Bab 2 - Aku Bukanlah Diriku

29 4 0
                                    

Selamat membaca :)

***

“Tak ada kata sempurna untuk kehidupan manusia seperti kita. Jangan tinggi hati hanya karena hidupmu sedikit lebih baik daripada orang lain.”

“Aku ikut seneng akhirnya kamu dan Rangga berencana menikah.”

“Pengen punya anak berapa setelah menikah nanti?”

Dalam gelap, Jenar mendengar dengan jelas kata-kata nenek Tinah, Aruna, dan Rangga. Sosok mereka terbayang dan muncul bergantian dalam benaknya. Ketiga orang yang disayanginya itu kemudian muncul bersamaan, mereka tersenyum kepada Jenar, tapi makin lama mereka makin menjauh. Jenar berusaha mengejar, tapi kakinya tidak dapat digerakkan sama sekali. Suaranya pun tiba-tiba menghilang saat hendak memanggil mereka. Cahaya yang sangat silau kemudian muncul dari kejauhan, sosok ketiganya perlahan menghilang ditelan cahaya itu. Cahaya itu pun semakin dekat dan menyilaukan.

“Matanya merespon cahaya.”
Jenar berusaha membuka matanya perlahan, tapi rasanya sangat berat sekali. Ia juga merasakan pening yang luar biasa dan badannya sulit bergerak.

“Dia sudah hampir sadar, tapi keadaannya sangat lemah. Lebih baik biarkan dia beristirahat sampai badannya benar-benar pulih dan dapat siuman sepenuhnya.”

Jenar mendengar seorang lelaki berbicara, kemudian terdengar isakan seorang perempuan. Entah suara siapa ia tidak tahu, rasanya sangat berat untuk membuka mata, meskipun ia dapat mendengar suara.

“Tangannya bergerak. Dia juga mengerang. Dia akan sehat lagi, kan?” suara perempuan yang menangis, seakan ingin diyakinkan.

“Tentu saja, Ratna. Jangan berpikir macam-macam. Dia akan segera bangun dan sehat lagi.” Lelaki tadi menjawab. Namun, ada sesuatu yang membuat Jenar bertanya-tanya.

Ratna? Ratna siapa? batinnya.

Kedua orang itu masih berbincang, entah apa yang mereka bicarakan. Jenar tidak peduli, ia ingin segera membuka mata. Dengan susah payah, ia menggerakkan tubuh dan membuka mata perlahan.

“Shita? Shita?”

Orang yang pertama Jenar lihat adalah seorang wanita berusia mungkin awal lima puluh tahun, tebaknya. Di sampingnya sisi yang lain ada seorang lelaki paruh baya. Ia juga melihat seorang wanita muda berdiri di brangkar bagian kakinya. Mereka semua melihatnya dengan ekspresi khawatir.

“Shita? Ini mama. Kau sudah sadar? Terima kasih, Tuhan.”

Shita? Mama? Siapa?

“Jangan dipaksa bangun, tubuhmu masih lemas. Jika masih mengantuk, kau bisa istirahat lagi,” ujar lelaki paruh baya itu.

Nggak mau. Aku pengen bangun.

Jenar merasa tubuhnya sangat lemas, ingin berbicara pun tidak ada tenaga. Ia bertanya-tanya kenapa banyak orang asing di sekitarnya. Di mana dia sekarang? Namun, belum sedikitpun mendapat jawaban, ia merasakan kantuk yang luar biasa dan kemudian matanya tertutup.

***

Jenar terkejut ketika bangun dan menyadari dirinya berada di kamar sebuah rumah sakit. Otaknya masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi padanya. Kamar itu luas dan besar. Fasilitas seperti TV, kulkas, AC, sofa-sofa, tempat tidur plus, dan lain-lain. Ia sudah mengingat malam di mana ia bertemu dengan Rangga, juga benturan keras yang ia rasakan di dalam taksi online. Sepertinya ia memang mengalami kecelakaan, tapi separah-parahnya akibat kecelakaan itu, apakah tidak salah neneknya menyewa kamar rumah sakit yang semewah ini? Neneknya saja selalu mengomel tentang menabung.

Aneh.

“Shita?”

Perhatian Jenar teralihkan pada seorang perempuan yang baru saja masuk dan langsung memeluknya.

Love Me SomedayWhere stories live. Discover now