 

Benar juga!

"Maya, ayo pulang," panggil Bimba pada Maya. 

Maya berlari kecil ke arah Pak Bimba dan menaiki mobil. "Sudah aku kasih ke Mba Hana, Pa." Maya tersenyum cerah ke papanya yang membuatku memicing curiga.

Kutatap Hana yang mendekat dan berdiri di sebelahku. "Pak Bimba kasih apa?" bisikku pada Hana yang membuat Kikan tertawa geli.

Hana hanya tersenyum simpul sebelum mengikuti Kikan masuk kembali ke dalam butik. Meninggalkan aku dengan rasa penasaranku yang menggunung.

[TERBIT] Upside Down CoupleWhere stories live. Discover now