2. Angga Tranggana Banci?

476 116 67
                                    

Kemarin setelah pesawat Renata lepas landas, aku mengomeli Mama. Dan kalian tahu apa yang Mama ucapkan sebagai pembelaan?

"Itu semua demi kebaikanmu, Ngga. Kamu itu tidak pernah Mama lihat dekat sama cewek. Mama itu udah pusing menghadapi media. Kamu tahu apa yang mereka katakan tentang kamu? Kamu dikatain gay, Ngga!"

Mama benar. Media-media itu memang mengerikan. Aku? Gay? Yang benar saja. Mungkin aku memang feminim, tapi aku bukan gay. Ya Tuhan, Apa mereka memang enggak punya tuduhan yang bagus lagi untuk menjatuhkan Tranggana?

Pintu ruanganku diketuk dari luar. Kepala Kikan menyembul di sela pintu yang terbuka.

"MasyaAllah, Kikan! Itu kepala udah kayak kuyang, ya, muncul seujung begitu! Masuk tuh sebadan-badan kenapa, sih?"

Kikan menatapku dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan. Ya Tuhan di saat-saat seperti ini rasanya ingin kubejek muka perempuan satu ini.

"Kamu lagi dapet, Ngga?"

"Hem, bagus! Kalau tahu aku dapet, jangan cari gara-gara, lah. Mau diterkam? Aku laki-laki, Kikan. Kamu jangan ikut-ikutan wartawan lah, bikin tambah panas aja ya."

Di depan sana, Kikan seperti ragu untuk melangkah mendekat.

"Ada apa? Enggak usah tambah bikin spaneng, deh."

Akhirnya, Kikan maju mendekat ke meja kerjaku. Dia meletakkan berkas lamaran di sana. "Pelamar pertama. Kita akan mewawancarainya lima belas menit lagi."

Aku menganggukkan kepalaku. Tanpa melihat CV yang diberikan Kikan pun aku sudah bisa menebak siapa yang akan kuhadapi hari ini. "Dia sudah datang?"

Kikan mengangguk sambil mengernyitkan pelipisnya. "Kamu enggak mau baca dulu CV sama portofolionya, Ngga?"

"Aku udah lihat hasil kerjanya. Kalau di wawancara nanti dia tidak semenyebalkan kemarin, kurasa kita memang sebaiknya menerimanya."

Kikan menelengkan kepalanya menatapku bingung. Mungkin sekarang, dia pikir aku tidak profesional.

"Kamu udah lihat portofolionya, kan? Kurasa kamu paham maksudku."

"Iya, sih, cuma agak aneh aja kamu langsung nerima gitu. Maksudku, kamu juga seharian ini kelihatan aneh. Ada apa, Ngga?"

"Nevermind, biasa lah, Ibu Ratu bikin masalah."

"Soal jodoh lagi?"

Aku menganggukkan kepala, sudah jadi rahasia umum. "Di mana kita akan mewawancarai gadis itu?"

"Dia sudah di ruangan, kok, tinggal nunggu kamu aja."

"Yuk, lah, kita ke sana."

Aku mengambil berkas yang tadi diletakkan Kikan di atas meja dan beranjak ke ruang wawancara yang ditunjuk oleh Kikan. Melihat wajah gadis mengesalkan itu, membuatku mengingat kembali kata-kata Mama kemarin. Aku menghela napas.

"Ngga?"

"Ayo masuk." Kubuka pintu dengan tangan kanan dan dengan langkah mantap, aku masuk ke ruangan. "Selamat siang, Nona. Perkenalkan, saya Angga Ranendra Tranggana, pemilik butik Mānawibhawa."

Dan, seperti dugaanku, gadis itu kehilangan kata-katanya.

***

"Selamat siang, Nona. Perkenalkan, saya Angga Ranendra Tranggana, pemilik butik Mānawibhawa."

Gadis itu terlihat kaget melihat wajahku di sana. Sengaja aku mendengkus saat mata kami bertemu. Kutatap tajam wajah Kikan yang kini tampak menahan tawanya. Awas saja dia kalau berani tertawa. Kupotong gajinya bulan depan.

[TERBIT] Upside Down CoupleWhere stories live. Discover now